Kemudian salah seorang panelis dalam seminar tersebut Mahrus Elmawa mengatakan, sampai saat ini masih minim kajian tentang literatur pesantren.
Sebagai seorang filolog, Mahrus mengatakan, kajian tentang literatur keislaman berbasis manuskrip pesantren belum pernah ada.
Hal ini bentuk eufemisme dari tidak adanya kajian. Hal ini berbeda dengan kajian literatur yang justru sudah bisa ditemui dalam manuskrip berbahasa Melayu atau Batak.
“Pesantren yang memiliki sumber litaratur yang banyak, masih tidak pernah dikaji. Kalau mau serius bikin kajian seperti ini, dikaji secara akademik dengan pendekatan tertentu. Jangan sekadar mengumpulkan manuskrip,” kata dia.
Kemudian Ketua PWNU Jawa Tengah Abdul Ghaffar Rozin menjelaskan, upaya dalam melestarikan manuskrip ulama bukan pekerjaan mudah.
Selain membutuhkan sumber daya manusia yang andal, juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Pengalamannya saat menjadi Ketua RMI NU hanya mampu menerbitkan 13 manuskrip dalam bentuk kitab. Proses untuk menerbitkan manuskrip tersebut perlu melewati proses tahqiq atau proses pemeriksaan seksama secara detail.
“Tanpa ada tahqiq hanya akan menjadi tumpukan naskah saja,” kata dia. (goz)