Polisi Tembak Mati Paskibra Semarang

Sengkarut Kasus Penembakan Gamma, Puskampol Indonesia: Ada Ketidakpercayaan Publik pada Polri

Puskampol Indonesia menyebut sengkarut dan polemik kasus polisi tembak mati Gamma, pelajar SMK di Semarang, karena adanya ketidapercayaan ke Polri.

KOMPAS/DIDIE SW
Ilustrasi oknum polisi nakal - Puskampol Indonesia menyebut sengkarut dan polemik kasus polisi tembak mati Gamma, pelajar SMK di Semarang, karena adanya gelombang ketidapercayaan publik terhadap Polri. 

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Kasus penembakan oknum polisi terhadap tiga pelajar SMK di Semarang, hingga menewaskan Gamma Rizkynata Oktafandi dan melukai dua temannya, masih terus menjadi polemik nasional.

Meski pelaku penembakan, Aipda Robig Zaenudin, anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang, sudah menjalani sidang etik, pada Senin (9/12/2024) kemarin, polemik atas kasus ini masih terus bergulir.

Sidang etik memutuskan, Aipda Robig bersalah pada kasus ini, dan dijatuhi hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) alias dipecat dari dinas Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Koordinator Pusat Kajian Militer dan Kepolisian (Puskampol) Indonesia, Andy Suryadi, menyebut silang sengkarut dan polemik penanganan kasus ini karena adanya gelombang ketidapercayaan publik terhadap polisi.

Baca juga: BREAKING NEWS: Hasil Sidang Etik, Aipda Robig Penembak Mati Pelajar SMK Semarang Dipecat dari Polri

Baca juga: Siapa Sosok Wartawan Datang bersama Polisi Intervensi Keluarga Gamma Korban Tembak Mati Aparat?

Baca juga: Keluarga Gamma Yakin Tudingan Gengster Hanya Rekayasa Polisi, Duga Saksi Kunci Ikut Diintervensi

“Ditilik dari jenis kasusnya, keterlibatan orang hingga lokasi kejadian, semestinya kasus ini tidak terlampau sulit untuk diungkap jika dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya,” kata Andy, Selasa (10/12/2024).

Pengajar Sejarah Militer dan Kepolisian pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Semarang ini melanjutkan, kasus penembakan yang disebut Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar, karena ada tawuran tentunya meninggalkan banyak jejak yang tidak akan sulit untuk dikumpulkan menjadi rangkaian bukti. 

“Mengapa demikian? karena jika benar ada tawuran pasti melibatkan beberapa orang yang kemudian dapat dijadikan saksi, selain itu di era sekarang pasti akan meninggalkan jejak digital berupa komunikasi dalam satu kelompok bahkan adu tantang antar kelompok,” ucapnya.

Selain itu locus delicti area Kota Semarang memungkinkan adanya jejak rekaman digital atau video CCTV yang dapat dikumpulkan dari berbagai titik lokasi, bila dibandingkan di area non-perkotaan

“Terbukti, dalam konferensi pers, polisi memuatkan video adanya tawuran dan barang bukti senjata tajam, yang diklaim milik korban Gamma dan kelompoknya,” katanya.

Namun, publik yang kritis dan karena adanya gelombang ketidakpercayaan kepada polisi, kasus penembakan terhadap Gamma, justru terus menggelinding dan bergulir. Dalil kepolisian tak dapat diterima oleh masyarakat.

“Mengapa gelombang ketidakpercayaan publik terhadap polisi pada kasus ini, terjadi? Setidaknya ada sejumlah faktor,” bebernya.

Pertama, persepsi negatif terhadap kinerja lembaga kepolisian selama ini, jika ada masalah yang melibatkan oknum anggotanya tampak cenderung menutup-nutupi atau bahkan membela. 

Lalu, rangkaian kasus sebelumnya di mana konfrensi pers yang digelar pihak kepolisian ternyata jauh berbeda dengan fakta yang terjadi. Tidak hanya kasus Gamma, ditarik ke belakang, utamanya yang paling bombastis adalah kasus Ferdy Sambo.

 “Ketiga, konfrensi pers awal yang dirasa langsung cenderung membela anggota dan sebaliknya melabeli korban yang sudah meninggal sebagai anggota gangster, pelaku tawuran tentu cukup melukai perasaan keluarga korban dan menimbulkan tanda tanya publik,” ucapnya.

Terlebih, konferensi pers awal tersebut sayangnya tidak langsung disertai dengan bukti yang kuat dan tak terbantahkan sehingga membuka celah pertanyaan dan keraguan. 

Selain itu, rekam jejak korban Gamma yang disebutkan sebagai anak baik dan berprestasi baik oleh keluarga, sekolah maupun temannya, tentu membuat publik ragu benarkah korban masuk geng tawuran?,” terang dia.

Hal ini ditambah beredarnya berbagai isu, kesaksian atau bukti, yang meski tidak semuanya tervalidasi kredibilitasnya, namun kemudian dianggap bisa sebagai pembantah pernyataan pihak kepolisian, tentu makin mempertebal keraguan tidak hanya pada sebagian kronologi versi polisi, namun secara keseluruhan. 

“Publik sudah memahami bahwa penembakan oleh anggota polisi adalah sesuatu hal yang hanya boleh dilakukan dalam kondisi memaksa dan itupun tetap dengan prosedur yang ketat, sedangkan kondisi memaksa dan prosedur yang ketat tersebut tampaknya kurang dapat dibuktikan dalam kasus ini,” sambungnya.

Oleh karenanya, ia menyarankan kepolisian untuk sangat berhati-hati ketika melakukan rilis awal sebuah kasus, apalagi kasus yang menyedot dan melibatkan anggotanya sendiri sebagai bagian dari kontroversi. 

“Kesan (kepolisian) melindungi anggotanya secara berlebihan apalagi sampai melekatkan predikat negatif pada pihak yang sudah jadi korban, kecuali bukti yang kredibel dan tak terbantahkan dapat langsung dihadirkan, tentu menyakiti keluarga dan publik,” ucapnya.

Namun demikain, Andy berharap, kasus Gamma tak membuat lupa masyarakat Semarang atas aksi tawuran geng, yang telah meresahkan dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Kita tak ingin, kasus tawuran kreak-kreak hingga menewaskan Muhammad Tirza N, mahasiswa Udinus, beberapa waktu lalu terulang. Ke depan jangan sampai ada Gamma yang lain, dam jangan sampai ada Tirza yang lain,” harap dia. 

Diketahui, Gamma Rizkynata Oktafandi tewas ditembak Aipda Robig Zaenudin pada Minggu (24/11/2024) dini hari. Polisi berdalih, Robig menembak Gamma dan dua orang temannya karena membubarkan tawuran dan membela diri.

Namun, alibi ini dibantah oleh Kabidpropam Polda Jateng, Kombes Pol Aris Supriyono yang menyebut, Robig menembak mati Gamma, karena kesal sepeda motornya hampir bersenggolan dengan rombongan korban saat hendak pulang.

Pada sidang etik, Senin (9/12/2024), Aipda Robig diputus bersalah dan dipecat dari Polri. Namun, Robig tak terima dan mengajukan banding.

Kasus ini semakin menarik perhatian nasional, setelah terungkap ada oknum wartawan dan polisi yang diduga bermufakat untuk mengintervensi keluarga korban.

Keluarga Gamma: cerita gengster rekayasa polisi

Keluarga Gamma Rizkynata Oktafandy atau GRO (17) -siswa SMK 4 Semarang yang ditembak mati polisi- meyakini narasi korban adalah anggota gengster adalah rekayasa aparat belaka.

Tak hanya itu, keluarga korban juga meragukan pernyataan polisi yang menyebut korban ditembak mati karena melakukan penyerangan ke polisi menggunakan senjata tajam.

Keraguan keluarga itu berdasarkan rekaman video penembakan berdurasi 41 detik yang berhasil dikantongi keluarga korban.  

Dalam rekaman video tersebut, keluarga sama sekali tak melihat adanya korban menyerang Aipda Robig Zaenudin (38) anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang.

"Maka dari itu, yang paling utama adalah pengembalian nama baik Gamma. Kedua, proses pidana pelaku penembakan dengan hukuman pidana sesuai perbuatannya," kata seorang keluarga korban GRO yang enggan disebutkan identitasnya dengan alasan demi keselamatannya di Kota Semarang, Minggu (1/12/2024).

Baca juga: Keluarga Gamma Punya Bukti Video, Patahkan Tudingan Polisi Bubarkan Tawuran: Tak Ada Penyerangan

Baca juga: Geram Kasus Polisi Tembak Mati Siswa SMK di Semarang, Komisi III DPR: Kapolri Pelur Dievaluasi

Baca juga: Siapa Sosok Wartawan Datang bersama Polisi Intervensi Keluarga Gamma Korban Tembak Mati Aparat?

Keluarga korban mengaku, selama proses hukum ini, polisi hanya menunjukan barang bukti berupa senjata tajam untuk tawuran. 

Alat-alat tersebut, kata dia, bisa diambil dari mana saja. Tudingan soal korban membeli senjata tajam, keluarga meminta polisi membuktikannya.

"Terus pelaku-pelaku tawuran (ada 4 orang) kan bisa diambilkan dari beberapa anak-anak yang wajib lapor," terangnya.

Dengan keyakinan ini, keluarga korban telah mengumpulkan sejumlah alat bukti versi mereka untuk membantah tudingan dari Kapolrestabes Semarang

Tudingan tersebut yakni korban adalah anggota gangster yang layak ditembak polisi karena menyerang terlebih dahulu.
"Beberapa bukti dari keluarga tetap kami serahkan ke Polda Jateng," imbuh perwakilan keluarga GRO itu.  

Kesaksian korban selamat

AD (17)  korban selamat penembakan Aipda Robig Zaenudin (38) buka suara soal peristiwa malam nahas tersebut.

AD dan dua temannya Gamma atau GRO (17) serta SA (16) menjadi korban tembak Aipda Robig di depan Alfamart Jalan Candi Penataran Raya, Ngaliyan, Kota Semarang, Minggu (24/11/2024) pukul 00.19 WIB. 

Keterangan kepolisian, tiga pelajar dari SMK N 4 Semarang ini ditembak karena tawuran. Namun, AD korban selamat dari kejadian ini membantahnya.

Baca juga: Siapa Sosok Wartawan Datang bersama Polisi Intervensi Keluarga Gamma Korban Tembak Mati Aparat?

Baca juga: Keluarga Gamma akan Laporkan Kapolrestabes Semarang ke Propam, Kompolnas, dan KPAI

Baca juga: BREAKING NEWS: Akhirnya Aipda Robig Penembak Mati Pelajar SMK Jalani Sidang Etik di Polda Jateng

"Kami habis makan di burjo (warung kopi) terus otw (jalan) pulang. Tiba-tiba di lokasi kejadian ketemu (polisi) langsung nodong (pistol)," ujar AD sebelum mengikuti sidang etik Aipda Robig di Mapolda Jateng, Senin (9/12/2024).

Pertemuan antara Gamma, AD dan SA dilakukan di warung burjo tak jauh dari lokasi kejadian. Malam itu, mereka hendak rehat selepas sore harinya melatih paskibra di sekolahnya. 

"Sorenya habis melatih (paskibra). Terus pulang dulu. Habis isya baru keluar. Main di tongkrongan, nama tempatnya nggak tahu. Di sekitar situ juga," katanya.

AD menyebut, ketika kejadian berjalan satu rombongan tiga motor. Setiap motor dikendarai oleh dua orang.

Urutan motornya ke arah posisi tersangka, motor paling depan adalah Gamma bersama seorang temannya yang AD tak mengenalinya.

Motor kedua merupakan temannya satria, AD juga tak mengenali.

Motor ketiga atau paling belakang  adalah motornya.

"Motor kedua gak ada yg luka, malah dia saja kaget saya kena," terangnya. 

Para korban awalnya berjalan pelan tetapi ketika melihat Aipda Robig menodongkan pistolnya memicu mereka untuk mempercepat laju motornya.

"Ya kami kaget ada langsung nodong Kalau cuma turun di tengah masih mikirlah mungkin apa, (kalau ini) langsung nodong," ungkapnya.

Sebelum kejadian penembakan, AD membantah adanya senggolan antara dirinya dengan pelaku penembakan.

"Tidak ada serempetan," katanya.

Dia pun syok ketika mendengar suara tembakan. Namun, dia hanya mendengar pasti saat letusan peluru yang mengarah ke dirinya dan Satria. Sewaktu penembakan itu, tangan Satria menggantung di pundaknya.

"Habis ketembak, dor, langsung lemes," terangnya.

Dia menyadari adanya penembakan tersebut. Begitupun pemboncengnya Satria. Namun, Satria tidak menyadari kalau pelurunya masuk ke tangan.

Selanjutnya, dia mengantar Satria  ke rumah temannya. 

"Saya lalu pulang lalu cek di rumah. Ternyata cuma sobek (bagian dada). Saya bersihkan terus tidur. Kalau Satria katanya langsung ke rumah sakit," paparnya. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved