Berita Pati
Asal-Usul Dua Masjid Bersejarah di Pati, Diyakini sebagai Peninggalan Waliyullah
Semarak pendidikan Islam di Pati tak bisa dilepaskan dari para pendakwah yang mula-mula menyebarkan Islam di Bumi Mina Tani.
Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: Moch Anhar
Zuli menuturkan,candrasengkala pada mimbar masjid terbaca “sang pandhita kuwi ngawang bawana”. Berdasarkan penafsiran atas kalimat tersebut, tahun berdiri Masjid Jami’ Kajen ialah 1107 Hijriah yang bertepatan dengan 1695 Masehi, didasarkan pada kata-kata pandita = 7; ngawang = 10; dan bawana = 1.
Kata-kata tersebut dimaknai 1107 H, sebab pembacaan candrasengkalamemang dimulai dari belakang.
“Masjid ini merupakan artefak berharga peninggalan Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah (wali Allah) yang menempuh jalan sunyi mendakwahkan Islam di lereng pegunungan Muria,” ungkap Zuli.
Syekh Ahmad Mutamakkin, lanjut Zuli, merupakan ulama besar nusantara yang hidup pada abad ke-18.
Ulama yang merupakan keturunan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) ini memiliki nama ningrat Sumohadiwijaya. Ia diperkirakan lahir pada 1645 dan wafat pada 1740.
Dialah sosok yang mendirikan Masjid Jami’ Kajen.
Sehingga Masjid Kajen dianggap sebagai saksi bisu jasa Syekh Ahmad Mutamakkin dalam menyebarkan Islam di kawasan Kajen.
“Masjid Jami’ Kajen telah tiga kali dipugar, yakni pada 1910, 1952, dan 2010. Meski demikian, bangunan utamanya masih mempertahankan keasliannya, sebab di dalamnya terdapat ornamen-ornamen peninggalan Syekh Mutamakkin yang berisi simbol-simbol wasiat dan ajaran tarekat beliau,” terang Zuli.
Bagian utama Masjid Jami’ Kajen, jelas Zuli, terbuat dari kayu jati kembang atau jati sungu. Atapnya berbentuk tumpang tiga, yang dimaknai sebagai iman, islam, dan ihsan.
Di dekat pintu sebelah kiri, terdapat tangga menuju ruangan semacam loteng. Menurut Zuli, tempat di mana tangga tersebut menuju, dahulunya digunakan untuk membaca tarhim(bacaan selawat sebelum azan).
Tarhim dibaca di tempat tinggi supaya penduduk di sekitar masjid mendengar dan mengetahui bahwa azan akan segera dikumandangkan.
Tepat di tengah langit-langit bangunan utama masjid, terdapat papan berbentuk lingkaran yang bertuliskan kaligrafi arab.
Menurut Zuli, papan tersebut merupakan dairoh zikir yang berisikan filosofi keutamaan berzikir.
Pada mihrab, terdapat dua benda yang sangat kaya akan ornamen simbolik, yakni mimbar dan papan bersurat.
Di lengkungan belakang mimbar, terdapat ornamen ukir berbentuk sepasang burung bangau berwarna biru kehijauan tengah mematuk bulan sabit berwarna keemasan.
Zuli menjelaskan, ornamen berukuran sekira 60 cm x 20 cm tersebut disebut “kuntul nucuk mbulan”.
“Ornamen tersebut merupakan doa bagi keturunan dan santri Syekh Mutamakkin agar dapat menggapai martabat mulia dan mencapai keilmuan yang tinggi, setinggi bulan. Namun, meski telah mencapai keilmuan yang tinggi, mereka diharapkan tetap bersifat membumi dan sederhana seperti kuntul atau bangau,” ungkapnya.
Masih pada mimbar, pada bagian depan, terdapat ornamen kepala naga yang diambil dari ilustrasi naga dalam pewayangan Jawa.
Menurut Zuli, ornamen tersebut mengandung pesan mengenai sifat “menahan diri”. Ular diidentikkan dengan hewan yang tahan lapar, yang tidak akan makan jika tidak merasa lapar.
“Maka, ornamen kepala naga ini merupakan bentuk pesan ajaran puasa yang merupakan tirakat fisik dan psikis,” ucapnya.
Di samping kanan dan kiri mimbar, terdapat ornamen ukir berbentuk gajah yang belalainya melilit sebuah tombak trisula.
Telinga gajah tersebut merupakan stilisasi (penyederhanaan) bunga mekar dan gadingnya merupakan kuncup bunga.
Di sekeliling gajah tersebut terdapat berbagai objek lain, yakni bunga mekar, kuncup bunga, bangau, ikan, dan burung elang.
Menurut Zuli, ornamen tersebut berisi pesan bagi manusia untuk memerangi hawa nafsu di tengah ingar-bingar kehidupan dunia.
Senjata trisula diibaratkan sebagai pusaka untuk memerangi hawa nafsu.
Tepat di samping mimbar, terdapat papan bersurat berisi wasiat-wasiat Syekh Ahmad Mutamakkin.
Satu di antara wasiat tersebut tertuang dalam pahatan huruf pegon bertuliskan “sing pendetku ngusap ing mbun”.
“Kalimat tersebut bermakna, para murid dari Syekh Ahmad Mutamakkin beserta keturunannya harus ngusap ing mbun, artinya berwudu. Lebih jauh lagi, pesan ini bermakna kewajiban untuk senantiasa mendirikan salat dan menjaga kesucian diri lahir dan batin,” jelasnya.
Baca juga: Menteri ESDM Tegaskan Program Dedieselisasi PLN Kunci RI Capai Net Zero Emission pada 2060
Baca juga: Gandeng Peradi, Pemkab Akan Berikan Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin di Blora
Baca juga: Rafi Curi Burung Murai Batu Harga Rp 3 Juta saat Jalan-Jalan Sore, Selang Sehari Terciduk Polisi
Masjid Jami’ Kajen beserta segenap ornamen dan filosofi yang dikandungnya, lanjut Zuli, merupakan pengejawantahan ilmu dan dakwah kultural yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Ilmu tersebut terus diestafetkan secara turun-temurun hingga membentuk rantai keilmuan Islam yang kuat.
“Hingga kini, Kajen telah menjadi satu di antara simpul utama keilmuan Islam di Indonesia. Saat ini, tak kurang dari 50 pondok pesantren dan belasan lembaga pendidikan Islam berada di Kajen. Puluhan ribu santri dari segenap penjuru nusantara berkumpul di sini. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari peran Syekh Ahmad Mutamakkin, yang perjuangan dan kearifannya direkam oleh Masjid Jami' Kajen," tandas Zuli. (*)