Berita Jateng

Food Estate Holtikultura di Temanggung dan Wonosobo Gagal, Proyek 'Omon-omon' untuk Kejar Panggung

Proyek ambisius food estate hortikultura di Temanggung dan Wonosobo, dinilai hanya sekadar untuk cari panggung. Proyek gagal yang jadi 'omo-omon' saja

Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TribunMuria.com/Iwan Arifianto
Petani Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Ngateno mencangkul ladangnya untuk ditanami cabai. Lahan pertaniannya tersebut pernah disewa untuk proyek food estate, Sabtu (28/9/2024). 

Proyek ambisius food estate hortikultura di Temanggung dan Wonosobo, dinilai hanya sekadar untuk cari panggung. Proyek gagal yang jadi 'omo-omon' saja.

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Food estate hortikultura di Wonosobo dan Temanggung yang digagas Kementerian Pertanian (Kementan) kini tinggal proyek "omon-omon".  Bahkan, petani menilai, proyek ini hanya sekedar program cari panggung di tengah kegagalan proyek serupa di berbagai daerah.

Mulastri (42) seorang petani perempuan, siang itu tengah bekerja di ladangnya di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo.

Persis di samping ladangnya, terdapat gapura dengan dominasi warna kuning bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Food Estate Hortikultura Desa Lamuk”.

Mulastri meskipun tidak memahami apa itu program food estate tetapi dia merasakan dampak dari program tersebut.

Sebab, lahan cabai miliknya yang digarap di tanah bengkok desa harus dibabat demi ambisi penyediaan lahan food estate tanpa proses ganti rugi.

Padahal ketika itu, ibu dua anak ini masih menunggu masa panen cabai  yang tinggal dua pekan lagi.

Semua itu dilakukan demi kunjungan Presiden ke-7 RI, Joko “Jokowi” Widodo, ke Desa Lamuk untuk meresmikan lahan food estate pada Desember 2021 silam.

“Iya, Jokowi ke sini (bikin) rugi besar. Waktu itu katanya Jokowi minta sekian hektare (untuk lahan food estate) jadi tanaman di lahan bengkok ditebangi semua termasuk punya saya,” ujar Mulastri saat ditemui Tribun Jateng di ladangnya, Kamis, 26 September 2024.

Kondisi itu dibenarkan oleh Andi, Ketua Kelompok Tani Maju Rahayu.  Kelompok tani ini dipercaya oleh Kementan untuk menjadi pengelola lahan food estate di Desa Lamuk.

Kementan meminta kepada pihak desa dan kelompok tani yang diketuai Andi untuk menyediakan lahan hamparan food estate seluas 26,3 hektare atau seluas lima kecamatan di ibu kota Jawa Tengah, Kota Semarang.

Namun Andi dan kelompoknya mulanya hanya bisa menyediakan lahan seluas 4 hektare, untuk memenuhi seluas 26,3 hektare maka harus melakukan pembabatan  tanaman siap panen milik Mulastri dan para petani lainnya.

“Kami terpaksa mencabuti tanaman cabai (siap panen) milik para petani demi lahan hamparan food estate seluas 26,3 hektare,” akunya. 

Meskipun sempat diwarnai konflik, Andi mengungkapkan, para petani bersedia tanaman mereka dibabat karena ada janji ganti rugi dari Kementan sebesar Rp4 juta per luasan lahan 0,1 hektare dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo menjanjikan perbaikan jalan usaha tani. 

Belakangan, janji itu tidak tepati sehingga berujung aduan petani ke Polsek Kalikajar dan Polres Wonosobo.

“Meskipun aduan itu tak sampai ke tahap pelaporan karena informasinya minim bukti sehingga aduan itu tidak bisa ditindaklanjuti oleh polisi,” ungkap Andi.

Infografis rencana awal program food estate di Temanggung dan Wonosobo.
Infografis rencana awal program food estate di Temanggung dan Wonosobo.

Food estate hortikultura di 5 kabupaten

Kementerian Pertanian menggagas food estate hortikultura di lima Kabupaten di Pulau Jawa pada tahun 2021. 

Kelima Kabupaten tersebut mencakup Garut (Jawa Barat),  Wonosobo dan Temanggung (Jawa Tengah), Bantul (Yogyakarta) dan Gresik (Jawa Timur).

Menurut Kabid Hortikultura, Dinas Pangan Perikanan dan Pertanian (Dispaperkan) Kabupaten Wonosobo, Sumanto, proyek food estate di Wonosobo diinisiasi oleh Kementan untuk merespon "kurang berhasilnya" proyek food estate di luar Jawa meliputi Kalimantan, Sumatera Utara dan Papua.

"Pada 14 Desember 2021, dilakukan kick-off food estate hortikultura di Wonosobo dan Temanggung oleh (mantan) Presiden Jokowi," katanya saat ditemui di kantornya, Selasa (8/10/2024).

Proyek itu lantas mulai berjalan pada tahun 2022. Selang setahun kemudian pada 2023, proyek itu berhenti.

Sumanto tidak mengetahui penyebab pasti berhentinya proyek ini, entah berkaitan dengan anggaran atau sebab lainnya.

"Food estate Wonosobo diinisiasi oleh Kementan bukan Presiden jadi tidak mendapatkan dana alokasi khusus (DAK) seperti proyek serupa di Kalimantan, Sumatera Utara dan daerah lainnya," bebernya.

Menukil dari buku “Grand Design Pengembangan Food Estate Berbasis Korporasi Petani” (Kementerian Pertanian, 2022) menyebutkan,  food estate  di Wonosobo tersebar di lima kecamatan dengan luasan meliputi kecamatan Garung 125 hektare (Ha), Kalikajar 32,53 Ha, Kejajar 45 Ha, Kertek 19,95 Ha, dan Watumalang 117,48. Luas secara keseluruhan menjadi  339,96 Ha.

Dari luasan tersebut, Kementan berencana menambah luasan menjadi 1.000 hektare pada tahun 2024.  

Jenis komoditas yang ditanam kentang, bawang merah, bawang putih, dan cabai.

Program tersebut menargetkan 265 gabungan kelompok tani (Gapoktan) dan 1.380 kelompok tani (poktan) dengan 61 ribu anggota.

Dari target luas areal tanam komoditas utama dan skenario peningkatan produktivitas serta harga jual produk dalam kurun tahun 2022-2024, food estate di Wonosobo diestimasikan mendapatkan keuntungan bersih (Net Present Value/NPV) sebesar Rp 103,6 miliar dan rasio penerimaan terhadap biaya (Benefit-cost Ratio/BCR) pada  angka 1,53.

Food Estate : Sekedar Program Cari Panggung 

Gapura Food Estate Hortikultura di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo,
Gapura Food Estate Hortikultura di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Kamis (26/9/2024). Gapura itu menjadi satu-satunya tanda yang masih tersisa dari program food estate di daerah tersebut.

Rencana besar Kementan soal food estate di Wonosobo ternyata gagal total. Petani Lamuk Andi menilai, food estate merupakan program cari panggung.

Dia menganggap food estate sekedar proyek cari panggung karena beberapa alasan. Di antaranya pemaksaan program tersebut di Lamuk. 

Pemaksaan program food estate ditandai dengan tanam cabai yang dilakukan pada bulan Desember padahal bulan tersebut bukanlah masa tanam cabai.

“Food estate akhirnya dipaksakan terjadi meskipun harus melawan musim,” tuturnya.

Akibat melawan musim, lanjut andi, hasil panen di lahan food estate tidak sesuai harapan.

“Dari luasan lahan tersebut, hanya 4 hektare lahan yang berhasil, sisanya gagal,” terangnya.

Di tengah kegagalan panen tersebut, para petani juga sempat dibuat jengkel oleh offtaker (pihak yang membeli hasil produksi dari sebuah proyek yang sedang berjalan atau telah selesai) yang langsung menyodorkan tawaran kontrak kepada petani.

Menurut Andi, petani di desanya adalah petani yang tumbuh secara alami yang terbiasa berspekulasi.

Oleh sebab itu, petani menolak ketika ada perusahaan/offtaker menawarkan kontrak pembelian cabai Rp12 ribu per kilogram di awal masa tanam.

Alasan petani menolak karena terjadi selisih harga yang cukup signifikan ketika masa panen. 

Hal itu terjadi selama program. Kala itu, harga cabai di offtaker dipatok Rp12 ribu per kilogram sedangkan di pengepul tingkat kampung  diharga Rp16 ribu per kilogram.

“Seharusnya ambil jalan tengah, offtaker membeli dengan harga tak berbeda jauh dari harga pasaran terbaru,” sarannya. 

Melihat kondisi tersebut, Andi menyebut, program food estate yang diharapkan petani meningkatkan harga jual komoditas tetapi kenyataannya tidak seperti itu. 

Mereka akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkan penjualan ke offtaker.

“Food estate program macam apa? soal harga saja masih kalah dengan tengkulak,” keluhnya.

Hal yang sama dirasakan oleh petani cabai di Dusun Wonolobo, Lamuk, Wonosobo, Imam. Dia mengatakan, program food estate belum bisa memecahkan persoalan yang dihadapi petani.

"Food estate tidak memberikan solusi dari masalah yang dialami petani yakni distribusi penjualan," terangnya.

Cerita Petani di  Lahan Food Estate Bansari Temanggung 

Kondisi para petani Wonosobo, juga dialami pula oleh petani di  bekas lahan food estate di Kabupaten Temanggung.

Kawasan lahan food estate di Temanggung dikunjungi mantan Presiden Jokowi persisnya di Desa Bansari, Kecamatan Bansari pada Desember 2021.

Food estate di Kabupaten Temanggung dikembangkan di lima (5)  kecamatan meliputi Parakan, Kledung, Bansari, Bulu, dan Ngadirejo. 

Lahan rintisan awal di tahun 2021 totalnya seluas 339 hektare.

Kementan berencana terus menambah luasan lahan selama program, targetnya tahun 2022 menjadi seluas 400 hektare, 2023 menjadi seluas 800 hektare dan puncaknya tahun 2024 menjadi seluas 1.000 hektare. 

Komoditasnya berupa bawang merah, bawang putih dan cabai.

Dari target luas areal tanam komoditas utama dan skenario peningkatan produktivitas serta harga jual produk dalam kurun tahun 2022-2024, food estate di Temanggung diestimasikan mendapatkan keuntungan bersih (Net Present Value/NPV) sebesar Rp 101,6 miliar dan rasio penerimaan terhadap biaya (Benefit-cost Ratio/BCR) pada  angka 1,54.(Kementerian Pertanian, 2022).

Bagaimana praktiknya di lapangan? sejumlah petani di Bansari malah ada yang menolak lahannya dilibatkan untuk proyek  food estate.

“Iya mau dikasih bibit bawang putih untuk ditanam di ladang.  Katanya program hortikultura ( food estate) tapi saya tidak mau karena bibit kualitasnya kurang bagus,” papar petani Dusun Tegalsari, Desa Bansari, Mudiyan. 

Mantan guru agama ini menolak mentah-mentah program food estate karena lahannya mau digarap sendiri untuk ditanam sesuai kemauannya.

“Kalau ikut (food estate) harus ditanam bawang putih,” sebutnya.

Padahal Mudiyan merasa menanam cabai dan tembakau lebih menguntungkan.

Meskipun begitu, tidak semua petani seperti Mudiyan. Petani lainnya di dekat lahan Mudiyan adapula yang mengikuti program food estate di antaranya Ngateno.

Ladang milik Ngateno seluas 1 hektare disewa dengan bentuk kemitraan dengan biaya sewa sebesar Rp10 juta selama tiga bulan. 

Lahannya tersebut wajib ditanam bawang merah sesuai komoditas food estate di kawasan tersebut. 

Dia bertugas merawat bibit itu hingga panen dengan upah Rp50 ribu perhari.

Hasil panen nantinya diserahkan ke offtaker. Akan tetapi, dia tidak tahu menahu offtaker yang mana.

“Hanya satu kali itu, selepas itu saya kembali tanam cabai kembali,” bebernya.

Keengganan para petani untuk menuruti program pemerintah lewat food estate juga tampak di lokasi.

Pengamatan Tribun,  lahan food estate yang dikunjungi Jokowi dengan klaim bakal menjadi kawasan hortikultura bawang merah dan bawang putih ternyata kini malah kembali menjadi hamparan tanaman tembakau, Sabtu (28/9/2024).

Sekretaris Kelompok Tani Lestari Bansari, Sofian Ashari mengklaim, food estate di Bansari dimulai dari November 2021 hingga Maret 2024. Kini, dia tidak mengetahui kelanjutan program tersebut.

Luasan hamparan lahan food estate di Bansari yakni seluas 46 hektare dengan komoditas yang ditanam bawang merah dan bawang putih.

“Tidak ada pembukaan lahan baru. Pakai lahan yang sudah ada. Jadi program food estate di sini lebih ke pengelolaan dan pasarnya,” katanya.

Korporasi Gagal Jadi Solusi

Korporasi dalam program food estate menjadi penghubung antara petani dengan offtaker. Dalam program food estate di Temanggung dan Wonosobo, korporasi yang dibentuk adalah Korporasi Tawon (Temanggung-Wonosobo).

Sejumlah petani di wilayah food estate dari dua kabupaten ini menilai, korporasi gagal menjalankan fungsinya sebagai jembatan antara petani dengan offtaker.

Bahkan, korporasi akhirnya mandek. “Korporasi Tawon sudah tidak aktif sejak 2023. Tidak ada komunikasi lagi,” kata Ketua Gapoktan Ngudi Makmur, Temanggung, Anton Budiono. Dia di korporasi tersebut terdaftar sebagai anggota.

Kondisi tersebut ditegaskan pula oleh anggota Korporasi Tawon dari Kelompok Tani Sumber Makmur Wonosobo, Misgiyono. Dia mengaku ikut korporasi berstatus sebagai anggota. 

“Korporasi tidak jalan, mangkrak,” bebernya.

Ketua Korporasi Tawon, Saiful Roqib (45) mengatakan, korporasi mulai dibentuk pada tahun 2022. Selepas launching korporasi food estate malah mandek.

“Kami tidak tahu berhentinya karena apa. Kami  mau melangkah sudah berhenti jadinya (target) capaian kami jauh sekali,” katanya saat ditemui di rumahnya di Lengkong Kidul, Binangun, Watumalang, Wonosobo, Selasa (8/10/2024).

Lantaran baru berjalan, Saiful menyebut, tidak mengetahui catatan pasti dari komoditas yang disetorkan para petani ke korporasi.

Dia berdalih sebagai ketua korporasi lebih sering turun ke bawah untuk memecahkan kesulitan petani di persoalan produksi.

Mengingat kondisi itu, ia mengakui, bahwa korporasi hanya jalan di tempat.

“Saya setuju (korporasi) jalan di tempat, artinya tidak ada amunisi. Tidak ada anggaran sama sekali,” paparnya.

Food Estate Hortikultura: Mati Suri di Wonosobo, Diklaim Eksis di Temanggung

Petani perempuan sedang memanen cabai di bekas lahan Food Estate Hortikultura
Petani perempuan sedang memanen cabai di bekas lahan Food Estate Hortikultura di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Kamis (26/9/2024).

Kabid Hortikultura, Dinas Pangan Perikanan dan Pertanian (Dispaperkan) Kabupaten Wonosobo, Sumanto mengibaratkan proyek food estate sebagai bayi yang mulai berjalan merangkak tapi tiba-tiba ditinggal pergi sehingga jadi program mati suri.
Kendati mati suri, dia memastikan tidak ada pengaruhnya ke petani Wonosobo.

"Petani di Wonosobo sudah eksis dari dahulu. Ada program (food estate) atau tidak tetap berjalan terus," ujarnya.

Bahkan, Sumanto menilai, selama program berjalan tidak ada kejelasan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) terkait kewenangan antara Kementan dengan dinas terkait di kabupaten.

Kemudian politik anggaran untuk menopang food estate di Wonosobo juga belum ada.

"Soal korporasi petani Wonosobo dan Temanggung juga kurang efektif maka kami berinisiatif membentuk korporasi khusus petani  Wonosobo," tuturnya.

Sementara Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Temanggung, Joko Budi Nuryanto enggan menanggapi soal food estate hortikultura di wilayahnya.

Dia berdalih, food estate merupakan program pusat. Berkaitan dengan dampak program itu ke petani Temanggung, ia menilai sulit untuk mengukurnya.

Sebaliknya, Pj Bupati Temanggung Hary Agung Prabowo mengklaim, beberapa wilayah yang ditunjuk Kementerian Pertanian masih menjadi kawasan food estate.

“Wilayah tersebut konsisten untuk daerah food estate dalam rangka sebagai mengendalikan laju inflasi terutama pada komoditas cabai,” terangnya saat ditemui di sela kunjungan ke Embung Bansari, Sabtu (28/9/2024).

Infografis hasil produksi tanaman prioritas food estate di Temanggung dan Wonosobo
Infografis hasil produksi tanaman prioritas food estate di Temanggung dan Wonosobo tahun 2021-2023. Meskipun tanpa program tersebut, produksi tanaman prioritas tetap menunjukkan tren kenaikan.

Perlunya Penguatan Pangan Lokal yang Beragam

Gagalnya proyek food estate hortikultura berbasis Korporasi di Temanggung dan Wonosobo selaras dengan laporan penelitian berjudul "Proyek Strategis Nasional Bernama Food Estate: Ancaman Otonomi Petani dan Keragaman Sumber Pangan Lokal di Desa Umbu Mamijuk, Sumba Tengah" oleh Almonika Cindy Fatika Sari dari Universitas Gadjah Mada, yang diterbitkan Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia yang dikelola oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang (2024).

Riset tersebut menyimpulkan, dalam food estate petani masuk dalam rantai nilai atau rantai komoditas tetapi bukan sebagai aktor utama.

Sebaliknya, korporasi agribisnis yang menjadi pengemudi untuk menyetir nalar dan arah kebijakan.

Kemudian, para petani perlu berkumpul sebagai korporasi petani yang berbentuk badan hukum dan melakukan pertanian kontrak dengan investor/offtaker.

Konsekuensinya, sistem pertanian yang dilakukan oleh petani pada program food estate harus sesuai dengan standar atau preskripsi investor/offtaker.

Konsekuensi lain adalah monokultur dan pilihan komoditas yang ditentukan oleh permintaan pasar mengakibatkan program food estate jauh diperuntukkan bagi memenuhi kebutuhan sumber pangan warga lokal.

“Food estate turut berkontribusi pada pengurangan keanekaragaman sumber pangan lokal di daerah-daerah. Hal ini dikarenakan alokasi lahan dan tenaga petani dikonsentrasikan untuk menanam komoditas pangan utama seperti beras dan jagung,” tulis riset tersebut.

Sementara, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menjelaskan, food estate hortikultura di Temanggung  dan Wonosobo bagian dari  klaim pemerintah untuk peningkatan produksi pertanian lewat intensifikasi.

Berbeda dengan food estate di wilayah di luar Jawa yang sampai membuka lahan atau ekstensifikasi, food estate di dua kabupaten di Jawa Tengah ini  cukup hanya mengandalkan lahan yang sudah ada.

“Pemerintah tinggal meningkatkan produksi pertaniannya melalui penguatan budidaya, kelembagaan petani dan pasar,” kata pria yang biasa disapa Ayip ini, Jumat 11 Oktober 2024.

Ide dasar program itu, lanjut Ayip, pemerintah ingin membangun satu kawasan agribisnis sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan petani.

Petani yang memiliki luas lahan tak seberapa lalu dikelompokan menjadi satu ke dalam korporasi petani untuk diperintah menanam satu jenis  komoditas. 

Komoditas tersebut lalu disuplai  ke  perusahaan atau offtaker.

“Ide pemerintah ini merupakan cara berpikir pasar dan kapital yakni memproduksi barang sebanyak-banyaknya dengan seefisien mungkin,” ucapnya.

Bagi Ayip, skema tersebut merupakan lompatan yang cukup jauh bagi petani.  Namun, ketika  pemerintah ingin mengajak para petani untuk melompat sepatutnya harus menyiapkan “jalannya” terlebih dahulu. 

“Jalan” yang dimaksud Ayip adalah variabel kelembagaan dan sosiokultural para petani.

Sayangnya, kata Ayip, Kondisi  itu tidak dipahami oleh pemerintah yang dibuktikan dengan desain program  kebijakan yang acapkali hanya mengejar soal aspek ekonomi.

Namun,  abai  soal kelembagaan petani maupun sosio-kulturalnya.

“Ketika petani diajak melompat terlalu jauh tanpa jalan yang baik, maka secara terus menerus akan menemukan kegagalan-kegagalan baru,” ujarnya.

Kegagalan itu juga tampak dari proyek food estate hortikultura berbasis korporasi yang duji coba di lima wilayah meliputi Garut, Wonosobo, Temanggung, Bantul dan Gresik.

Ayip menilai, uji coba di lima  wilayah tersebut dari segi hasil produksi tidak cukup menggembirakan sehingga sampai sekarang belum mendengar kisah sukses dari kelima daerah tersebut yang berkaitan dengan program food estate.

“Nah, untuk kasus Temanggung dan Wonosobo,  saya kira titik lemahnya (penyebab kegagalan) terletak pada kekuatan organisasi produsen (korporasi petani) dengan si marketer pasar di atasnya,” ungkapnya.

Lantas, sebenarnya sistem pangan seperti apa yang perlu digalakan pemerintah daripada menjalankan  food estate yang tuai kegagalan?

Menurut Ayip, pemerintah ketika ingin memperkuat sistem pangan seharusnya berpatokan terhadap dua hal yakni lokalitas dan keberagamaan.

Dua hal ini  sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara unik yang memiliki perbedaan di setiap wilayahnya baik agroekosistem dan iklimnya.

“Kunci sistem pangan kita harus resilience dan basisnya keanekaragaman,” katanya.

Berkaitan keanekaragaman, Ayip menjabarkan keanekaragaman produksi pangan  akan membentuk pola keberagaman konsumsinya.

Keanekaragaman pangan yang dimiliki petani lokal di Indonesia merupakan kekuatan besar. 

Keanekaragaman sumber pangan ini dinilai Ayip bisa menjadi penolong bangsa ini dari krisis ancaman pangan.

“Bayangkan ketika kita tergantung pada satu jenis makanan, ketika makanan itu tidak ada, terus  mau ngapain?.”

Oleh karena itu, Ayip menyayangkan langkah pemerintah yang malah mendesain  sumber pangan untuk diseragamkan. 

Hal itu tampak dari ambisi pemerintah untuk swasembada jagung, kedelai dan beras. Kemudian mendorong semua wilayah  menanam komoditas pertanian tersebut.

“(Kebijakan itu) aneh sekali karena mengingkari keberagaman pangan. Akhirnya, kita semakin menjauh dari anugerah keanekaragaman tersebut,” keluhnya.

Selain keanekaragaman, Ayip mendorong pemerintah untuk mempertahankan lokalitas pangan. 

Soal ini, dia melihat pemerintah tampaknya memandang lokalitas pangan sebagai hal yang rumit karena harus mengurus pengembangan produksi pertanian yang lokal dan beragam.

“Mengurus pangan, sebenarnya bukan persoalan ribet dan tidak ribet. Hanya tinggal mau atau tidak?,” tandasnya. (Iwan Arifianto)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved