Berita Kudus
Mengenal Sosok Sutikno, Satu-satunya Dalang Wayang Klithik di Kudus, Seperti Apa Perjuangannya?
Sosok SUtikno, warga Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kudus, merupakan satu-satunya dalang wayang Klitihik di Kota Kretek. Seperti apa perjuangannya?
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - “Saya mulai belajar mendalang sejak usia 19 tahun,” ujar pria berusia 49 tahun bernama Sutikno membuka percakapan di ruang tengah Balai Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kudus, pada Minggu 4 Mei 2025 pagi.
Sutikno dudung tenang membelakangi seperangkat gamelan yang menjadi alunan pengiringnya saat pentas wayang klithik. Gamelan-gamelan itu tertutup terpal. Ada pula yang dikemas dalam keranjang bambu.
Sementara di paling ujung terdapat peti terbuat dari kayu yang berwarna merah. Peti tersebut berukuran sekitar 1X0,5 meter yang berisi sekumpulan wayang klithik.
Dengan penuh tenaga Sutikno membuka peti tersebut. Dia mengambil dua buah wayang klithik berwarna hitam dan berwarna putih keemasan dan menyodorkan ke saya.
Seolah-olah dia ingin menunjukkan bahwa wayang klithik merupakan entitas kesenian lokal yang sudah hampir punah. Bagaimana tidak, dalang wayang klithik di Kabupaten Kudus hanya tinggal dia seorang setelah bapaknya wafat bertahun-tahun yang lalu.
“Saya belajar menjadi dalang wayang klithik ini dari bapak saya namanya Sumarlan,” kata Sutikno melanjutkan perbincangan.
Wayang klithik ini berbeda dengan wayang kulit dari segi bentuk. Wayang klithik terbuat dari kayu, namun berbeda dengan wayang golek yang lebih menyerupai boneka, karena wayang klithik memiliki bentuk pipih.
Dengan sedikit parau, Sutikno menceritakan awal mula dia belajar wayang kepada yang bapak. Mula-mula dia dituntut oleh bapaknya untuk bisa menguasai bahasa Jawa krama inggil berikut bahasa kawi.
Bahasa inilah yang menjadi pengantar cerita wayang klithik. Tanpa menguasai bahasa tersebut, cerita wayang klithik tidak akan tersampaikan.
“Kemudian bapak yang mengajari saya genre musik gamelan. Ini penting karena untuk menyesuaikan dengan jalannya cerita,” kata dia.
Setelah komponen bahasa dan genre gamelan dikuasai, barulah Sutikno mulai menghafal jalannya cerita wayang klithik yang seluruhnya diambil dari cerita semasa Kerajaan Majapahit. Inilah yang kemudian membedakan antara wayang klithik dan wayang kulit.
“Kalau wayang klithik yang diajarkan kepada saya oleh bapak, itu tidak ada cerita epos Ramayana maupun Mahabarata. Seluruhnya cerita tentang dinamika di Jawa terutama saat era Majapahit,” tandas bapak beranak dua.
Di antara beberapa kisah yang ditampilkan dalam pementasan wayang klithik meliputi kisah Damarwulan, Minakjinggo, Ken Arok, maupun Ranggalawe.
Kisah-kisah ini bisa ditampilkan semalam suntuk. Namun dalam beberapa kesempatan, Sutikno juga tampil dalam tempo beberapa jam saja. Durasi penampilan wayang klithik yang dibawakannya ini menyesuaikan dengan permintaan pengundang.
“Kalau tampil di acara hajatan itu semalam suntuk, tapi kalau even tertentu misalnya diundang instansi pemerintah paling cuma dua jam,” katanya menjelaskan.
TMMD Kodim 0722/Kudus: Menjahit Asa, Membangun Masa Depan Desa Kandangmas di Lereng Muria |
![]() |
---|
PCNU Kudus Kembalikan Dana Hibah Rp 1,3 Miliar dari Pemkab ke Kejari |
![]() |
---|
Koleksi Melimpah, Museum Situs Purbakala Patiayam Diusulkan Jadi Cagar Budaya Nasional |
![]() |
---|
Siswa Belajar dalam Kondisi Cemas, Ruang Kelas di SD Ngembalrejo Kudus Rusak sejak Lama |
![]() |
---|
Mengenal Syekh Abdul Hamid, Ulama Berdarah Kudus Mengisi Belantika Keilmuan Islam di Makkah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.