Berita Jateng
Cerita Perempuan Pesisir Demak: Pilih Tinggal di Kampung Tenggelam, Jaga Mangrove dan Identitas
Sejumlah perempuan di Demak memilih tetap tinggal di kampung mereka yang ditenggelamkan rob. Selain mangrove, mereka juga menjaga identitas pesisir.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Perempuan-perempuan ini tetap bertahan di tengah kepungan bencana rob di Kabupaten Demak, yang tenggelamkan kampung mereka, serta mempertahankan identitas perempuan pesisir. Seperti apa?
Sejumlah kampung di Kabupaten Demak telah tenggelam. Namun, ada warga tetap memilih bertahan di kampung tersebut. Mereka menolak pindah dengan skema relokasi yang disodorkan oleh pemerintah.
Salah satu warga yang memilih bertahan di kampung tenggelam di Kabupaten Demak adalah Pasijah (55). Perempuan yang akrab disapa Mak Jah ini memilih bertahan di kampungnya di Dukuh Rejosari atau lebih dikenal sebagai Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Keluarga Mak Jah tinggal sebatang kara di pesisir tersebut lantaran telah ditinggalkan oleh para tetangganya yang memilih melakukan bedol desa pada tahun 2006.
“Kalau saya ikut pindah maka tidak ada orang yang mau berkunjung lagi ke kampung ini,” ujar Mak Jah ini saat ditemui Tribun pada Selasa, 18 Februari 2025.
Mak Jah tinggal di rumah permanen dengan tembok bata dan rangka rumah cor-coran beton. Rumah itu memiliki luasan sekira 20 meter x 10 meter.
Tinggi rumahnya sekira 7 meter. Namun, ketika masuk ke dalam rumah, atapnya hampir mudah dijangkau oleh orang dewasa karena Mak Jah meninggikan lantai rumah dengan papan kayu. Lantai papan kayu itu hampir setinggi pintu rumah.
“Lantai kayu ditinggikan supaya kalau rob masuk masih bisa tidur,” terang Mak Jah.
Dia menempati rumah itu bersama suami serta dua anak laki-lakinya. Satu anak perempuannya, tinggal di Kota Semarang untuk berkuliah.
Mereka menempati rumah itu tanpa listrik dan saluran air. Perusahaan listrik negara PLN memutus jaringan listrik ke rumah Mak Jah. Untuk mencukupi kebutuhan listrik, Mak Jah menggunakan genset.
Sedangkan kebutuhan air dengan cara menadah air hujan atau membelinya di desa Pandansari dengan diangkut menggunakan perahu. Biasanya Mak Jah membeli 12 jerigen seharga Rp15 ribu untuk kebutuhan selama 1 minggu.
Mak Jah dengan suaminya, Rukani, tidak berpangku tangan di tempat tersebut. Mereka bahu membahu menanam mangrove di sekitar rumah dan bekas kampung mereka yang tenggelam.
Hasilnya, kampung mereka yang tenggelam kini telah berubah menjadi hutan mangrove. Hutan mangrove itu memanjang belasan kilometer menjadi pelindung bagi warga pesisir dari terjangan ombak dan angin.
Selain itu, hutan mangrove itu menjadi sarang bagi berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Termasuk burung camar laut.
“Ya alasan saya bertahan di sini ya ingin menanam mangrove. Saya ingin menjaga hutan mangrove ini. sekuatnya,” papar Mak Jah.
Mak Jah sepenuhnya menyadari upaya menjaga hutan mangrove tengah diintai bahaya berupa proyek tol Semarang-Demak yang masih dalam pengerjaan. Proyek Strategis Nasional (PSN) itu tengah digarap persis di sebelah barat kawasan hutan mangrove Mak Jah yang telah ditanam sejak puluhan tahun silam.
“Ya selain jalan tol katanya mau ada pembangunan sabuk pantai jadi kemungkinan hutan mangrove kena semua,” jelasnya. Meski dalam kondisi seperti itu, tak menyurutkan Mak jah untuk terus menanam mangrove. “Ya bakal terus menanam. Sisanya hanya bisa pasrah. Mau gimana lagi,” ucapnya.
Identitas Perempuan Pesisir

Perempuan lainnya yang masih bertahan di kampung tenggelam adalah Musarofah (63). Dia merupakan warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
Perempuan yang akrab disapa Mak Pah ini mengaku, tidak ada rencana untuk meninggalkan kampungnya. Selain pemerintah tak menyodorkan solusi untuk proses pemindahan, dia memiliki impian sederhana yang sejauh ini belum diwujudkan.
“Saya ingin memperbaiki rumah dengan mengubah lantai rumah dari bambu menjadi kayu agar lebih awet,” paparnya kepada Tribun pada Selasa sore, 18 Februari 2025.
Mak Pah memilih bertahan di Kampung Timbulsloko yang sudah sejak tahun 2015 lalu. Sebelumnya, jumlah Kepala Keluarga (KK) di kampung yang memiliki 5 rukun tetangga itu sebanyak 324 KK. Jumlah itu menyusut drastis karena banyak warga yang memilih mengungsi.
Kampung itu kini hanya dihuni sebanyak 107 KK dengan total sekira 203 jiwa. Mereka menempati sebanyak 92 unit rumah yang saling terhubung dengan jembatan kayu dari ujung selatan ke ujung utara sepanjang sekira 1 kilometer.
Mak Pah bertahan di kampungnya dengan caranya sendiri yakni dengan berulang kali beralih profesi. Dia menyebut, dalam 20 tahun terakhir telah melakoni tiga pekerjaan berbeda. Pada masa mudanya, perempuan asli Timbulsloko ini bekerja sebagai petani.
Bencana rob yang mulai merendam kampung mendorong warga pesisir untuk beralih menjadi petambak termasuk Mak Pah. Namun, rob benar-benar menenggelamkan kampung itu sehingga Mak Pah harus beralih pekerjaan lagi dengan menjadi nelayan tangkap. Hal itu telah dilakukannya selama 1 dekade terakhir.
“Belajar pasang perangkap ikan sendiri,” terangnya.
Kondisi serupa dialami oleh dua perempuan Timbulsloko lainnya yakni Zubaidah (60 tahun) dan Mukaromah (62). Keduanya dulu adalah petani. Kini, mereka sama-sama bekerja sebagai nelayan.
“Ya dulu itu petani, sekarang ya bekerja sebagai nelayan karena kampung sudah menjadi laut,” terang Zubaidah.
Mak Dah, sapaannya mengungkapkan, bekerja sebagai nelayan tidaklah mudah karena harus menghadapi ganasnya ombak laut. Bahkan, dia pernah dikira hilang ditelan ombak oleh suaminya saat melaut dalam kondisi cuaca buruk. Padahal ketika itu dia sedang menepi di hutan mangrove Bogorame yang berada di sisi utara kampungnya.
Selain harus menghadapi ganasnya ombak laut. Dia juga harus menghadapi cemoohan.
“Ya kami diragukan oleh para warga kampung sebelah karena dikira Timbulsloko itu tidak ada nelayan perempuan karena dulu di sini adalah petani,” jelasnya.
Mereka memilih bertahan di kampung tenggelam tersebut karena masih memperoleh penghasilan dari bekerja sebagai nelayan. Penghasilan bersih perempuan nelayan di Timbulsloko ini berkisar Rp20 ribu hingga Rp50 ribu perhari.
Mereka mengaku penghasilan itu langsung ludes untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli beras, uang jajan cucu dan kebutuhan lainnya.
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnu’ah (49) menyebut, tak mudah bagi para perempuan yang bertahan di kampung tenggelam. Mereka banyak yang mengalami depresi di tengah kondisi lingkungan tersebut. Di sisi lain, mereka dipaksa untuk selalu beradaptasi salah satunya yakni beralih pekerjaan dari sawah lalu petambak setelah itu menjadi nelayan hingga buruh.
“Banyak perempuan berusaha mencari uang dengan kondisi seperti ini. Mak pah Mak dah Mbak Sikah, dan perempuan lainnya mereka gelisah harus melanjutkan hidup di tengah kondisi rob seperti ini,” katanya.
Para perempuan tersebut juga rentan dengan berbagai risiko lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) seperti ditelantarkan tanpa dinafkahi secara ekonomi hingga dipukul karena suaminya banyak yang kehilangan mata pencaharian.
“Kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka juga turut terancam,” katanya.
Masnu’ah mengaku masih melakukan pendampingan terhadap para perempuan di pesisir Demak di antaranya Timbulsloko dan Bedono agar mereka berdaya dan bangga terhadap identitasnya sebagai perempuan nelayan. Selama melakukan pendampingan di tempat tersebut, Masnu’ah berkolaborasi dengan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) sejak tahun 2020.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengungkapkan, peralihan pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan di pesisir Demak yang kampungnya tenggelam merupakan bentuk membangun ketangguhan versi mereka. Alih-alih membangun ketangguhan tersebut, pemerintah selalu menyodorkan satu solusi yakni relokasi.
Padahal relokasi hanya menjebak warga untuk masuk ke skema utang yang lebih besar karena dalam relokasi sebagian besar ditanggung oleh warga. “Peran pemerintah dalam menangani wilayah tenggelam seperti pemadam kebakaran. Solusinya juga aneh-aneh seperti membangun jalan tol (tanggul laut), langkah itu sebenarnya mau mengurus warga atau selamatkan industri,” ungkap Susan.
Kerusakan Buatan Manusia dan Solusi Semu Pemerintah
Merujuk data Kiara, ada sebanyak 1.148 desa pesisir di Indonesia tenggelam pada tahun 2020. Adapun Jawa Tengah menjadi wilayah yang paling terdampak. Kondisi itu dapat dilihat di beberapa desa di Kabupaten Demak meliputi Bedono, Timbulsloko, Surodadi, Morodemak, dan Tambakbulusan.
Dari kondisi tersebut, lebih dari 800 hektar daratan berdampak dan lebih dari 6.000 Kepala Keluarga (KK) dengan rumah-rumah mereka terendam air secara permanen. Khusus untuk kawasan Desa Timbulsloko kini telah kehilangan lebih dari 101 hektar daratan dengan setidaknya 500 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal.
Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Erwin Suryana mengatakan, kondisi desa pesisir di Demak tenggelam dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor pembangunan yang masif di dilakukan di wilayah pesisir maupun wilayah hulu.
Untuk pembangunan wilayah pesisir, kata Erwin, yang paling berdampak adalah pembangunan pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Pembangunan proyek ini mengubah pola arus sehingga mempercepat abrasi di wilayah Kecamatan Sayung.
Pola pembangunan berikutnya yang ikut merusak pesisir yakni pembangunan salah satu bendungan terbesar di Indonesia yakni Bendungan Kedung Ombo yang membentang di wilayah Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali.
Erwin menilai, bendungan ini merusak daerah aliran sungai (DAS) di kali tuntang sektor tengah. Alhasil, volume debit air yang masuk ke wilayah pesisir Demak kian besar.
Satu faktor lainnya yang turut memperparah kondisi pesisir Demak adalah pembangunan kawasan industri yang dibarengi dengan pengambilan air tanah terlalu berlebihan sehingga mempercepat terjadinya proses land subsidence atau penurunan muka tanah.
“Tiga faktor itu yang sebetulnya secara bersamaan bekerja kemudian menggerus wilayah pesisir utara Demak,” paparnya.
Erwin menyebut, penyebab kerusakan di pesisir pantura memang bukan faktor tunggal. Kerusakan di kawasan ini juga bukan semata-mata karena krisis iklim. Namun, faktor-faktor eksternal lebih dominan dalam menyumbang kerusakan.
“Faktor-faktor eksternal yang bentuknya adalah man made fitur atau buatan manusia yang sebetulnya lebih merusak,” bebernya.
Dari kondisi tersebut, Erwin menilai warga pesisir yang memilih untuk tetap menggantungkan hidupnya di desa mereka yang tenggelam malah semakin tersingkir. Sebab, pemerintah yang seharusnya membela kepentingan warga malah bersikap sebaliknya. Pemerintah memilih untuk membuka ruang kawasan itu selebar-lebarnya untuk pengembangan kawasan-kawasan industri. Hal itu dapat dilihat dari penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Demak.
“Pemerintah tidak melihat kepentingan warga yang selama ini mencoba bertahan dengan kebaikan alam di pesisir yang ada justru adalah upaya-upaya untuk penyingkiran warga dari ruang yang selama ini mereka kelola,” katanya.
Menurut Erwin, Pemerintah daerah seharusnya dapat memastikan para warga pesisir yang bertahan di tengah kampung mereka yang tenggelam dengan memberikan hak dasar mereka terpenuhi misalnya hak akan air bersih, hak tinggal, hak kesehatan, akses mata pencaharian dan pendidikan.
Bersamaan dengan itu, perlu ada langkah pemulihan lingkungan semisal dengan menggencarkan rehabilitasi mangrove dengan catatan menggunakan bibit yang tepat di kawasan tersebut. Ketika langkah itu dapat dilakukan secara berbarengan akan sangat menguntungkan bagi proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
“Jadi bukan mustahil melakukan harmonisasi antara pembangunan, kepentingan lingkungan dengan perubahan masyarakat. Pemerintah hanya perlu melihat lebih dalam lagi apa yang diinginkan masyarakat lalu mendorongnya perubahan itu dari dalam,” ungkapnya.
Sementara itu, Tribun telah berupaya mengkonfirmasi ke Bupati Demak Eisti’anah soal persoalan tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis belum ada respon. (iwn)
Ramai Isu Pemekaran Provinsi Jateng, Respons Gubernur Ahmad Luthfi Singgung Arahan Pusat |
![]() |
---|
Masa Angkutan Lebaran, Ini Stasiun dengan Keberangkatan dan Kedatangan Pemudik Terbanyak di Daop 4 |
![]() |
---|
Anggota DPR Edy Wuryanto Kecam Pemotongan THR dan Remunerasi Nakes RSUP di Semarang dan Jogja |
![]() |
---|
Gandeng ISNU Jateng untuk Kolaborasi, Kanwil Kemenag Ingin Perkuat Peran dan Kebermanfaatan CTC |
![]() |
---|
Polda Jateng Segel Pabrik Pengemasan MinyaKita di Karanganyar: Isi Kurang dari Volume Seharusnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.