Opini
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan "Toa" Menteri Agama. 75 persen toa (speaker) masjid dan musala di indonesia bermasalah
Oleh Idham Cholid | Kader Nahdlatul Ulama (NU), tinggal di Wonosobo
Polemik toa, tentang aturan penggunaan pengeras suara alias toa untuk masjid dan musala sangat menyita perhatian publik dalam dua pekan terakhir ini.
Jika kita cermati, bahkan persoalannya sudah keluar dari konteks regulasinya itu sendiri.
Beberapa hari sebelum aturan itu ditetapkan, saya sempat bersilaturahmi dengan Gus Yaqut (Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas). Banyak hal kami bincangkan.
Ketika dia sampaikan tengah menyiapkan aturan tentang itu, terus terang, saya justru ingat pak JK, panggilan akrab Jusuf Kalla.
Wapres ke 10 dan 12 itulah yang selama ini cukup sering bicara tentang pengeras suara.
Dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), kita tahu, sudah sejak 2012 dia tegaskan perlunya aturan yang jelas tentang penggunaan pengeras suara.
"Bukan macam sound systemnya yang diatur tetapi pengaturan bunyinya," jelas JK saat itu.
Terbaru, pada tahun lalu, kritik terbuka dia lontarkan juga. Katanya, 75 persen sound system masjid dan musala di Indonesia bermasalah.
Dampaknya, bisa memicu ketidakpahaman jamaah terhadap isi ceramah.
"Didengar (tapi) tidak dimengerti sedangkan waktu kita di masjid itu 80 persen mendengar, 20 persen ibadah atau shalat," terang JK.
Atas nama DMI, pak JK tentu memiliki kompetensi. Kita juga patut memerhatikan ihwal sound system yang dinilainya "bermasalah" itu; apakah berkaitan dengan kualitas perangkat atau murni soal manajemen dan tatakelolanya.
Konon, dia telah berkeliling ke beberapa masjid di kota-kota besar, dan menemukan fakta itu.
Artinya, jika yang di kota besar saja demikian, lalu bagaimana halnya dengan keadaan masjid dan mushalla yang ada di pelosok-pelosok desa? Tentu, inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.
Sudah Tepat