Berita Temanggung
Kisah Pilu Permukiman Lenyap Tertimbun Longsor di Temanggung, Muhtarom Kenang Dusun Jumbleng
Permukiman di Dusun Jumbleng, Temanggung, lenyap tertimbun longsor 36 tahun silam. Kini, lokasi dusun tersebut menjadi hamparan perkebunan kopi warga.
Muhtarom mengenang permukiman Dusun Jumbleng, Temanggung, yang lenyap tertimbun longsor 36 tahun silam. Ia merupakan satu di antara tiga korban selamat.
TRIBUNMURIA.COM, TEMANGGUNG – Kabupaten Temanggung tidak hanya dikenal memiliki komoditas unggulan berupa tembakau. Namun, akhir-akhir ini kopi juga menjadi salah satu komoditas yang bisa dibilang sebagai andalan baru para petani.
Tedapat beberapa wilayah yang notabene merupakan sentra perkebunan kopi. Salah satunya adalah Desa Krempong yang terdapat di Kecamatan Gemawang.
Selain dikenal sebagai salah satu penghasil kopi berkualitas, ternyata desa ini juga menyimpan sebuah cerita sejarah pilu yang telah cukup lama tersimpan dalam benak dan ingatan masyarakatnya.
Baca juga: Viewnya Keren! Warga Campur Rejo Temanggung Gelar Upacara Kenakan Seragam SD di Beteng Sata
Baca juga: Bank Temanggung Bhumi Pala Run 2025 Diikuti 1.600 Pelari, Agus Gondrong: Cocok untuk Event Tahunan
Ya, di tempat ini, terdapat kisah pemukiman yang raib akibat tertimbun ganasnya bencana tanah longsor.
Namanya Dusun Jumbleng. Di balik keindahan alam dan kebun kopi yang terhampar luas, ternyata terdapat sebuah kisah tragis.
Yakni sebuah kawasan pemukiman warga yang terkubur oleh hantaman dahsyat bencana tanah longsor. Bahkan, peristiwa tersebut memakan korban jiwa hingga 31 orang.
Tak banyak yang tahu memang, namun seluruh jejaknya masih dapat kita telusuri sampai detik ini. Kendati demikian seluruh pemukiman itu, kini telah tertimbun oleh hamparan perkebunan kopi milik warga setempat.
Dengan kedalaman sekitar 5 meter di bawah tanah itulah, seluruh kenangan mereka serasa sunyi, terpendam dengan rapat.
Salah seorang warga yang selamat dari peristiwa kelam itu adalah Muh Tarom (53). Dari 34 warga yang menjadi korban tanah longsor, 3 di antaranya berhasil selamat.
Tarom tak sendiri, ada sang ayah bernama Yatin, serta paman yang bernama Sarimin. Atas perjuangan dan keajaiban, ketiganya berhasil lolos dari maut.
Dirinya mengkisahkan, semua berawal pada hari Kamis atau malam Jumat Wage bulan Desember tahun 1989 atau 36 tahun silam.
Suasana Dusun Jumbleng kala itu dirasa mengkhawatirkan oleh seluruh warga yang tinggal.
Bukan tanpa sebab, pasalnya kontur perbukitan yang mereka huni itu, tengah diguyur hujan lebat selama berjam-jam.
Air langit yang turun sejak pukul 16.00 WIB hingga malam hari berpotensi menyebabkan bencana tanah longsor.
Menurutnya, sebagian warga sebenarnya telah mulai mengungsi ke rumah warga lain yang dianggap lebih aman. Tujuannya adalah agar mereka terhindar dari bahaya tertimbun tanah longsor.
Namun, semua itu seolah sirna. Tepat pukul 22.00 WIB, tiba-tiba peristiwa tanah longsor yang cukup hebat terjadi.
Diawali suara dentuman keras, Bukit Seringin yang biasanya gagah menjulang, kini roboh turun hingga ke pemukiman.
Hanya dalam hitungan detik, 13 rumah warga di dusun tersebut tertutup oleh pekatnya tanah bercampur air.
“Sebenarnya sudah ada tanda-tanda akan terjadi longsor karena hujan deras tidak kunjung reda sejak sore hingga malam hari. Tetapi, karena memang pemukiman kami berada persis di bawah bukit, tidak ada waktu bagi kami kala itu untuk menyelamatkan diri,” kenangnya, Senin (30/6).
Tak ada aliran listrik di Dusun Jumleng kala itu. Warga hanya menggunakan lampu teplok sebagai alat penenrangan utama sehari-hari.
Walhasil, malam yang sunyi itu, tiba-tiba pecah oleh jeritan tangis minta tolong dan bunyi kentongan yang bertalu-talu.
Seluruh warga dusun berhamburan keluar. Suasana yang hening, seketika berubah berselimut aroma mencekam.
Sedikitnya, 13 rumah warga kini telah rata oleh tanah. Termasuk di dalamnya bangunan masjid yang biasa mereka gunakan untuk beribadah.
Warga yang terhindar dari longsoran tanah berusaha memberikan pertolongan. Berharap para sanak saudara dan tetangga yang telah tertimbun material tanah masih dapat diselamatkan.
Namun, Tuhan berkata lain. Mereka justru menemukan 30 jasad yang telah berselimut pekatnya tanah.
“Waktu itu kami berada di teras rumah sambil mengumandangkan adzan sebelum bencana terjadi. Alhamdulillah, saya, bapak, dan pak dhe saat itu bisa selamat meskipun itu tidak mudah."
"Lumpur sudah mengubur tubuh saya. Meski terdorong tanah dan puing-puing rumah yang terus mendesak, namun saya berusaha sekuat tenaga keluar ke lokasi yang aman."
"Begitu juga bapak yang berhasil diselamatkan oleh pertolongan warga. Bahkan, pak dhe saya sempat dua jam lamanya terkubur material longsor,” bebernya.
Usai berhasil lolos dari maut, Tarom hanya mampu melihat lalu lalang warga yang berhamburan menyelamatkan diri sembari mencari tempat yang lebih aman.
Ia juga seketika merasa lunglai melihat pemandangan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Rumah yang menjadi sandaran hidupnya bersama keluarga, kini terpendam bersama masjid dan belasan rumah warga lain.
Meski 36 tahun telah berlalu, namun peristiwa dahsyat itu masih sangat membekas dalam ingatannya. Trauma mendalam itu tampaknya tak kunjung sirna.
Terlebih, tahun 2023 lalu, warga kembali dihebohkan dengan penemuan tulang belulang manusia utuh di sekitar lokasi bekas kejadian.
Warga yakin bahwa itu adalah kerangka milik Mbah Enthik, seorang korban longsor yang 34 tahun tak diketahui lokasi jasadnya.
“Jadi ada 31 warga yang meninggal baik itu anak-anak, muda, dan lansia. 30 orang ditemukan setelah kejadian, sedangkan satunya lagi ditemukan setelah 32 tahun kemudian."
"Tahun 2023 lalu, saat salah seorang warga mencangkul lahan di lokasi bekas kejadian, tiba-tiba ia menemukan kerangka utuh manusia. Itu milik Mbah Enthik yang saat kejadian berada di sekitar lokasi namun tak kunjung ditemukan,” urainya.
Sementara itu, Romelan (61) warga setempat, juga menceritakan bahwa lokasi bekas peristiwa longsor itu kini telah berubah menjadi area perkebunan kopi.
Sedalam 5 meter di bawah tanah tersebut, terdapat 13 rumah beserta perabot rumah tangga, ternak, dan masjid yang terpendam hingga saat ini.
Tak lama setelah peristiwa, seluruh warga Dusun Jumbleng yang selamat, lantas mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Saat ini, lokasi pengungsian itu telah menjadi sebuah kawasan permukiman yang diberi nama Dusun Campursari. Alhasil, Dusun Jumbleng kini sudah tidak berpenghuni.
Di sana kini hanya terdapat hamparan perkebunan kopi dan rumah-rumah kosong yang dimanfaatkan sebagai kandang hewan ternak dan lokasi pembuatan gula aren.
“Setelah peristiwa, seluruh warga Dusun Jumbleng mengungsi. Rumah-rumah mereka dibiarkan kosong dan ditinggal begitu saja kala itu."
"Kini, warga telah pindah membuat pemukiman baru bernama Dusun Campursari. Mereka hanya akan kembali ke Dusun Jumbleng untuk sekedar berkebun, mmberi makan ternak, panen kopi, dan memproduksi gula aren,” katanya.
Sebagai pengingat peristiwa kelam itu, kini setiap malam Jumat Wage di bulan Desember, seluruh warga menggelar doa bersama berupa pembacaan tahlil dan yasin.
Bahkan, di Dusun Campursari juga telah dibangun sebuah gapura yang berisi diorama bencana tanah longsor hebat 36 tahun silam.
Di gapura itu juga tertulis “Sirnaning Wismo, Ambuko Ati” atau jika diartikan adalah “sirnyanya pemukiman, pembuka hati”.
“Peristiwa itu harus menjadi pelajaran penting. Warga yang tinggal di daerah rawan bencana sudah seharusnya tidak mengabaikan tanda-tanda alam. Segera pindah ke lokasi yang aman apabila merasa situasinya membahayakan,” pesannya. (*)
Bupati Apreasiasi Pelajar Temanggung Bentangkan Bendera Merah Putih Raksasa |
![]() |
---|
Regeng Suro, Tangis Bupati Temanggung Agus Gondrong Pecah Kenang Masa Jadi Kades Campurejo |
![]() |
---|
Rendah Hati, Bupati Agus Gondrong Jongkok Ikatkan Tali Sepatu Siswi yang Terlepas saat Upacara |
![]() |
---|
Cerita Rumah Singgah Pemkab Temanggung di Jogja dan Semarang, Begini Perjuangan Agus Gondrong |
![]() |
---|
Bank Temanggung Bhumi Pala Run 2025 Diikuti 1.600 Pelari, Agus Gondrong: Cocok untuk Event Tahunan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.