Berita Kudus

Januari - Agustus 2024, Ada 31 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kudus, Didominasi KDRT

Dalam kurun waktu Januari-Agustus 2024, terjadi 31 kasus kekerasan perempuan dan anak di Kudus. Dari 31 kasus, mayoritas adalah KDRT.

Penulis: Saiful MaSum | Editor: Yayan Isro Roziki
TribunMuria.com/Saiful Masum
Ketua JPPA Kabupaten Kudus, Noor Haniah. 

TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus mencatat ada 31 kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Kretek terlapor sepanjang Januari - Agustus 2024.

Dari jumlah tersebut, 30 persen di antaranya didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sisanya merupakan kasus kekerasan pada anak, pemerkosaan, kekerasan seksual, perundungan baik dilakukan secara langsung maupun terjadi pada dunia siber.

Ketua JPPA Kabupaten Kudus, Noor Haniah mengatakan, terjadinya kasus KDRT dipicu oleh beberapa faktor. Di antaranya masalah perekonomian, perselingkuhan, hingga judi online. 

Dampak dari terjadinya KDRT bisa berimbas pada anak yang menjadi korban. Mulai dari penelantaran anak akibat hubungan orangtua tidak terjalin dengan baik, hingga kemungkinan terjadi tindakan kekerasan yang dilampiaskan pada anak. 

"Kami terus upayakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Termasuk mencegah adanya KDRT di lingkungan rumah tangga. Bagaimanapun latar belakang keluarga sangat penting."

"Karena pendidikan anak dari keluarga, termasuk pengawasannya. Jika orangtua terjadi masalah, bisa berimbas pada anak, apalagi anak tanpa pengawasan berisiko terkontaminasi konten negatif di sosial media," terangnya, (5/9/2024). 


Selain KDRT, lanjut Haniah, JPPA juga menyoroti terjadinya kasus kekerasan pada anak dan perempuan, aksi bulliying pada pelajar yang dipicu karena kurangnya perhatian dan pengawasan orangtua.


Faktor lain bisa saja disebabkan oleh konten-konten kurang baik di dunia internet, turut andil memicu terjadinya aksi bulliying hingga kekerasan seksual pada perempuan. 


Upaya yang dilakukan JPPA di antaranya melakukan pendekatan pada sekolah dan keluarga yang memiliki peran kunci terhadap keberlangsungan perempuan dan anak di masa yang akan datang. 


Contohnya, mengajarkan anak sejak dini tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Membangun pondasi bekal pendidikan dasar bagi anak, guna meminimalkan potensi bahaya terjadinya kasus kekerasan pada perempuan dan anak. 


"Pondasi pendidikan awal adalah keluarga setelah itu lingkungan dan sekolahan. Jika kami sosialisasi terus, tapi keluarga gak peduli dengan anaknya, sama saja gak ada hasil. Banyak juga kasus penelantaran anak oleh orangtuanya, bagaimana pun KDRT pemicu angka perceraian dan penelantaran anak," tutur dia. 


Haniah menambahkan, pihakanya secara berkala melakukan sosialisasi dan edukasi pencegahan kekerasan perempuan dan anak, sebagai bentuk keprihatinan lantaran marak korban kekerasan pada perempuan dan anak.


Beberapa sasaran sosialisasi dan edukasi adalah pejabat di lingkungan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) daerah setempat untuk menciptakan pondok pesantren ramah anak.


JPPA juga melakukan sosialisasi dan edukasi di sekolah-sekolah menyasar guru BK dan pelajar OSIS sebagai motor pencegahan dan pengawasan perilaku pelajar di sekolah. 


"Kami juga lakukan sosialisasi dengan ibu-ibu PKK tingkat desa. Bagaimanapun angka KDRT di Kudus cukup tinggi, harus diupayakan untuk ditekan semaksimal mungkin," tegas dia. (Sam)

Sumber: TribunMuria.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved