Opini
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan
Opini Idham Cholid: Memahami Kebijaksaan "Toa" Menteri Agama. 75 persen toa (speaker) masjid dan musala di indonesia bermasalah
Di Arab Saudi yang dianggap paling "islami," penerapan aturan itu juga berlaku.
Di sana, pengeras suara hanya diperbolehkan di dalam masjid, hanya untuk adzan, shalat Jumat, salat Ied dan istisqa' atau meminta hujan.
India justru lebih "kejam" lagi. Penggunaan pengeras suara bahkan dikategorikan illegal, dan dipantau langsung oleh pengadilan tinggi.
Mungkin ini bisa dimaklumi karena mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Untuk masyarakat kita, sekali lagi, pengaturan soal itu sebenarnya sudah tepat. Bukan sesuatu yang mengada-ada.
Bila negara-negara lain saja begitu, bahkan di negara yang merepresentasikan Islam, apalagi Indonesia yang sangat plural.
Kebhinekaan harus tetap terjaga dengan praktek keberagamaan yang harmonis untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian.
Salah Paham
Lalu, kenapa mesti dipersoalkan ketika pemerintah "mengatur" penggunaan toa? Dalam konteks ini, Kementerian Agama merupakan institusi yang paling absah menerbitkan regulasi.
Ia mempunyai tanggungjawab penuh atas terciptanya harmoni, baik intern maupun antar umat beragama, bahkan dalam relasi agama dan negara untuk kepentingan (kehidupan) kebangsaan.
Aturan tentang itu sendiri sebenarnya bukan barang baru. Konon, sejak 1978 juga sudah diterapkan. Hanya saja, selama ini di bawah "kendali" Dirjen Bimas Islam.
Bahwa hal tersebut lebih dipahami sebagai bagian dari "pembinaan" secara internal kepada umat Islam.
Jika kemudian saat ini ditingkatkan regulasinya langsung oleh Menteri Agama, tentu akan menjadi lebih serius.
Selain dimaksudkan untuk pembinaan internal, regulasi itu juga akan membawa implikasi: bagaimana semestinya relasi kehidupan antar umat beragama harus dikembangkan.
Namun, ada sementara pihak yang menyampaikan ktitik: kenapa hanya ditujukan kepada umat Islam?