Berita Jateng

Cerita Perempuan Pesisir Demak: Pilih Tinggal di Kampung Tenggelam, Jaga Mangrove dan Identitas

Sejumlah perempuan di Demak memilih tetap tinggal di kampung mereka yang ditenggelamkan rob. Selain mangrove, mereka juga menjaga identitas pesisir.

Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TribunMuria.com/Iwan Arifianto
PEREMPUAN NELAYAN - Musarofah (63) atau Mak Pah perempuan nelayan dari Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak sedang menarik perahunya untuk memasang alat perangkap ikan, Selasa (18/2/2025). Dia memilih bertahan di kampungnya yang tenggelam karena tak ada pilihan. 

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG -  Perempuan-perempuan ini tetap bertahan di tengah kepungan bencana rob di Kabupaten Demak, yang tenggelamkan kampung mereka, serta mempertahankan identitas perempuan pesisir. Seperti apa?

Sejumlah kampung di Kabupaten Demak telah tenggelam. Namun, ada warga tetap memilih bertahan di kampung tersebut. Mereka menolak pindah dengan skema relokasi yang disodorkan oleh pemerintah.

Salah satu warga yang memilih bertahan di kampung tenggelam di Kabupaten Demak adalah Pasijah (55). Perempuan yang akrab disapa Mak Jah ini memilih bertahan di kampungnya di Dukuh  Rejosari atau lebih dikenal sebagai Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Keluarga Mak Jah tinggal sebatang kara di pesisir tersebut lantaran telah ditinggalkan oleh para tetangganya yang memilih melakukan bedol desa pada tahun 2006.

“Kalau saya ikut pindah maka tidak ada orang yang mau berkunjung lagi ke kampung ini,” ujar Mak Jah ini saat ditemui Tribun pada Selasa, 18 Februari 2025.

Mak  Jah tinggal di rumah permanen dengan tembok bata dan rangka rumah cor-coran beton. Rumah itu memiliki luasan sekira 20 meter x 10 meter.

Tinggi rumahnya sekira 7 meter. Namun, ketika masuk ke dalam rumah, atapnya hampir mudah dijangkau oleh orang dewasa karena Mak Jah meninggikan lantai rumah dengan papan kayu. Lantai papan kayu itu hampir setinggi pintu rumah. 

“Lantai kayu ditinggikan supaya kalau rob masuk masih bisa tidur,” terang Mak Jah.

Dia menempati rumah itu bersama  suami serta dua anak laki-lakinya. Satu anak perempuannya, tinggal di Kota Semarang untuk berkuliah.

Mereka menempati rumah itu tanpa listrik dan saluran air. Perusahaan listrik negara PLN memutus jaringan listrik ke rumah Mak Jah. Untuk mencukupi kebutuhan listrik, Mak Jah menggunakan genset.

Sedangkan kebutuhan air dengan cara menadah air hujan atau membelinya di desa Pandansari dengan diangkut menggunakan perahu.  Biasanya Mak Jah membeli 12 jerigen seharga Rp15 ribu untuk kebutuhan selama 1 minggu.

Mak Jah dengan suaminya, Rukani, tidak berpangku tangan di tempat tersebut. Mereka bahu membahu menanam mangrove di sekitar rumah dan bekas kampung mereka yang tenggelam.

Hasilnya, kampung mereka yang tenggelam kini telah berubah menjadi hutan mangrove. Hutan mangrove itu memanjang belasan kilometer menjadi pelindung bagi warga pesisir dari terjangan ombak dan angin.

Selain itu, hutan mangrove itu menjadi sarang bagi berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Termasuk burung camar laut.

“Ya alasan saya bertahan di sini ya ingin menanam mangrove. Saya ingin menjaga hutan mangrove ini. sekuatnya,” papar Mak Jah.

Halaman
1234
Sumber: TribunMuria.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved