Berita Jateng

Gelombang Tinggi dan Sampah Rusak Ekosistem Mangrove Semarang

Cuaca Ekstrem yang melanda  beberapa hari terakhir telah  merusak ekosistem mangrove di pesisir kota Semarang.

Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Muhammad Olies
Istimewa/dok warga.
Para nelayan sedang membersihkan sampah yang menimbun kawasan konservasi mangrove akibat gelombang tinggi dan banjir  di pesisir Mangunharjo, Tugu, Kota Semarang, Rabu (4/1/2023). 

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Ekosistem mangrove di pesisir Kota Semarang rusak seiring cuaca Ekstrem yang melanda beberapa hari terakhir. Kerusakan kian parah seiring kiriman sampah yang menumpuk di kawasan rehabilitasi itu.

Mangrove tak hanya rusak oleh terjangan gelombang tinggi namun juga oleh tumpukan sampah kiriman dari wilayah hulu yang bocor ke  laut.

"Iya, mangrove tertimbun sampah, kami setidaknya butuh tiga hari untuk membersihkan sampah tersebut," ujar pegiat magrove di pesisir Mangunharjo, Tugu, Kota Semarang, Sururi kepada Tribun, Rabu (4/1/2023).

Ia menyebut, sampah tersebut kiriman dari wilayah hulu yang menerjang kawasan pesisir akibat banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Beringin.

Kiriman sampah terhitung cukup banyak, pihaknya  hari ini saja Rabu (4/1/2023), sudah membersihkan berton-ton sampah.

"Kalau dikalkulasikan dengan truk, lebih dari dua truk sampah ada," bebernya.

Sampah tersebut didominasi sampah plastik hasil penggunaan rumah tangga seperti bungkus mie instan, makanan ringan, sampo, deterjen dan lainnya.

Adapula sampah-sampah organik seperti kayu namun karena bentuk dan ukuran yang besar cukup merusak ekosistem mangrove.

"Cara penanganan ya dibakar, mau dibuang ke tempat pembuangan sementara tidak memungkinkan, namun kami membakar dengan memperhatikan arah angin, semisal angin ke arah permukiman warga kami tak berani," jelasnya.

Baca juga: Terjebak Macet Dampak Banjir di Kudus, Suci Handriyani Melahirkan Bayi di Mobil

Baca juga: Gelombang Masih Tinggi, Ini Persiapan KRI Makassar 590 Distribusian BBM ke Karimunjawa

Baca juga: Simpang Lima Semarang Dibangun 58 Tahun Lalu, Berawal dari Kekesalan Soekarno dan Ulama

Sampah tersebut merusak sekira 10 persen dari total kawasan rehabilitasi mangrove yang Sururi rawat.

Total luasannya sekira dua hektare.

Pihaknya kini hanya mampu melakukan tambal sulam untuk mengganti magrove yang rusak.

Langkah antisipasi, ia ingin memasang pagar bambu dari hasil bambu yang hanyut di sungai.

"Seharunya ada bambu pelindung supaya ketika ada banjir atau gelombang tinggi lagi sampah tak masuk kawasan ini," paparnya.

Terpisah, pegiat magrove Tambakrejo, Tanjung Mas, Semarang Utara, Zazid mengaku,  gelombang tinggi yang terjadi di pesisir Semarang beberapa hari terakhir menyumbang kerusakan cukup signifikan di kawasan magrove Tambakrejo. 

Apalagi ada kapal tongkang rusak kemudian menerjang kawasan mangrove pada 23 Desember 2022.

Setidaknya ada 1.000 tanaman mangrove rusak akibat kejadian tersebut.

"Iya, ada gelombang tinggi ditambah kapal tongkang jadi merusak  paling tidak 60-70 persen dari total kawasan mangrove," bebernya.

Terkait sampah, ia menuturkan, beragam sampah plastik menyangkut di akar-akar mangrove sehingga merusak tanaman tersebut.

Sampah berasal dari aliran Banjir Kanal Timur (BKT) yang dibawa gelombang tinggi.

Tak hanya sampah plastik namun sampah bekas branjang dari rumpon  di sekitar hutan mangrove ikut merusak ekosistem. 

"Betul, ada sampah plastik tapi paling merusak sampah dari branjang," bebernya.

Pihaknya telah berkoordinasi dengan Lurah Tanjung Mas dan Camat Semarang Utara untuk membuat pagar pelindung kawasan hutan mangrove Tambakrejo dari terjangan gelombang dan ancaman sampah.

"Kalau pelindung bambu paling maksimal 1 tahun 6 bulan, lebih bagus sheet pile, namun monggo kami manut saja kalau ada bantuan dari pemerintah," terangnya.

Bocor ke Laut

Direktur Pelaksana Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari) Foundation, Amalia Wulansari mengatakan,  sampah rumah tangga sampai bocor ke pesisir merupakan bukti buruknya pengelolaan sampah rumah tangga di daerah hulu.

Sampah di pesisir yang mayoritas sampah hasil rumah tangga tidak dikelola dengan baik sehingga terbawa arus sungai hingga ke laut.

"Selain faktor kesadaran warga, sarana dan prasarana pendukung sampah kurang sehingga sungai dianggap tempat buang sampah besar," ucapnya.

Menurutnya, Indonesia sempat dinobatkan sebagai negara tertinggi kedua di dunia  yang sampahnya bocor ke laut setelah China berdasarkan penelitian tahun 2016.

Pihaknya menilai, selepas hasil penelitian itu keluar pemerintah pusat sudah mulai berbenah. 

Seperti meminta pihak produsen kemasan yang  menghasilkan sampah ikut bertanggung jawab terhadap sampah.


Begitupun Pemkot Semarang sebenarnya sudah banyak melakukan banyak hal. Apalagi TPA Jatibarang sudah overload, seperti penerapan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle TPS 3R di tingkat kelurahan. 

Hanya saja, upaya tersebut belum membuat masyarakat  sadar bahwa sampahnya harus diolah. 

"Semisal tidak mau menyampah setidaknya mengurangi penggunaan sampah sebab menyerahkan urusan sampah ke pemerintahan saja bukan hal yang tepat," ujarnya. (Iwn)

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved