Berita Semarang

Ontosoroh Modern dalam Monolog ‘Paramita’ Teater HAE Semarang, Peringati Seabad Pramoedya

Pentas monolog 'Paramita' garapan Teater HAE Semarang cerminkan keuletan dan kekuatan sikap Ontosoroh modern. Monolog Paramita peringati seabad Pram.

Dok Teater HAE
PERINGATAN SEABAD PRAM - Monolog Paramita, yang mencerminkan kekuatan sosok Nyai Ontosoroh dalam dunia modern, dipentaskan Tetaer HAE di Gedung Serba Guna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (30/4/2025) malam.  

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Sosok Ontosoroh modern sedikit banyak tercermin dalam pentas monolog 'Paramita' garapan Teater HAE Semarang.

Monolog Paramita dipentaskan di Gedung Serba Guna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Rabu (30/4/2025) malam. 

Ratusan penonton mengapresi pertunjukan dalam rangka peringatan satu abad sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer tersebut.

Meski bertajuk monolog, Indah Sri Novitasari yang memainkan tokoh Perempuan, ternyata bukan satu-satunya aktor. Syarif Ubaidillah, Ponco Adi Nugroho, dan Mahran Nazih turut bermain dan berdialog meski hanya sebentar. 

Konsep monolog yang berbeda dari Sutradara Nila Dianti ini menarik didiskusikan. 

Apakah sebuah pentas monolog harus dimainkan satu orang, atau boleh ada aktor lain di panggung pertunjukan? 

Sama menariknya dengan bagaimana Aristya Kuver sebagai penata musik memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam merancang ilustrasi pertunjukan. 

Di luar masalah kemasan, cerita Paramita sendiri menarik diperbincangkan. Dari sisi karakter Perempuan dan cerita, penonton akan bisa menemukan kemiripan dengan tokoh Nyai Ontosoroh dari Bumi Manusia karya Pramoedya. 

Kisah pilu ketika dijual ayahnya sendiri demi uang dan jabatan, menjadi gundik pengusaha kaya, kemandiran dan tekadnya untyuk berdaya, hingga keberaniannya melawan sistem hukum dan sosial yang mengungkungnya. 

Namu, bila Ontosoroh akhirnya kalah di akhir Bumi Manusia, Perempuan di Paramita tak mau menyerah begitu saja. Setelah negara tak mengakui perkawinannya serta kehilangan suami dan anaknya. Ia mampu bangkit berdiri untuk kembali menaklukkan dunia. 

Dendam kesumat pada ayah yang menjualnya semasa muda, adalah bahan bakar perjuangannya. Perempuan ingin membuktikan dirinya bisa mandiri, berdaya, dan sempurna. Sebuah kesempurnaan yang terus ia pertanyakan artinya. Kesempurnaan yang tak pernah ia raih meski sudah mati-matian mengejarnya. 

Naskah Paramita ditulis Anton Sudibyo. Ia mengakui naskah itu terinspirasi karakter Nyai Ontosoroh. Menurutnya, banyak sekali Ontosoroh-Ontosoroh yang melawan stereotip di zaman modern ini. 

“Kita hormati Ontosoroh yang meski seorang gundik tapi tegak melawan kepongahan sistem hukum dan sosial Belanda. Mengapa kita tidak bisa hormat pada perjuangan perempuan masa kini dengan segala stereotip buruk yang dikonstruksi oleh hukum dan sosial masyarakat kita?,” katanya.

Mantan wartawan sejumlah media di Semarang itu belakangan produktif dengan karya-karya yang merekam kehidupan manusia modern di zaman digital. 

Sebelumnya, ia menulis Tap-Tap yang dipentaskan Teater HAE November 2024 lalu di Auditorium RRI Semarang. Tap-Tap memotret sisi gelap dunia influencer yang memanipulasi audiens lewat karakter-karakter palsu komunitas live streaming.

Paramita adalah pentas produksi HAE ke-8. Komunitas yang berdiri pada 2019 ini nampak lebih suka memainkan naskah produksi sendiri, dari pada mementaskan naskah lama. 

“Dunia bergerak cepat, arus informasi semakin cepat dan meluap-luap, muncul persoalan dan tantangan baru di sekitar kita yang menuntut respon kita untuk menghadirkannya di panggung teater,” kata Anton seusai pementasan. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved