Berita Jateng
Peristiwa Mei 1998 di Semarang, Mahasiswa Duduki RRI dan DPRD, Warga Tionghoa Nyaris Jadi Korban
Aksi demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998 memang sudah terjadi sekitar 24 tahun lalu. Namun , peristiwa itu masih melekat kuat pada ingatan orang.
Penulis: Budi Susanto | Editor: Muhammad Olies
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Aksi demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998 memang sudah terjadi sekitar 24 tahun lalu. Namun hingga kini, peristiwa itu masih melekat kuat pada ingatan beberapa orang di Kota Semarang.
Khususnya masyarakat dan eks mahasiswa yang ikut terjun dalam demonstrasi kala itu.
Pasalnya, kericuhan tak hanya terjadi di Jakarta saja.
Saat itu, kekacauan juga muncul di Kota Semarang. Bahkan dua lokasi jadi posko massa bagi mahasiswa dan masyarakat.
"Selain gedung DPRD Provinsi Jateng, massa juga menguasai stasiun Radio Republik Indonesia (RRI)," kata Widy kepada Tribunjateng.com, Kamis (12/1/2023).
Widy merupakan satu di antara masyarakat yang ikut dalam demontrasi Mei 1998 di Kota Semarang.
Ia juga menyampaikan orasi secara langsung di RRI saat kantor radio itu dikuasai massa.
Tak hanya sehari mahasiswa dan masyarakat menguasai stasiun radio tersebut.
"Dari tanggal 14 Mei sampai 20 Mei 1998 massa menduduki kantor radio untuk menyiarkan orasi secara langsung," terang Widy.
Baca juga: Sopir Oleng yang Aksinya Viral di Medsos Ditangkap Satlantas Polres Salatiga
Baca juga: Tambang Pasir Ilegal di Magelang Diduga Dibekingi Oknum Aparat, Dikelola Eks Napi Terorisme
Baca juga: Jokowi Dikabarkan Usulkan Anaknya jadi Cagub DKI, Gibran: Dengar Seko Sopo?
Menurut Widy, puncak pergerakan massa di Kota Semarang terjadi pada 13 Mei 1998.
Massa yang mendesak Presiden Soeharto turun seketika mengamuk, setelah mendengar kabar adanya mahasiswa Tri Sakti ditembak.
Kota Semarang saat itu sudah mulai dipenuhi lautan massa. Kabar itu membuat massa kian banyak dari beberapa titik.
"Bahkan ada konvoi ribuan kendaraan dan pejalan kaki," terangnya.
Diceritakannya, empat kelompok massa dari empat universitas jadi motor dalam demontrasi 1998 di Kota Semarang.
Kelompok mahasiswa itu dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang yang kini Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang.
Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang dan Universitas Diponegoro (Undip).
"Dari mereka masyarakat juga ikut bergabung dalam demontrasi besar-besaran saat itu," terangnya.
Widy juga mengingat jargon para demonstran kala itu, yaitu "jika kita bertanggung jawab pada rakyat dan masa depan. Maka, tidak ada pilihan selain merebut kekuasaan".
Selain menduduki kantor radio dan gedung DPRD Jateng, ia mengingat ada insiden yang hampir menewaskan warga Tionghoa.
Di mana saat massa melakukan konvoi dan sampai di kawasan Pecinan Kota Semarang, sebuah mobil tak sengaja berhenti di depan massa.
Kala itu Widy berada di barisan paling depan, ia melihat pengemudi tersebut gugup karena mesin kendaraannya berhenti mendadak.
"Emosi massa saat itu tak terbendung. Bahkan barisan di belakang saya meneriaki pengemudi tersebut. Namun melihat pengemudi itu berusia cukup lanjut, massa justru membantu mendorong kendaraannya hingga ke tepi jalan," tuturnya.
Massa pun berangsur-angsur berkurang setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Namun menurutnya, gerakan massa bukan hanya dipicu penembakan mahasiswa di Jakarta.
Ada beberapa peristiwa yang menjadi pemantik demonstrasi besar-besaran tersebut.
Selain krisis ekonomi, peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai kudatuli juga jadi pemicu gerakan massa.
"Selain itu ada pula insiden lainnya, hingga puncaknya pada Mei 1998," tuturnya.
Operasi Intelijen Sebelum Kerusuhan 15 Mei 1998
Suasana mencekam juga terjadi di Kota Semarang beberapa bulan sebelum insiden Mei 1998.
Saat itu, intelijen terus memantau pergerakan mahasiswa dan masyarakat.
Hal itu menbuat masyarakat dan mahasiswa tak bisa bebas dalam berkegiatan.
Menurut Dani satu di antara mahasiswa Unnes angkatan 1995, intelejen sudah memprediksi akan terjadi pergerakan massa.
"Bagaimana tidak, setiap ada kegiatan selalu diawasi. Menurut saya memang sudah ada operasi intelejen untuk memantau massa saat itu," terangnya.
Walaupun diintai, namun kelompok-kelompol pergerakan terus bergerak.
Puncaknya pada aksi menduduki gedung DPRD Provinsi Jateng pada 13 Mei 1998.
Sepekan lebih massa menduduki gedung tersebut dan terus menggelar aksi.
"Sebelum terjadi jadi penembakan di Jakarta memang aparat sangat agresif. Namun setelah itu mereka lebih pasif. Meski pasif mereka tetap membawa senjata," imbuhnya.
Rakor di Semarang, Kemendagri Ingin Pastikan Kepala Daerah di Jateng Gerakkan Siskamling |
![]() |
---|
Ramai Isu Pemekaran Provinsi Jateng, Respons Gubernur Ahmad Luthfi Singgung Arahan Pusat |
![]() |
---|
Masa Angkutan Lebaran, Ini Stasiun dengan Keberangkatan dan Kedatangan Pemudik Terbanyak di Daop 4 |
![]() |
---|
Anggota DPR Edy Wuryanto Kecam Pemotongan THR dan Remunerasi Nakes RSUP di Semarang dan Jogja |
![]() |
---|
Gandeng ISNU Jateng untuk Kolaborasi, Kanwil Kemenag Ingin Perkuat Peran dan Kebermanfaatan CTC |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.