Berita Jateng
Cerita Perempuan Pesisir Demak: Pilih Tinggal di Kampung Tenggelam, Jaga Mangrove dan Identitas
Sejumlah perempuan di Demak memilih tetap tinggal di kampung mereka yang ditenggelamkan rob. Selain mangrove, mereka juga menjaga identitas pesisir.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
Mak Jah sepenuhnya menyadari upaya menjaga hutan mangrove tengah diintai bahaya berupa proyek tol Semarang-Demak yang masih dalam pengerjaan. Proyek Strategis Nasional (PSN) itu tengah digarap persis di sebelah barat kawasan hutan mangrove Mak Jah yang telah ditanam sejak puluhan tahun silam.
“Ya selain jalan tol katanya mau ada pembangunan sabuk pantai jadi kemungkinan hutan mangrove kena semua,” jelasnya. Meski dalam kondisi seperti itu, tak menyurutkan Mak jah untuk terus menanam mangrove. “Ya bakal terus menanam. Sisanya hanya bisa pasrah. Mau gimana lagi,” ucapnya.
Identitas Perempuan Pesisir

Perempuan lainnya yang masih bertahan di kampung tenggelam adalah Musarofah (63). Dia merupakan warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
Perempuan yang akrab disapa Mak Pah ini mengaku, tidak ada rencana untuk meninggalkan kampungnya. Selain pemerintah tak menyodorkan solusi untuk proses pemindahan, dia memiliki impian sederhana yang sejauh ini belum diwujudkan.
“Saya ingin memperbaiki rumah dengan mengubah lantai rumah dari bambu menjadi kayu agar lebih awet,” paparnya kepada Tribun pada Selasa sore, 18 Februari 2025.
Mak Pah memilih bertahan di Kampung Timbulsloko yang sudah sejak tahun 2015 lalu. Sebelumnya, jumlah Kepala Keluarga (KK) di kampung yang memiliki 5 rukun tetangga itu sebanyak 324 KK. Jumlah itu menyusut drastis karena banyak warga yang memilih mengungsi.
Kampung itu kini hanya dihuni sebanyak 107 KK dengan total sekira 203 jiwa. Mereka menempati sebanyak 92 unit rumah yang saling terhubung dengan jembatan kayu dari ujung selatan ke ujung utara sepanjang sekira 1 kilometer.
Mak Pah bertahan di kampungnya dengan caranya sendiri yakni dengan berulang kali beralih profesi. Dia menyebut, dalam 20 tahun terakhir telah melakoni tiga pekerjaan berbeda. Pada masa mudanya, perempuan asli Timbulsloko ini bekerja sebagai petani.
Bencana rob yang mulai merendam kampung mendorong warga pesisir untuk beralih menjadi petambak termasuk Mak Pah. Namun, rob benar-benar menenggelamkan kampung itu sehingga Mak Pah harus beralih pekerjaan lagi dengan menjadi nelayan tangkap. Hal itu telah dilakukannya selama 1 dekade terakhir.
“Belajar pasang perangkap ikan sendiri,” terangnya.
Kondisi serupa dialami oleh dua perempuan Timbulsloko lainnya yakni Zubaidah (60 tahun) dan Mukaromah (62). Keduanya dulu adalah petani. Kini, mereka sama-sama bekerja sebagai nelayan.
“Ya dulu itu petani, sekarang ya bekerja sebagai nelayan karena kampung sudah menjadi laut,” terang Zubaidah.
Mak Dah, sapaannya mengungkapkan, bekerja sebagai nelayan tidaklah mudah karena harus menghadapi ganasnya ombak laut. Bahkan, dia pernah dikira hilang ditelan ombak oleh suaminya saat melaut dalam kondisi cuaca buruk. Padahal ketika itu dia sedang menepi di hutan mangrove Bogorame yang berada di sisi utara kampungnya.
Selain harus menghadapi ganasnya ombak laut. Dia juga harus menghadapi cemoohan.
Ramai Isu Pemekaran Provinsi Jateng, Respons Gubernur Ahmad Luthfi Singgung Arahan Pusat |
![]() |
---|
Masa Angkutan Lebaran, Ini Stasiun dengan Keberangkatan dan Kedatangan Pemudik Terbanyak di Daop 4 |
![]() |
---|
Anggota DPR Edy Wuryanto Kecam Pemotongan THR dan Remunerasi Nakes RSUP di Semarang dan Jogja |
![]() |
---|
Gandeng ISNU Jateng untuk Kolaborasi, Kanwil Kemenag Ingin Perkuat Peran dan Kebermanfaatan CTC |
![]() |
---|
Polda Jateng Segel Pabrik Pengemasan MinyaKita di Karanganyar: Isi Kurang dari Volume Seharusnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.