Berita Pati

Asal-Usul Dua Masjid Bersejarah di Pati, Diyakini sebagai Peninggalan Waliyullah

Semarak pendidikan Islam di Pati tak bisa dilepaskan dari para pendakwah yang mula-mula menyebarkan Islam di Bumi Mina Tani.

Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM/MAZKA HAUZAN NAUFAL
Sejarawan Amal Hamzah berdiri di depan bangunan Masjid Baiturrohim Gambiran 

TRIBUNMURIA.COM, PATI - Kabupaten Pati kental dengan nuansa pendidikan Islam.

Pondok-pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Pati menjadi rujukan ribuan santri dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, untuk menuntut ilmu agama.

Semarak pendidikan Islam di Pati tak bisa dilepaskan dari para pendakwah yang mula-mula menyebarkan Islam di Bumi Mina Tani.

Tokoh-tokoh yang diyakini sebagai waliyullah ini biasanya meninggalkan warisan berupa masjid yang dahulu mereka gunakan sebagai pusat syiar agama.

Baca juga: Terobosan! Pemkab Blora Gelar Musrenbang CSR Perdana: Sinergikan Prioritas Pembangunan Blora

Baca juga: Sore hingga Malam Diguyur Hujan, Prakiraan Cuaca BMKG Pati Hari Ini Kamis 24 Maret 2022

Sebut saja Mbah Cungkrung yang mewariskan Masjid Baiturrohim Gambiran dan Mbah Ahmad Mutamakkin yang meninggalkan Masjid Jami'Kajen.

Berikut ulasannya.

1. Masjid Gambiran

Gambiran adalah nama dukuh yang berada di Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo.

Sejarawan Amal Hamzah meyakini bahwa Gambiran dahulu merupakan pusat syiar Islam di Bumi Mina Tani.

Dia juga berteori bahwa Masjid Baiturrohim Gambiran dahulu merupakan masjid utama di Pati, sebelum akhirnya berpindah ke Masjid Agung Baitunnur di Alun-Alun Pati.

Menurut Amal, dakwah Islam di Pati yang berpusat di Gambiran tidak terlepas dari sosok Mbah Cungkrung.

Mbah Cungkrung diyakini sebagai waliyullah yang makamnya berada sekitar 30 meter di sebelah selatan masjid. 

Haul Mbah Cungkrung diperingati warga setempat setiap 1 Syuro.

“Nama aslinya tidak ada yang tahu. Adapun kata cungkrung diambil dari kata berbahasa Jawa, yakni ‘jungkrung’ yang berarti ‘sujud’. Nama Mbah Cungkrung diambil dari kebiasaan beliau sujud dalam salat,” ujar Ketua Yayasan Baiturrohim ini, Senin (19/4/2021).

Amal menyebut, Mbah Cungkrung diyakini merupakan murid dari Sunan Muria. Hal ini antara lain terlihat dari pola dakwah Mbah Cungkrung yang bercorak tasawuf.

“Karena Sunan Muria wafat pada pertengahan abad 16, Mbah Cungkrung juga berdakwah pada kisaran masa itu. Masjid Baiturrohim Gambiran dibangun oleh Mbah Cungkrung sebagai pusat syiar agama. Oleh warga setempat masjid ini juga disebut sebagai Masjid Wali,” kata Guru SMAN 1 Pati ini.

Baca juga: Pasar Rejosari Salatiga Resmi Dibuka, Wali Kota Yuliyanto: Semoga Dapat Jadi Sentra Ekonomi Baru

Baca juga: Terkait Perbaikan Jalan Pantura, Bupati Pati Haryanto Larang Kendaraan Besar Lewati Jalan Alternatif

Baca juga: Beli Minyak Goreng Curah di Kudus Kini Dibatasi, Satu Pembeli Maksimal 5 Kilogram

Masjid Gambiran memiliki arsitektur kuno dengan atap limas bersusun seperti Masjid Agung Demak. 
Struktur atap disangga oleh empat saka dari kayu. Memang bangunan asli masjid ini terbuat dari kayu, sebelum kemudian direnovasi menjadi tembok.

Penanda renovasi adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Arab Pegon yang terletak di atas pintu utama masjid. 

Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa Masjid Gambiran direnovasi pada 1885 oleh Bupati Pati pada waktu itu, yakni Kanjeng Raden Aryo Candrahadinegoro.

“Dalam renovasi ini, mustoko atau kubah masjid berbentuk ngaron (tempat memasak dari tanah liat) diganti mustoko baru. Sedangkan yang lama dibawa ke daerah Tawung (Tawangrejo, Kecamatan Winong) oleh murid Mbah Cungkrung,” papar dia.

Amal menambahkan, berdasarkan keterangan yang dia dapatkan dari KH Hishom, ulama dari Desa Tawangrejo, agama Islam yang berkembang di Winong dahulu berasal dari murid Mbah Cungkrung.

Penanda “kekunoan” lainnya dari masjid ini, menurut Amal, ialah keberadaan kompleks makam keluarga penghulu, persis di sebelah utara masjid. 

Dilihat dari bentuk patok kuburannya, diperkirakan pemakaman tersebut telah ada sejak abad ke-16.

Bukti lain bahwa dahulu Gambiran merupakan pusat Islam di Pati, kata Amal, ialah keberadaan pemakaman Islam kuno di Dukuh Gambiran RT 01 RW 05.

“Makam yang cukup padat, seluas hampir 2 hektare ini, menunjukkan bahwa Gambiran dulu kota dengan banyak penduduk, atau kalau sekarang disebut metropolitan. Ada keyakinan, penduduk berbondong-bondong meninggalkan, sehingga makam luas ini tidak digunakan lagi. Hanya penduduk lokal yang memanfaatkan sebagian kecil area makam,” kata Amal sembari menunjukkan kompleks makam tersebut.

Menurut Amal, dilihat dari patok-patok kuburan yang berukuran besar dan terbuat dari batuan andesit, pemakaman kuno ini diperkirakan dimanfaatkan warga pada abad 16 sampai 17.

“Kita tidak tahu pada waktu itu berasal dari mana batunya. Namun, yang jelas bisa dipastikan ini pemakaman Islam. Tandanya, ada dua batu nisan, satu di utara satu di selatan, karena mayatnya dihadapkan ke arah kiblat,” jelas dia.

Amal menerangkan, pusat Islam di Pati mulai berpindah sejak Masjid Agung Baitunnur berdiri pada 1845. Letaknya yang berada di barat pendopo menjadikan masjid ini sebagai masjid besar kabupaten.

“Pendirian masjid ini membawa dampak besar. Para ulama Gambiran diboyong ke sana. Ada yang ditempatkan di Kauman, Saliyan, dan Kampung Mertokusuman. Ketika ulama-ulama Gambiran pindah ke Pati, masjid ini mulai agak sepi. Namun, atas kebaikan bupati pada waktu itu, 1885 masjid ini direnovasi,” jelas dia.

Meski kini Masjid Baiturrohim Gambiran bukan lagi masjid utama di Pati, jejak-jejak syiar Islam Mbah Cungkrung masih bisa ditemukan.

Satu di antaranya, menurut Amal, warga Muslim Tawangrejo Kecamatan Winong mengakui Mbah Cungkrung sebagai leluhurnya.

Setiap ada tahlil, nama Mbah Cungkrung disebut.

Kemudian, saat peringatan haul Mbah Cungkrung di Gambiran, sejumlah penduduk dan perangkat Desa Tawangrejo ikut hadir.

Kemudian, meski semarak keagamaan sempat meredup saat ulama Gambiran hijrah ke Masjid Agung Baitunnur Pati, kini gairah keagamaan kembali bangkit.

Di bahwa naungan Yayasan Baiturrohim, di Gambiran berlangsung aktif pendidikan agama mulai dari TPQ,TK, Jamaah Yasin-Tahlil, sampai Pondok Pesantren.


2. Masjid Jami' Kajen

Masjid Jami' Kajen terletak di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. 

Berdiri di antara puluhan pondok pesantren dan belasan lembaga pendidikan Islam, Masjid Jami’ Kajen disebut sebagai salah satu masjid tertua di Kabupaten Pati.

Dilihat dari luar, bangunan Masjid Jami’ Kajen nampak modern dengan dinding tembok dan lantai keramik. 

Namun, jika kita memasuki bagian utama masjid yang berada di tengah, suasana “kesejarahan” sangat terasa.

Bagian utama masjid merupakan tempat di mana mihrab dan saf salat utama berada.

Ruangan tersebut dikelilingi dinding papan kayu jati berusia ratusan tahun.

Dinding kayu jati tersebut seolah membisikkan sejarah simpul keislaman di Desa Kajen, yang kini banyak dikenal orang sebagai desa santri.

“Dari temuan candrasengkala pada mimbar, Masjid Jami’ Kajen diperkirakan didirikan pada 1695,” ujar Mohammad Zuli Rizal, Koordinator Divisi Komunikasi dan Informasi Islamic Centre Kajen (ICK), yang juga merupakan penulis buku “Infografis Masjid Kajen: Sejarah dan Ornamen Simbolik”.

Candrasengkala merupakan kata-kata yang menyimbolkan angka tahun dalam budaya Jawa.

Zuli menuturkan,candrasengkala pada mimbar masjid terbaca “sang pandhita kuwi ngawang bawana”. Berdasarkan penafsiran atas kalimat tersebut, tahun berdiri Masjid Jami’ Kajen ialah 1107 Hijriah yang bertepatan dengan 1695 Masehi, didasarkan pada kata-kata pandita = 7; ngawang = 10; dan bawana = 1.

Kata-kata tersebut dimaknai 1107 H, sebab pembacaan candrasengkalamemang dimulai dari belakang.

“Masjid ini merupakan artefak berharga peninggalan Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah (wali Allah) yang menempuh jalan sunyi mendakwahkan Islam di lereng pegunungan Muria,” ungkap Zuli.

Syekh Ahmad Mutamakkin, lanjut Zuli, merupakan ulama besar nusantara yang hidup pada abad ke-18.

Ulama yang merupakan keturunan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) ini memiliki nama ningrat Sumohadiwijaya. Ia diperkirakan lahir pada 1645 dan wafat pada 1740.

Dialah sosok yang mendirikan Masjid Jami’ Kajen.

Sehingga Masjid Kajen dianggap sebagai saksi bisu jasa Syekh Ahmad Mutamakkin dalam menyebarkan Islam di kawasan Kajen.

“Masjid Jami’ Kajen telah tiga kali dipugar, yakni pada 1910, 1952, dan 2010. Meski demikian, bangunan utamanya masih mempertahankan keasliannya, sebab di dalamnya terdapat ornamen-ornamen peninggalan Syekh Mutamakkin yang berisi simbol-simbol wasiat dan ajaran tarekat beliau,” terang Zuli.

Bagian utama Masjid Jami’ Kajen, jelas Zuli, terbuat dari kayu jati kembang atau jati sungu. Atapnya berbentuk tumpang tiga, yang dimaknai sebagai iman, islam, dan ihsan.

Di dekat pintu sebelah kiri, terdapat tangga menuju ruangan semacam loteng. Menurut Zuli, tempat di mana tangga tersebut menuju, dahulunya digunakan untuk membaca tarhim(bacaan selawat sebelum azan).

Tarhim dibaca di tempat tinggi supaya penduduk di sekitar masjid mendengar dan mengetahui bahwa azan akan segera dikumandangkan.

Tepat di tengah langit-langit bangunan utama masjid, terdapat papan berbentuk lingkaran yang bertuliskan kaligrafi arab.

Menurut Zuli, papan tersebut merupakan dairoh zikir yang berisikan filosofi keutamaan berzikir.

Pada mihrab, terdapat dua benda yang sangat kaya akan ornamen simbolik, yakni mimbar dan papan bersurat.

Di lengkungan belakang mimbar, terdapat ornamen ukir berbentuk sepasang burung bangau berwarna biru kehijauan tengah mematuk bulan sabit berwarna keemasan.

Zuli menjelaskan, ornamen berukuran sekira 60 cm x 20 cm tersebut disebut “kuntul nucuk mbulan”.

“Ornamen tersebut merupakan doa bagi keturunan dan santri Syekh Mutamakkin agar dapat menggapai martabat mulia dan mencapai keilmuan yang tinggi, setinggi bulan. Namun, meski telah mencapai keilmuan yang tinggi, mereka diharapkan tetap bersifat membumi dan sederhana seperti kuntul atau bangau,” ungkapnya.

Masih pada mimbar, pada bagian depan, terdapat ornamen kepala naga yang diambil dari ilustrasi naga dalam pewayangan Jawa.

Menurut Zuli, ornamen tersebut mengandung pesan mengenai sifat “menahan diri”. Ular diidentikkan dengan hewan yang tahan lapar, yang tidak akan makan jika tidak merasa lapar.

“Maka, ornamen kepala naga ini merupakan bentuk pesan ajaran puasa yang merupakan tirakat fisik dan psikis,” ucapnya.


Di samping kanan dan kiri mimbar, terdapat ornamen ukir berbentuk gajah yang belalainya melilit sebuah tombak trisula.

Telinga gajah tersebut merupakan stilisasi (penyederhanaan) bunga mekar dan gadingnya merupakan kuncup bunga.

Di sekeliling gajah tersebut terdapat berbagai objek lain, yakni bunga mekar, kuncup bunga, bangau, ikan, dan burung elang.

Menurut Zuli, ornamen tersebut berisi pesan bagi manusia untuk memerangi hawa nafsu di tengah ingar-bingar kehidupan dunia.

Senjata trisula diibaratkan sebagai pusaka untuk memerangi hawa nafsu.

Tepat di samping mimbar, terdapat papan bersurat berisi wasiat-wasiat Syekh Ahmad Mutamakkin.

Satu di antara wasiat tersebut tertuang dalam pahatan huruf pegon bertuliskan “sing pendetku ngusap ing mbun”.

“Kalimat tersebut bermakna, para murid dari Syekh Ahmad Mutamakkin beserta keturunannya harus ngusap ing mbun, artinya berwudu. Lebih jauh lagi, pesan ini bermakna kewajiban untuk senantiasa mendirikan salat dan menjaga kesucian diri lahir dan batin,” jelasnya.

Baca juga: Menteri ESDM Tegaskan Program Dedieselisasi PLN Kunci RI Capai Net Zero Emission pada 2060

Baca juga: Gandeng Peradi, Pemkab Akan Berikan Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin di Blora

Baca juga: Rafi Curi Burung Murai Batu Harga Rp 3 Juta saat Jalan-Jalan Sore, Selang Sehari Terciduk Polisi

Masjid Jami’ Kajen beserta segenap ornamen dan filosofi yang dikandungnya, lanjut Zuli, merupakan pengejawantahan ilmu dan dakwah kultural yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.

Ilmu tersebut terus diestafetkan secara turun-temurun hingga membentuk rantai keilmuan Islam yang kuat.

“Hingga kini, Kajen telah menjadi satu di antara simpul utama keilmuan Islam di Indonesia. Saat ini, tak kurang dari 50 pondok pesantren dan belasan lembaga pendidikan Islam berada di Kajen. Puluhan ribu santri dari segenap penjuru nusantara berkumpul di sini. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari peran Syekh Ahmad Mutamakkin, yang perjuangan dan kearifannya direkam oleh Masjid Jami' Kajen," tandas Zuli. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved