Berita Kudus

Mengenal Syekh Abdul Hamid, Ulama Berdarah Kudus Mengisi Belantika Keilmuan Islam di Makkah

Syekh Abdul Hamid merupakan ulama berdarah Kudus yang telah malang melintang mengisi belantikan keilmuan Islam di Tanah Suci Makkah.

Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Yayan Isro Roziki
TribunMuria.com/Rifqi Gozali
SEMINAR SYEKH ABDUL HAMID - para peserta seminar tengah menyaksikan tampilan layar bergambar Syekh Abdul Hamid dalam seminar bertajuk Syaikh Abdul Hamid Kudus dan Jejak Ulama Nusantara dalam Belantika Keilmuan Islam di Pendopo Kudus, Miggu (13/7/2025). (Foto: Tribunjateng/Rifqi Gozali). 

TRIBUNMURIA.COM, KUDUSSyekh Abdul Hamid sebagai ulama berdarah Kudus rupanya jarang yang mengetahuinya. Bahkan saat nama itu digulirkan ke beberapa kiai banyak yang menanyakan siapa sebenarnya sosok Abdul Hamid tersebut.

“Banyak kiai di Kudus, di Jawa Tengah di Nusantara yang asing dengan nama tersebut. Kalaupun tahu, dianggapnya Syekh Abdul Hamid itu dari Yaman,” kata Pengurus Nahdlatut Turots Nanal Ainal Fauz mengawali pemaparan dalam seminar bertajuk Syaikh Abdul Hamid Kudus dan Jejak Ulama Nusantara dalam Belantika Keilmuan Islam di Pendopo Kudus, Miggu (13/7/2025).

Memang Abdul Hamid merupakan sosok ulama yang lahir di Makkah pada 1860 Masehi atau 1277 Hijriah dan wafat pada 1916 Masehi.

Baca juga: Napak Tilas Jejak Tokoh Sufi dan Penyebar Islam Mbah Mutamakkin, di Museum Kajen Pati

Baca juga: Kisah Mbah Sholeh Darat dan Ulama Besar Kota Semarang Diproyeksikan Jadi Story Telling

Baca juga: Menengok Jam Istiwa Penanda Waktu Salat di Masjid Agung Surakarta, Peninggalan Ulama Era PB VIII

Dia merupakan anak dari seorang ulama bernama Syekh Muhammad Ali yang berasal dari Kudus dan lahir di Kudus. Hamid memang tumbuh dan besar di Makkah

Dia belajar dengan sejumlah ulama di Makkah mulai dari Sayyid Zaini Dahlan, kemudian dia juga belajar dengan si empunya I’anah al’Thalibin Abi Bakr Syatha, Sayyid Husein bin Muhammad al-Habsyi, dan sejumlah ulama lainnya.

“Bahkan Syekh Abdul Hamid diperintah gurunya Abi Bakr Syatha untuk menulis syarahnya Durar al-Bahiyah. Mulanya Syekh Abdul Hamid tidak pede, akhirnya dipaksa maka jadilah kitab karya karya Syekh Abdul Hamid al-Anwar al-Saniyah,” kata Nanal Ainal Fauz.

Ulama berdarah asli Kudus ini memang namanya tidak terdengar melengking di Kabupaten Kudus saat ini.

Padahal, sosok satu ini pernah mengisi belantika keilmuan Islam di Tanah Suci Makkah. Selain itu, kata Nanal, ulama satu ini pernah ditunjuk menjadi imam di Masjidil Haram.

“Jadi dulu setiap mazhab di Masjidil Haram ada imamnya masing-masing. Salah satu yang ditunjuk menjadi imam yaitu Syekh Abdul Hamid,” kata dia.

Jejak Syekh Abdul Hamid sebagai ulama yang otoritatif ini bisa dijumpai dari beberapa bukti. Nanal mengungkapkan, bahwa ulama satu ini memiliki koleksi kitab yang sangat banyak. Koleksinya mencapai 1.600 kitab.

Semasa hidup, Hamid menitipkan wasiat kepada anaknya agar kitab koleksinya diwakafkan ke Maktabah Makkah al-Mukaramah. Wasiat itu pun dilunasi sama anaknya.

“Ternyata kitab yang diwakafkan Syekh Abdul Hamid ke Maktabah Makkah ini terbanyak kedua setelah koleksinya Syekh Mardi al-Kurdi,” katanya.

Bahkan sebagian umat Islam sekarang kemungkinan tidak sadar. Bahwa rangkaian doa yang dibaca saat awal tahun atau doa yang dipanjatkan saat Asyura berangkat dari kitab kumpulan doa yang ditulis oleh Syekh Abdul Hamid yang berjudul Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah allati Tusyrih.

Sebagai ulama, bukan hanya kitab itu saja yang ditulis oleh Abdul Hamid. Ada bermacam bidang keilmuan Islam yang dituangkan oleh Syekh Abdul Hamid dalam karya berupa kitab.

Mulai dari bidang ushul fiqh karyanya berjudul Lathaif al-Isyarat fi Syarh Tashil al-Thuruqat fi Nazh al-Waraqat.

Kemudian di bidang fiqih ada kitab karya Abdul Hamid berjudul al-Anwar al-Saniyyah fi Syarh al-Durar al-Bahiyyah dan di bidang teologi terdapat kitab karyanya berjudul Irsyad al-Mubtadi fi Syarh Kifayah al-Mubtadi. Selain beberapa judul tersebut masih ada beberapa kitab lain karyanya.

Ulama moncer lengkap dengan berbagai karya berupa kitab tersebut memang tidak banyak yang tahu kalau dia berdarah Kudus.

Abdul Hamid ini semula dianggap sebagai orang Yaman. Hal itu diperkuat dengan adanya petunjuk dari sejarawan Yaman bernama Ustaz Abdul Malik.

Namun belakangan, pendapat tersebut terbantah. Kata Nanal, di dalam salah satu karya Abdul Hamid berjudul Irsyad al-Mubtadi di dalamnya tertulis bahwa Abdul Hamid merupakan anak seorang ulama bernama Muhammad Ali bin Abdul Qodir al-Khotib bi Jami’ Baladil Quds.

Al-Khotib di situ semula dianggap marga orang Yaman. Namun belakangan al-Khotib merupakan atribusi yang melekat pada diri kakek Abdul Hamid yang bernama Abdul Qodir yang merupakan seorang khatib di Masjid Menara Kudus.

Pertalian dengan Nusantara

Meski lahir dan tumbuh di Makkah, semasa hidupnya Abdul Hamid masih memiliki pertalian dengan Nusantara.

Para pegiat di Nahdlatut Turots menemukan sejumlah tulisan Arab berbahasa Jawa atau Arab pegon sebagai pada beberapa manuskrip kitab milik Syekh Abdul Hamid. Bukti ini semakin menguatkan bahwa Abdul Hamid merupakan asli Kudus. Sebuah wilayah di Pantura Jawa Tengah.

Kemudian yang tidak kalah penting, Abdul Hamid juga memiliki keterikatan dengan sejumlah tokoh di Jawa.

Misalnya, dia pernah menulis sebuah kitab berisi tentang tarekat Samaniyah. Kitab tersebut ditulis setelah diminta oleh seorang Penghulu Tafsir Anom dari Solo.

“Kami juga menemukan bukti surat yang dikirimkan Syekh Abdul Hamid kepada Kiai Mas Nawawi Sidogiri. Dan di Maktabah Hasyim Asy’ari ternyata memang ada beberapa kitab Syekh Abdul Hamid,” kata dia.

Melihat sepak terjang ulama berdarah Kudus yang dikenal di Makkah lengkap dengan berbagai karyanya harus menjadi perhatian generasi sekarang.

Apalagi, ada beberapa warisan tertulis berupa manuskrip yang layak untuk dipertahankan.

Maka dari itu Nanal berharap semangat untuk menguak lebih dalam manuskrip lama peninggalan ulama terdahulu di Nusantara harus menjadi perhatian para santri yang saat ini masih mengeyam pendidikan di pesantren. 

Bila perlu harus ada upaya menyelamatkan manuskrip sebagai bentuk menjaga warisan atas peninggalan ulama terdahulu.

Kemudian salah seorang panelis dalam seminar tersebut Mahrus Elmawa mengatakan, sampai saat ini masih minim kajian tentang literatur pesantren.

Sebagai seorang filolog, Mahrus mengatakan, kajian tentang literatur keislaman berbasis manuskrip pesantren belum pernah ada. 

Hal ini bentuk eufemisme dari tidak adanya kajian. Hal ini berbeda dengan kajian literatur yang justru sudah bisa ditemui dalam manuskrip berbahasa Melayu atau Batak.

“Pesantren yang memiliki sumber litaratur yang banyak, masih tidak pernah dikaji. Kalau mau serius bikin kajian seperti ini, dikaji secara akademik dengan pendekatan tertentu. Jangan sekadar mengumpulkan manuskrip,” kata dia.

Kemudian Ketua PWNU Jawa Tengah Abdul Ghaffar Rozin menjelaskan, upaya dalam melestarikan manuskrip ulama bukan pekerjaan mudah.

Selain membutuhkan sumber daya manusia yang andal, juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Pengalamannya saat menjadi Ketua RMI NU hanya mampu menerbitkan 13 manuskrip dalam bentuk kitab. Proses untuk menerbitkan manuskrip tersebut perlu melewati proses tahqiq  atau proses pemeriksaan seksama secara detail.

“Tanpa ada tahqiq hanya akan menjadi tumpukan naskah saja,” kata dia. (goz)

Sumber: TribunMuria.com
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved