Berita Semarang
Diaspora Sarjana NU: Santri Menembus Batas Tradisi, Berkontribusi untuk Negeri
Diaspora sarjana NU dari berbagai benua, menyumbangkan pemikirannya untuk berkontribusi membangun negeri, melalui disiplin keilmuan masing-masing.
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG – Di balik kesederhanaan sarung, kitab kuning, dan malam-malam panjang menghafal nadzam, diam-diam tumbuh generasi santri yang berani bermimpi lebih jauh. Santri-santri Nahdliyin tak lagi identik hanya khusyuk menjaga tradisi.
Mereka kini menembus batas, berdiaspora hingga lintas benua, dan menekuni berbagai bidang keilmuan. Tak melulu berkutat pada turats klasik.
“Ternyata belajar hingga ke luar negeri bagi santriwati itu sangat mungkin, setelah melihat contoh-contoh nyata yang ada di depan mata saya,” kata Lien Iffah Naf’atu Fina, diaspora santri yang sedang menempuh program doktor Studi Islam di The University of Chicago, Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Gandeng ISNU Jateng untuk Kolaborasi, Kanwil Kemenag Ingin Perkuat Peran dan Kebermanfaatan CTC
Baca juga: Muskerwil ISNU Jateng, Dorong Penguatan Kolaborasi Sarjana NU dengan Berbagai Perguruan Tinggi
Dosen Ilmu Alquran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu merupakan satu di antara enam narasumber pada kegiatan “Sambung Rasa Diaspora NU dari Lima Benua” yang digelar secara virtual oleh Pimpinan Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (PW ISNU Jateng), Jumat (24/10/2025), dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025.
Lien juga menjadi satu-satunya narasumber perempuan pada kesempatan tersebut. “Selama studi, setidaknya kami telah keliling ke 18 negara,” tutur alumni Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, ini.
Selain Lien, kelima narasumber lain adalah Rifki Irawan (Australia, Linguistik); M. Syahril Imron (Belanda, Teknologi Pangan); Agus Hidayatullah (Konsuler KBRI Mesir); Achmad Gazali (Jepang, Mikrobiologi); dan M. Tholchah (Finlandia, Ilmu Pendidikan).
Dua di antara keenam diaspora sarjana NU, Syahril Imron dan Gazali, menempuh jalan yang agak berbeda—mungkin sesuatu yang tak lazim bagi lulusan pesantren.
“Saya dulu mondok di Guyangan dan Kajen, Pati. S1 saya di Universitas Negeri Jember (Unej),” ujar Syahril.
Sementara itu, Gazali menuturkan sebagai santri pesantren salaf, dirinya tak menyangka akan sampai pada titik sekarang.
“Saya lulusan pesantren salaf, dulu menghafal hadis dan nadzam. Saat kuliah mengikuti jejak senior yang ambil kuliah umum, ternyata bisa, enjoy saja,” ujar dia.
Memotret Indonesia dari Luar
Meski tinggal jauh dari Tanah Air, para diaspora sarjana NU tetap memperbarui informasi mengenai perkembangan Indonesia melalui berbagai sumber.
“Kita masih terasa dekat, karena terus mengikuti perkembangan dari berbagai saluran pemberitaan. Misalnya soal robohnya Pesantren Al-Khoziny,” ujarnya.
“Juga saat pecah aksi akhir Agustus–awal September. Kita di sana juga menggelar demonstrasi, aksi keprihatinan,” sambung keluarga pengasuh Pesantren Al-Hadi Yogyakarta itu.
Sementara itu, Tholchah menyatakan Finlandia selama ini dinilai sebagai kiblat pendidikan dunia. Namun, menurutnya, pendekatan tersebut tidak bisa direplikasi sepenuhnya di Indonesia.
“Kita tidak bisa meniru sepenuhnya. Ada kondisi-kondisi yang berbeda,” ucap dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini.
Agus Hidayatullah mengatakan saat ini terdapat sekitar 14.000 mahasiswa Indonesia di Mesir.
“Bagaimanapun kita lahir di lingkungan NU, kita tak bisa melupakan tempat kita bertumbuh,” ucap alumni TBS Kudus itu.
Di sisi lain, Syahril menyoroti keberagaman pangan lokal di Indonesia yang justru belum dimaksimalkan.
“Ada puluhan ribu pangan lokal dengan berbagai perbedaan nutrisi. Narasi pangan lokal perlu disemarakkan, jadi yang di luar Jawa jangan dipaksa makan nasi. Ini bagian dari ketahanan pangan,” paparnya.
Kontribusi untuk Negeri
Ketua PW ISNU Jateng, Dr. Fakhrudin Aziz, mengatakan sarjana santri tidak boleh absen dari pembangunan bangsa.
“Kompleksitas persoalan yang terjadi di Indonesia harus dilihat sebagai tantangan,” ucapnya.
Sambung rasa diaspora ini, ujar dia, merupakan upaya merajut asa agar ISNU berdaya dan berdampak bagi kemajuan bangsa.
“Sarasehan ini bagian dari ikhtiar ISNU Jateng membangun jejaring internasional dengan diaspora sarjana NU di berbagai benua,” ujar dosen UIN Walisongo Semarang ini.
“Harapannya, ada tindak lanjut setelah ini: terbentuk forum bersama diaspora dan ISNU Jateng. Jadi ini bukan akhir, tapi permulaan, karena selanjutnya masih banyak agenda riil yang bisa kita lakukan bersama,” sambungnya.
Dengan begitu, menurut Aziz, diaspora NU dan sarjana NU di Tanah Air bisa berkolaborasi menawarkan solusi atas berbagai persoalan di Indonesia sesuai bidang keilmuan masing-masing.
Turut hadir secara daring dalam kesempatan itu Prof. Dr. Musahadi yang mewakili PW NU Jateng, serta Sekretaris Umum PP ISNU Wardi Taufik.
“Dunia pesantren kini sedang panen doktor dan profesor, ini sesuatu yang positif,” kata Prof. Musahadi.
Sementara, Wardi Taufik menyatakan, “Kita lahir dari rahim pesantren, menyeberang laut, berdiaspora. Karena itu, diaspora sarjana NU itu bukan hanya perantau, tapi duta ilmu. Diharapkan sepulang ke Tanah Air membawa dampak dan daya untuk membangun bangsa.” (*)
| Dorong Perempuan Daerah Berkarya Melalui PaPeda, Ini yang Dilakukan Indosat |
|
|---|
| Grand Opening Klamby di Semarang, Dimeriahkan Psikolog Analisa Widyaningrum |
|
|---|
| Polda Jateng Digugat Advokat, Ahli Ungkap Fakta dalam Sidang |
|
|---|
| DPRD Jateng Temui Massa Aksi Aliansi Mahasiswa Semarang Raya, Asrar Janji Sampaikan Aspirasi |
|
|---|
| Pegadaian Kanwil XI Semarang Gelar Khitan Massal, 200 Anak Dikhitan Gratis dengan Metode Modern |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/muria/foto/bank/originals/zoom-diaspora-sarjana-nu-23or2.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.