Berita Semarang

Mampetnya Kanal Informasi Berujung Pungli, Belajar dari Karut Marut Pemakaman Covid-19 di Semarang

Informasi 'Setengah Hati' Berujung Pungli Belasan Juta Rupiah, Belajar dari Karut Marut Pemakaman Covid-19

Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
Istimewa
Ilustrasi proses pemakaman Covid-19 di TPU Jatisari, Mijen, Kota Semarang, Rabu (23/6/2021). 

Pilih Ikhlas

Terpisah, seorang korban pungli pemakaman Covid-19 mengatakan, meskipun telah menjadi korban pungli  saat adik perempuannya meninggal dunia terpapar Covid-19 tetapi tidak ingin memperpanjang persoalan itu.

Sebab, keluarga besarnya telah mengikhlaskan kejadian tersebut yang terjadi pada Senin (19/7/2021) malam atau tepat sehari sebelum Hari Raya Idul Adha.

Keluarganya ketika itu terpaksa membayar Rp13,5 juta. Biaya tersebut dianggap keluarganya memang terlalu besar.

"Kami semua sudah ikhlas meskipun berat tapi kami anggap uang yang kami keluarkan sebagai sodakoh," ucap perempuan berusia sekira 43 tahun itu kepada TribunMuria.com saat ditemui di rumahnya di sebuah kawasan perumahan Gunungpati, Kamis (9/6/2022).

Pihaknya ketika  itu tak dapat berbuat banyak sehingga terpaksa membayar uang tersebut pada malam itu.

Selain itu, para warga sekitar juga tak ada yang mendekat sebab takut. Mereka terpaksa membayar biaya sebesar itu lantaran berpikir tak ada jalan lain.

"Mereka yang mengatasnamakan relawan beralasan biaya sebesar itu karena malam Iduladha atau malam lebaran sehingga tidak ada petugas yang mengurus jenazah Covid-19."

"Kami percaya saja karena sedang kalut. Tapi ya sudah kami ikhlaskan, kasihan almarhumah," tegasnya.

Seorang Relawan Pemakaman Covid-19  mengatakan, pernah mendapatkan  aduan sejumlah warga yang menjadi korban pungutan liar (pungli) saat varian Delta merebak. 

Setidaknya ada tiga korban yang mengadu kepadanya. Mereka mengaku telah membayarkan sejumlah uang hingga belasan juta kepada para oknum petugas pemakaman Covid-19.

Normalnya pemakaman Covid-19 hanya memakan biaya di angka Rp5 juta. Biaya tersebut termasuk biaya memandikan jenazah, kain kafan, peti, ambulance dan lainnya. 

Faktanya, ada beberapa laporan warga yang pernah diminta biaya pemakaman hingga mencapai lebih dari dua kali lipat yakni di angka Rp12 juta, Rp16 juta, dan Rp19 juta. 

Menurutnya, fenomena tersebut merupakan fenomena gunung es tapi tak semua orang mau mengungkapkannya. 

"Ternyata di lapangan kala itu ada penarikan yang tak wajar yang menurut kami sebagai relawan pemakaman Covid-19 sangat tidak wajar bahkan biaya itu sudah seperti mencekik leher," beber pria berusia 29 tahun itu kepada Tribunjateng.com, Jumat (3/6/2022).

Pihaknya sudah menelusuri ke beberapa korban tapi para korban mengaku sudah mengikhlaskan hal itu.

Selain itu, korban ada yang tidak tahu melapor kemana dan minimnya bukti sebab ketika kejadian memang dalam kondisi kebingungan. 

"Para korban memang saat mendapatkan pungutan sebesar itu dalam kondisi kesulitan sehingga panik dan tak memikirkan sejauh itu," katanya yang bekerja di sebuah Puskesmas di Kota Semarang.

Menurutnya, praktik itu dapat terjadi lantaran tidak semua orang tahu terkait prosedur atau tata cara pengurusan mayat Covid-19.

Pihak yang berwenang tidak memberikan sosialisasi yang memadai soal informasi pemakaman Covid-19.

Pemerintah hanya fokus dalam sosialisasi terkait pencegahan Covid-19 seperti memakai masker, cuci tangan, jaga jarak, cek suhu dan seterusnya. 

Kemudian sosialisasi ketika terpapar Covid-19 juga gencar seperti langkah-langkah isolasi mandiri maupun di isolasi terpusat, tracking, dan lainnya. 

Namun ketika pasien Covid-19 meninggal dunia terutama saat isolasi mandiri menjadi persoalan. 

Terutama ketika varian Delta yang mana hampir semua rumah sakit masih dalam kondisi kewalahan. 

"Artinya, kondisi saat itu minim infomasi di masyarakat terkait pemakaman Covid-19 lantas akhirnya situasi itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu," tegasnya. 

Ia berharap, kejadian itu menjadi koreksi bagi semua pihak agar ketika memiliki program harus dijelaskan secara menyeluruh terutama dalam bidang pelayanan kesehatan. 

Meskipun belakangan, diakuinya, pemerintah memperbaiki sistem pemakaman Covid-19. Pemerintah kemudian membentuk petugas pemulasaraan dan pemakaman Covid-19 hingga ke tingkat kecamatan. 

"Jadi informasi jelas dari pra kejadian, saat kejadian hingga paskakejadian harus dijelaskan secara menyeluruh agar tak ada celah bagi orang-orang tak bertanggungjawab seperti yang dilakukan para pelaku pungli tersebut," bebernya. 

Bangun Komunikasi

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang M Abdul Hakam mengatakan, pungli pemakaman tidak akan terjadi seandainya seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dapat melakukan pekerjaan secara paripurna. 

"Kami sifatnya membantu, tapi tidak boleh tidak tahu, pemakaman di mana saja harus disampaikan supaya masyarakat tidak ditipu oleh oknum masyarakat di tempat kami," ucapnya kepada Tribunjateng.com, Selasa (7/6/2022).

Ia menilai, kelemahan-kelemahan itu tidak terjadi di semua lini. Tapi masih banyak orang sebenarnya yang perhatian dan peduli. 

Akan tetapi ketika disinggung apakah pungli dapat terjadi karena komunikasi risiko belum dilakukan, Hakam hanya menanggapi, sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi harus diprediksikan. 

"Iya, habis itu kami bikin petugas pemulasaraan jenazah Covid-19 di tiap kecamatan," terangnya. 

Ia melanjutkan, komunikasi risiko harus dibangun dengan baik. Sebelum kejadian itu terjadi manajemen risiko harus dibangun dahulu. 

Ia pun mengaku, belajar dari kejadian itu dengan terus memperbaiki, mengevaluasi dan menambahkan yang kurang dari tahun ke tahun. 

"Kerja layanan semakin cepat, komplain masyarakat ditindaklanjuti, kami siapkan lalu ditata dengan baik agar peristiwa itu tidak terjadi," ungkapnya. 

Pakar epidemiologi Dr Mahalul Azam menjelaskan, pungutan liar pemakaman Covid-19 terjadi disebabkan tidak adanya komunikasi efektif sehingga masyarakat tidak tahu apa yang dilakukan ketika ada keluarganya meninggal dunia dalam kondisi terpapar Covid-19.

Masyarakat ketika tidak mendapatkan informasi itu tentu akan jadi serba bingung sehingga dimanfaatkan oleh orang tidak bertanggungjawab. 

"Memang informasinya belum menyeluruh informasi hanya dipencegahan Covid-19 sehingga dimanfaatkan oleh segelintir orang namun hal itu seharusnya menjadi pembelajaran kita semua bahwa pandemi memang memiliki banyak dampak baik sosial, ekonomi, dan moral," ucapnya. 

Ia mengatakan, kekacauan tersebut lantas dimanfaatkan oknum demi keuntungan pribadi. 

Hal itu seperti ada orang kecelakaan bawa dompet dan barang berharga lainnya. Orang baik akan menolong. Sebaliknya ada orang yang tega mengambil dompet meskipun itu musibah. 

Penilaiannya, dilihat dari regulasi pemerintah dan cara komunikasinya sudah maksimal. Hanya saja, ada ketidakefektifan komunikasi itu sehingga pesannya tidak sampai ke masyarakat. 

"Seperti di kasus pungli pemakaman jenazah yang  sebenarnya tidak perlu terjadi semisal tahu ada layanan pemulasaraan gratis sehingga celah itu dimanfaatkan oleh orang lain," tuturnya.

Manfaatkan kepanikan masyarakat

Provincial Coordinator (Koordinator Provinsi) Australia Indonesia Health Security Partnership ( AIHSP) Jawa Tengah, dr. Hartanto Hardjono menjelaskan, peristiwa tersebut terjadi lantaran adanya kepanikan di masyarakat sehingga direspon secara reaktif yang menimbulkan dampak tidak rasional. 

"Masyarakat tidak tahu informasi sebenarnya, saya kira panik sehingga reaktif tidak rasional, lalu dimanfaatkan orang untuk mencari keuntungan mumpung orang pada bingung dengan situasi tidak jelas," katanya kepada TribunMuria.com, Selasa (7/6/2022).

Menurutnya, komunikasi risiko mutlak diperlukan agar masyarakat tak salah informasi. Pejabat dan pemangku kepentingan harus memahami komunikasi risiko agar tidak terjebak di informasi tidak benar. 

"Informasi tidak benar tentu merugikan maka  komunikasi risiko dapat diterapkan di bidang mana saja," terangnya. 

Dijelaskan Hartanto, kejadian pemungutan liar pemakaman Covid-19 tersebut dapat terjadi karena memang komunikasi risiko belum diterapkan. 

Baru selepas pandemi  pemerintah  dan para pemegang jabatan memberikan komunikasi risiko kepada masyarakat. 

"Ada upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi yang harus dilakukan dan tidak dilakukan supaya terhindar dari risiko praktik-praktik tersebut," bebernya. 

Ia memberi masukan kepada berbagai lembaga terkait supaya belajar dari kejadian tersebut yakni lembaga harus memahami komunikasi risiko. 

Kemudian menginformasikan kepada masyarakat terkait komunikasi risiko terhadap pesan apa yang ingin disampaikan. 

"Dinkes dan Dinkominfo dapat memberikan edukasi ke masyarakat. Dapat pula menggandeng para influencer anti hoax untuk membantu penyebaran komunikasi risiko dengan baik," ujarnya. (Iwn)

Sumber: TribunMuria.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved