Serba serbi Ramadan 1444 H
Ini Makanan Khas Ramadan di Semarang yang Kian Dilupakan, Petis Bumbon, Coro Santan dan Ketan Biru
Di Kota Semarang memiliki makanan khas yang mudah ditemukan saat bulan ramadan yakni petis bumbon, coro santan, dan ketan biru.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Muhammad Olies
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Di Kota Semarang memiliki makanan khas yang mudah ditemukan saat bulan ramadan yakni petis bumbon, coro santan, dan ketan biru.
Namun, makakan khas itu kian dilupakan.
Musababnya, makanan itu hanya populer di kalangan para orangtua, di kalangan anak muda, hampir tidak tahu dengan makanan tersebut.
"Saya tidak tahu petis bumbon, beli di sini mau beli opor ayam," ujar Radit (23) warga Kota Semarang saat ditemui di penjual takjil Aloon-aloon Kota Semarang, Jumat (24/3/2023).
Berbeda halnya dengan Titi Sumiyati (55) warga Candi Lama, Candisari, Kota Semarang.
Ia mengaku, menjalani ramadan tanpa makanan khas Semarang seperti petis bumbon seperti ada yang kurang.
Makanan khas tersebut sudah diketahuinya sejak masih kecil.
"Ibu yang mengenalkan petis bumbon, coro santan dan ketan biru, kami tiap bulan ramadan mesti cari makanan itu," bebernya.
Ia paling menyukai petis bumbon sebab memiliki rasa khas terutama soal rempahnya.
"Rasanya enak, khas, ada rempahnya berupa kunci sama sereh," ucapnya.
Baca juga: Jajanan Tradisional Intip Ketan, Kuliner Klangenan Warga Kudus saat Dhandhangan sebelum Ramadan
Baca juga: Nikmati Kuliner di Koeta Toea Semarang, Tempat Instagramable Bergaya Eropa
Baca juga: Hidden Gem Kuliner Wonosobo Mie Ongklok Longkrang, The Legend Sejak Tahun 1975
Penjual takjil di Aloon-aloon kota Semarang, Shokanah (69) mengatakan, sudah menjual makanan khas ramadan seperti petis bumbon, coro santan, dan ketan biru sejak 40 tahun lalu.
Keahlian mengolah masakan tersebut, diperoleh dari ibunya. Namun, ia menyebut, makanan khas Semarang itu kian dilupakan.
"Yang beli sudah tua-tua tidak ada yang muda, anak muda banyak yang tidak tahu mereka tahunya jajanan seperti chicken," katanya kepada Tribun.
Meredupnya pamor jajanan khas Semarang itu tentu berimbas pada penjualan.
Shokanah mengaku, dahulu jauh sebelum pandemi, saat ramadan mampu menjual 200-300 telur bebek bahan utama petis bumbon.
Saat ini, ia hanya menjual 50-80 telur. Sedangkan jajanan coro santan paling banyak menjual 2 kilogram dulu sampai 8 kilogram. Begitupun ketan biru dulu habis 7 kilogram sekarang hanya 3 kilogram.
"Ya memang gitu, sudah pada tidak tahu tapi saya mau jualan sebisanya, bumbu juga sudah saya wariskan ke anak," paparnya.
Cara Pembuatan
Terkait pembuatan petis bumbon, ia mengaku tak ada resep khusus.
Ia hanya mengolah bahan-bahan yang sudah diwariskan oleh simbah-simbahnya.
"Dapat resep dari simbah jadi sudah turun temurun," paparnya.
Ia merinci, ada sejumlah bumbu rempah yang perlu disiapkan untuk memperkuat aroma dan rasa.
Rempah-rempah tersebut meliputi kunci, daun jeruk wangi, dan sere.
Selain itu, agar berbeda dengan sambal goreng biasa, dirinya juga mencampurkan petis banyar atau sari ikan banyar.
Tak seperti sambal goreng biasa yang hanya ada daun salam dan laos khusus petis bumbon diberi sentuhan lebih banyak rempah.
"Tak heran petis bumbon rasanya lebih gurih," papar Shokanah.
Selain petis bumbon, sebagai pelengkap, ia juga menjajakan beberapa sayur seperti opor, lodeh, dan babat gongso.
Selain itu, makanan takjil khas ramadhan di Kota Semarang, seperti coro santen, ketan biru, dan enten-enten.
"Makanan itu cuma ada sewaktu ramadhan, selain itu jarang," kata Istiqomah.
Di samping itu, bumbu petis bumbon ini umumnya dicampur dengan telur atau tahu.
Uniknya, telur yang digunakan adalah telur bebek.
Dalam proses pembuatan petis bumbon, memerlukan waktu setidaknya selama tiga jam.
"Dua sampai tiga jam untuk mengolah bumbu hingga siap dihidangkan," katanya.
Penjual takjil, Siti Khasanah menjelaskan, proses pembuatan kue coro tak perlu waktu lama sekira dua jam.
Sejumlah bahan yang harus dipersiapkan seperti tepung gandum, tepung beras, telur, dan ragi.
Agar semakin lezat,cara makan kue coro yaitu dengan membubuhkan kuah santan kelapa yang sudah dimasak.
Dengan itu, akan menghasilkan perpaduan rasa manis dan gurih.
"Bahan-bahan itu dicampur lalu ditambah gula, terus diaduk sampai jadi adonan. Dua jam sudah jadi tinggal dibiarkan mengembang," terangnya.
Sedangkan ketan biru yang terbuat dari ketan biasa. Beras ketan direndam terlebih dahulu.
Selepas direndam lalu direbus, dicampurkan santan, garam, dengan pewarna biru.
Siti menjelaskan, tidak ada alasan untuk mengganti warna ketan.
Lantaran warna biru itu memang turun temurun sejak zaman dahulu.
"Pewarna makanan tidak bikin pahit," katanya.
Ketan biru akan lebih nikmat jika dimakan bersamaan dengan enten-enten, sejenis parutan kelapa yang dicampur dengan gula merah.
Dalam satu hari, ia bisa memproduksi masing-masing 3 kilogram kue coro dan ketan biru.
"Ketan biru seporsi Rp5 ribu, kue coro dua buah harga Rp5 ribu," tandasnya. (Iwn)
Melihat dari Dekat Masjid di Puncak Gunung Muria Saksi Sejarah Penyebaran Islam di Kabupaten Kudus |
![]() |
---|
Anak dan Remaja Lintas Desa Ramaikan Lomba Tongtek Penggugah Sahur di Masjid Ar Rahman Blora |
![]() |
---|
Ramadan, Perajin Bedug di Banyumas Kebanjiran Pesanan, Mayoritas Order dari Luar Kota |
![]() |
---|
Ribuan ASN di Kota Semarang Besok Wajib Belanja di Pasar Johar, TPP THR Sudah Cair |
![]() |
---|
Tebus Murah Cabai dan Bawang Hanya Rp 1.000 pada Bazar Ramadan di Balai Kota Semarang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.