Kriminal dan Hukum
Mucikari PSK Online di Bawah Umur Dilepas Polrestabes Semarang, LBH APIK Semarang Bereaksi
Mucikari PSK Online di Bawah Umur Dilepas Polrestabes Semarang, LBH APIK Semarang Bereaksi
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Polisi melepas dua mucikari yang menjual anak SD berusia 13 tahun melalui aplikasi teman kencan online MiChat sehara Rp500.000 per jam, mendapat respon dari berbagai kalangan.
Di antaranya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, menyayangkan sikap kepolisian tersebut.
LBH APIK menilai polisi dapat menjerat mucikari yang menjual anak SD berinisial SL (13) via aplikasi kencan online MiChat itu.
Baca juga: Jual Gadis Kelas 6 SD Rp500.000 Per Jam Lewat MiChat di Semarang, Mengapa 2 Mucikari Dilepas Polisi?
Baca juga: Kisah Buruh Pabrik Nyambi Jadi Pemandu Karaoke Terjaring Razia
Baca juga: MUI Sebut Wakaf Bangunan Eks Karaoke Permata LI Pati untuk Pesantren Tak Sah, Ini Alasannya
SL dijual seharga Rp500 ribu oleh dua pria yang berperan sebagai mucikari.
Namun dua orang pemuda itu dilepaskan polisi dan kasus itu selama sebulan lebih belum ada kejelasan di Polrestabes Semarang.
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengatakan, mucikari dapat dijerat hukum sesuai peraturan perundangan di Indonesia.
Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan hal itu seperti diatur dalam Pasal 296 KUHP dan pasal 506 KUHP.
Adapula Pasal 12 UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Masing-masing ketentuan hukum tersebut sanksi mucikari dapat berupa penjara maupun denda," terangnya saat dihubungi TribunMuria.com, Jumat (4/3/2022).
Mucikari dapat dijerat hukum dengan berbagai bukti yang ada berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan pasal tersebut, mucikari prostisusi online bisa dijerat melalui alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, keterangan ahli perihal cyber crime.
Berikutnya visum korban, petunjuk lainnya dari kejahatan prostitusi online bisa berupa website, rekaman, foto, sms, line, WA, atau aplikasi lain yang digunakan mucikari.
Apabila mucikari mengakui perbuatannya dalam prostitusi online maka bisa menjadi alat bukti tindak pidana yang dilakukan pelaku.
"Namun seringkali pelaku mucikari tak mengakuinya di hadapan polisi sehingga diperlukan alat bukti dukung lainnya untuk memperkuat laporan korban," tuturnya.
Ia menilai, polisi yang melepas para terduga pelaku bisa saja belum dapat melakukan pendapat hukum.
Atau tidak cukup alat bukti minimal dua alat bukti maupun keyakinan adanya peristiwa hukum sehingga belum dapat dikatakan seseorang sebagai tersangka.
"Hal tersebut menjadi laporan di kepolisian ditolak karena kurangnya alat bukti yang memperkuat seseorang sebagi tersangka," katanya.
Meski demikian, ia mengatakan, kepolisian seharusnya melakukan analisa hukum yang tepat bagi kasus tersebut agar penerapan pasal yang diberikan kepada pelaku sesuai aturan hukum yang berlaku sehingga ada keadilan bagi korban.
Kemudian memberikan informasi hak-hak korban antara lain pemulihan psikologis, hak memperoleh bantuan hukum tanpa stigma dan diskriminasi selama proses hukum.
"Pemulihan psikologis bagi korban sangat penting dan perlu karena hal itu sebagai hak korban yang telah diatur di perundang-undangan."
"Apalagi korban masih di bawah umur," ucapnya.
Di samping itu, pihaknya kurun waktu tahun 2020 sampai 2021 pernah mendampingi kasus prostitusi hingga tahap penyidikan.
Kasus itu menjerat seorang mucikari yang dikenakan sanski pidana pasal 296 KUHP.
"Namun ketika berkas kasus akan dilimpahkan ke pengadilan pelaku meninggal dunia sehingga kasus itu batal demi hukum," jelasnya.
Bocah 13 tahun dijual Rp500.000 per jam
Kasus prostitusi online melibatkan anak SD kelas berinisial SL (13) menambah deretan panjang kasus tersebut di Kota Semarang.
Catatan LBH Apik 2021 menyebutkan, angka kekerasan seksual dalam prostitusi mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun 2020 angka kasus kekerasan seksual dalam prostitusi di angka 45 kasus.
Di tahun 2021 terdapat 60 kasus.
"Puluhan kasus melibatkan perempuan dan anak perempuan yang disudutkan sebagai obyek seksual," tegas Ayu.
Sedangkan mucikari dan pengguna jasa prostitusi tidak dijerat hukuman sehingga hal itu tidak memberikan rasa keadilan bagi korban.
"Tentu hal itu tidak adil bagi korban," imbuhnya.
Maka dari itu, LBH APIK Semarang, bersama PKBI Kota Semarang, PKBI Jateng, Suar Indonesia Kediri, KOMPAS Surabaya menginisiasi gerakan anti kekerasan seksual prostitusi dan tindak pidana perdagangan orang terhadap perempuan atau Warning Indonesia Woman at Harm In Prostitution and Trafficking (Warning). (iwan)