Opini
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan "Toa" Menteri Agama. 75 persen toa (speaker) masjid dan musala di indonesia bermasalah
Secara obyektif, pengaturan tentang tatakelola pengeras suara memang diperlukan.
Aturan itu sudah tepat. Kita semua tentu sepakat. Meskipun kemudian ada yang menilai sebaliknya.
Bagi mereka, aturan teknis semacam itu cukuplah dirumuskan oleh masyarakat sendiri.
Negara tak perlu ikut campur. Itu menjadi bagian dari tanggungjawab civil society.
Logika tersebut tentu sangat bisa dipahami, terutama dalam kerangka bahwa negara tak semestinya masuk terlalu jauh dalam wilayah agama.
Terlebih dalam urusan peribadatan, prinsip "independensi" harus ditegakkan.
Namun yang mesti juga dipahami, penggunaan pengeras suara bukanlah semata urusan kebebasan beragama.
Bahwa ekspresi keberagamaan itu juga berada di ruang publik.
Jangankan di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, dalam konteks penerapan ajaran Islam di lingkungan komunitas muslim itu sendiri, prinsip memahami situasi dan menghargai sesama haruslah dikedepankan.
Apapun bentuknya, segala macam ibadah tidak boleh mengabaikan aspek sosial, bahkan kepentingan setiap individu juga tak boleh diabaikan.
Atas nama "syiar" justru kita harus menampilkan ajaran yang ramah, tenteram, dan penuh kedamaian.
Di negara yang cukup ketat menerapkan ajaran Islam sekalipun, pengaturan penggunaan toa yang dianggap "teknis" itu juga diberlakukan.
Yang paling dekat dengan kita, negara jiran Malaysia misalnya, pemakaian toa hanya untuk adzan saja.
Demikian pula di Mesir yang bahkan melarang penggunaan toa selama bulan puasa. Alasannya justru agar pelaksanaan ibadah jauh lebih tenang.
Ini tentu sangat beda dengan masyarakat kita, di bulan ramadhan malah terkesan jor-joran.