Opini

Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan

Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan "Toa" Menteri Agama. 75 persen toa (speaker) masjid dan musala di indonesia bermasalah

Dok Pribadi
Idham Cholid; kader NU tinggal di Wonosobo, Ketua Umum Jayanusa. 

Menag harusnya juga membuat aturan untuk gereja dan tempat peribadatan lainnya. Tak salah, masukan demikian memang perlu disampaikan.

Tetapi yang juga harus menjadi kesadaran bersama, terutama di kalangan umat Islam, bahwa muslim Indonesia adalah mayoritas.

82 persen lebih umat Islam Indonesia merupakan populasi terbesar di dunia. Sudah seharusnya mereka menjadi teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tanpa kecuali dalam keberagamaan, di dalam menjalankan ajaran agama, menjadi umat "terbaik" memang diperintahkan.

Ingat, ketika Nabi Saw ditanya, siapa muslim yang terbaik? Jawabannya tegas, yang tangan dan lisannya menenteramkan (muslim) sesama.

Tentu, menjadi kurang tepat jika makna "terbaik" itu dipersempit secara subyektif. Bahwa yang terpenting tidak mengganggu sesama umat Islam, dan tidak merugikan umat beragama lainnya.

Tanpa rambu-rambu yang jelas dan tegas, potensi permasalahan dalam jangka panjang justru bisa menjadi ancaman.

Kita bisa menyaksikan, betapa komunitas muslim yang tidak sejalan dengan "paham" mainstream selama ini juga telah cukup mendapatkan kesulitan.

Berapa banyak kalangan penganut Syiah dan Ahmadiyah, misalnya, yang tidak bisa menikmati praktek peribadatannya dengan cukup leluasa.

Belum lagi yang berkaitan dengan umat agama lain, dalam urusan ijin mendirikan tempat ibadah, juga bukan perkara yang mudah.

Dalam konteks itulah, secara mendasar, kita harus memahami regulasi yang diterbitkan Kementerian Agama. Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla, memang hanya pengaturan teknis berkaitan dengan tatakelola toa. Namun, dari sinilah justru kedewasaan umat dalam menjalankan praktek keagamaan akan dapat ditunjukkan.

Maka, jangan salah memahaminya. Menarasikan aturan itu sebagai bentuk pembatasan terhadap syiar Islam, tentu membahayakan.

Salah paham atas "tamsil" yang disampaikan Gus Men, panggilan akrab Menag Yaqut Cholil Qoumas, tentang gonggongan anjing, juga mesti diakhiri.

Biasa saja. Gus Men memang tak jarang berbicara apa adanya, lugas dan tegas. Dia bagaikan "toa" bagi umat Islam khususnya.

Dalam beberapa hal, suara kerasnya dianggap "mengganggu" kenyamanan.

Karena dia memang bukan tipe pemimpin yang meninabobokkan, yang hanya mengandalkan pencitraan.

Bagi saya, sederhana saja memahaminya. Anjing sekalipun haruslah dikendalikan "kebebasan" ekspresinya.

Mereka tak boleh dibiarkan bebas menggonggong, kecuali hidup di alam liar. Tentu, pemilik hewan itulah yang harus bertanggungjawab mengendalikan.

Namun akan lain soalnya. Menjadikan tamsil Gus Men dengan terang-terangan mensimulasikan kalimat adzan kemudian diiringi dengan suara anjing menggonggong, justru sangat menyesatkan. Inilah bentuk nyata "pelecehan" ajaran agama.

Maka, menjadi tugas dan tanggungjawab jajaran Kementerian Agama lebih lanjut, sebagaimana diktum "pembinaan dan pengawasan" dalam SE Menag tersebut.

Tidak saja untuk kepentingan, agar regulasi itu bisa benar-benar dipahami.

Lebih dari itu, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Ormas Islam khususnya, juga menyelesaikan pelbagai persoalan yang ada.

Tanpa kecuali, terhadap 75 persen sound system yang dinilai bermasalah oleh pak JK itu. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved