Seleksi Perades Kudus

Server Down Pas Menunjukkan Hasil Ujian Seleksi Perades di Kudus Perlu Dipertanyakan

Analisa berita server down saat pengumuman hasil penilaian seleksi perangkat desa di Kudus oleh Dosen IT Universitas Muria Kudus, Syafiul Muzid.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: Daniel Ari Purnomo
istimewa
Syafiul Muzid 

Syafiul Muzid ST, MCs | Dosen IT Universitas Muria Kudus

TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Computer Assisted Test (CAT) atau tes berbasis komputer dibuat dengan tujuan untuk membantu dalam memudahkan para peserta untuk menjalankan tes, apalagi CAT mampu memudahkan pekerjaan para penyelenggara ujian dengan menampilkan hasil yang real-time.

Seharusnya sistem CAT yang dibangun berdasarkan komputer, untuk mempercepat proses dengan harapan tes langsung selesai.

Hal ini sudah banyak digunakan di perkuliahan hingga sertifikasi.

Baca juga: Menilik Ruwetnya Seleksi Perades di Kudus: Server Ngelag, Kades Sebut Data Semrawut dan Cacat Hukum

Bahkan beberapa sistem untuk menghindari kecurangan perlu ada pengawasan kamera aktif terlihat peserta tes dan lokasinya.

Sistem tersebut juga telah digunakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun belakangan ini di Kabupaten Kudus pada ujian Tes seleksi perangkat desa yang berlangsung di Kabupaten Kudus tempo hari berlangsung ruwet, dan masih menyisakan sejumlah persoalan.

Baca juga: Hasil Skor Tes Seleksi Perangkat Desa di Kudus Berubah-ubah, Nilai Tertinggi Mendadak Jadi Jeblok

Hasil tes CAT usai peserta tes seleksi yang terjeda dari 30-120 menit dinilai terlalu lama oleh para peserta.

Seharusnya sistem dibangun untuk mempercepat proses dengan artian dalam standar komputer yang ada saat ini dalam hitungan detik hasil langsung keluar.

Kalau kejadian selang 30 menit hingga 120 menit ada beberapa faktor yang perlu disoroti dan dipertanyakan.

Ada kemungkinan Server yang down ataupun eror. Namun apabila demikian server yang down atau eror pada saat menunjukan hasil ujian perlu dipertanyakan.

Kalaupun server down, seharusnya terdapat lagging terlebih dahulu saat peserta mengisi ujian.

Hal serupa juga dikaitkan dengan internet yang trouble. Apalagi kalau internet server ketika jaringan mengakses lainnya cepat di komputer yang sama dan tidak masalah hal tersebut bukan internet trouble.

Meski begitu, ada beberapa sistem yang dibangun memang untuk tidak menunjukan hasil yang dibangun.

Biasanya sistem tersebut, adalah sistem yang penilaian akhirnya tidak berdasarkan yang dikerjakan saja.

Contohnya, harus melakukan kalkulasi dengan nilai total seperti wawancara, nilai praktek dan nilai tesnya.

Demikianpun juga harus ada transparansi yang jelas terkait nilai-nilainya.

Selain itu, jumlah user ataupun pengguna server juga bisa menjadi acuan. Biasanya tiap server memiliki batas pengguna.

Semisal batasan server adalah 1.000 orang ketika digunakan 2.000 orang akan lamban karena diluar kapabilitas server.

Hal tersebut yang menyebabkan server down yang berdampak pada beberapa orang tidak bisa mengakses server, blank, ataupun akses yang lemot.

Seharusnya pemilihan mitra dalam tes online, pastinya sudah melihat kapabilitas atau pengalaman dari selaku penyedia server.

Ketika pernah dipakai tes 10.000 orang dan berjalan lancar ataupun cepat, maka wajar saja jika dipilih karena bagus.

Tentunya seharusnya sudah melalui tahapan yang secara quality controlnya sudah teruji.

Untuk mengidentifikasi permasalahan hasil yang tidak realtime perlu adanya pengecekan ahli forensik digital.

Sedangkan terkait hasil yang berubah-ubah usai melakukan tes CAT perlu ditelusuri, seharusnya bila nilai tes menjadi penentu kelulusan seharusnya tidak berubah.

Tetapi kalau hasil penilaian tes dan penilaian lain menjadi acuan, hal tersebut bisa menjadi penentu perubahan nilai.

Kalau dari sisi IT perubahan nilai bisa terjadi, misalkan ketika semua orang tidak diterima ataupun sebaliknya hal tersebut bisa terjadi lantaran trouble.

Kalau ada beberapa nilai yang naik ataupun turun, tentunya ada suatu aksi yang bisa menaikan dan menurunkan.

Mungkin, dari akumulasi nilai lainnya, namun jika dari kacamata teknologi, terdapat script yang ketika sudah selesai dia mengambil data dari server lainnya untuk dikalkulasi.

Kalau tidak ada poin lain, terjadi sesuatu yang perlu crosscheck. Kalau di Forensik Digital perubahan naik yang turun bisa dilihat dari histori database ataupun log histori.

Ketika ada yang mengubah melalui bypass database akan terlihat.

Tentunya, pembuat aplikasi bisa saja melakukan penggantian nilai. Selain itu, orang yang mengetahui back end atau scrpting.

Orang yang paham tidak harus pembuat aplikasi. Namun hacker juga bisa melakukan penginputan atau perubahan nilai.

Tentunya, perlu disayangkan apabila terdapat penggantian nilai yang terjadi saat pilperades di Kabupaten Kudus.

Hal tersebut sudah melanggar kode etik, seharusnya komputer digunakan untuk memudahkan pekerjaan dan meminimalisir kecurangan.

Lalu siapa saja yang bertanggung jawab, jika seorang developer saat masa kontrak mengembangkan sistem dan saat masa garansi sistem, maka terdapat kesalahan sistem harus diperbaiki.

Jika sistem sudah diterapkan dan diserahterimakan kepada pengguna sistem, maka Teknisi IT bertanggungjawab atas operasional sistem.

Berupa analisis trouble, perbaiki sistem, melaporkan temuan kepada atasan.

Jika sistem tidak bisa diperbaiki sendiri maka harus ada tindaklanjut untuk perbaikan dan diinformasikan kepada pengguna bahwa sistem undermaintenance

Apabila terjadi di instansi seharusnya terdapat Software Quality Assurance (SQA) atau jaminan kualitas sistem, yang bertugas memonitor bahwa sistem berjalan sesuai dengan semestinya.

Jika masih terdapat masalah, maka bagian SQA harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan. (Rad)

Sumber: TribunMuria.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved