Di sisi lain, Para korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terpaksa harus membayar sejumlah uang kepada para tersangka untuk berangkat keluar negeri.
Bahkan, di antara mereka ada yang terpaksa menjual tanah demi bisa bekerja di Jepang.
"Saya jual tanah lalu menyetorkan uang sebesar Rp65 juta kepada tersangka," ucap korban TPPO asal Sukodono, Kabupaten Sragen, Ruslan, di Kantor Polda Jateng, Rabu (21/6/2023).
Ruslan awalnya mengenal tersangka dari seorang temannya. Selepas berkenalan dengan tersangka, ia dijanjikan berangkat ke Jepang untuk bekerja di pabrik pengolah makanan.
Ia dijanjikan gaji sebesar 1.200 ribu Yen perjam atau setara Rp126 ribu.
Tergiur dengan gaji yang tinggi dan mekanisme penyaluran kerja lebih cepat, ia pun tergiur untuk bekerja kerja ke Jepang lewat tersangka.
Bahkan, ia diiming-imingi pula akan diantar ke Jepang baik ke tempat kerja maupun ke asrama.
Faktanya ketika di Bandara Soekarno Hatta Jakarta korban sudah ditinggal pergi.
Ia pun terpaksa berangkat ke Jepang sendiri yang berujung deportasi. "Saya ternyata menggunakan visa kunjungan wisatawan bukan untuk bekerja," terangnya.
Ia mengungkapkan, penyalur tenaga kerja ke luar negeri antara resmi dan tak resmi memang memiliki perbedaan.
Sebelumnya, ia pernah pergi ke Jepang di tahun 2001 dan 2005. Namun, pada tahun 2018 lalu niat berangkat kembali muncul.
Menurutnya, penyalur tenaga kerja resmi biasanya ada pelatihan, medical check up pelatihan bahasa dan lainnya.
Sebaliknya, perusahaan abal-abal tidak ada pelatihan.
"Biasanya juga lebih mahal bisa sampai 6 kali lipat. Kita juga dijanjikan kerja gampang dengan gaji tinggi," papar pria yang bekerja sebagai tukang galon itu.
Baca juga: Tindak Pidana Perdagangan Orang di Jateng Capai 26 Kasus, Jumlah Korban 1.305 Orang
Korban lainnya, Ridhol mengaku, hendak berangkat berlayar melalui perusahaan maning agency di Pemalang. Pria asal Jakarta itu terpaksa kecewa lantaran perusahaan penyalur tidak memiliki izin.