Serba serbi Ramadan 1444 H
Menengok Pesantren Istighfar Tombo Ati Semarang, Tempat Mantan Preman Belajar Kesejatian Hidup
Pondok Pesantren Istighfar Tombo Ati Semarang dikenal sebagai pesantren para preman. Julukan itu muncul lantaran santrinya mayoritas pelaku kriminal.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Muhammad Olies
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Pondok Pesantren Istighfar Tombo Ati Semarang dikenal sebagai pesantren para preman.
Julukan itu muncul lantaran para santrinya mayoritas pernah terlibat aksi kriminalitas.
Menyambangi pondok yang berada di Kampung Perbalan, Purwosari, Semarang Utara Kota Semarang itu, maka akan menemukan para santri yang mengenakan pakaian serba hitam dari baju, celana hingga peci.
Di bagian depan baju hitam tersebut tertulis 'Pejuang Akhirat' di belakangnya terdapat kalimat nama pondok tersebut.
Tak hanya pakaian para santrinya, ornamen bangunan pondok juga khas.
Hal itu tampak dari bangunan depan pondok yang terdapat patung naga terpotong antara kepala dan tubuhnya.
Tampak pula usus dari naga itu terburai.
Di antara potongan tubuh naga itu, tertulis nama pondok dan kalimat arab berbunyi Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin, artinya sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah kepunyaan Allah.
Latar belakang para santrinya ternyata juga berbeda.
Santri yang mondok di tempat itu adalah para mantan pelaku tindak kriminal seperti tukang todong, pengguna narkoba, pelaku jambret, dan lainnya.
"Kalau saya dulu preman, nodong dan jambret pernah saya lakukan, urusan sama polisi biasa, tapi yang serius sampai tiga kali, masuk penjara satu kali karena hajar orang," ujar santri Pondok Pesantren Istighfar Tombo Ati Semarang Ansyor (65) kepada Tribun Jateng, Kamis (23/3/2023).
Baca juga: Berusia Lebih dari Seabad, Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati Konsisten Lahirkan Tokoh NU Berkaliber
Baca juga: Santri Balekambang Jepara Kembangkan Pertanian Hidroponik, Dukung Ketahanan Pangan Pesantren
Kendati sudah menua, Ayong panggilan akrab Ansyor tetap rajin menjadi santri kalong alias santri tidak mondok di ponpes tersebut.
Ia telah mendalami ilmu agama di tempat itu sekira sejak tahun 2007.
Semuanya berawal dari tidak kesengajaan, ketika bekerja sebagai tukang AC Ayong mendapatkan tugas memperbaiki pendingin udara di ponpes Istighfar.
Ketika di tempat itu, ia merasakan ada kedamaian apalagi saat bertemu dengan pendiri sekaligus pimpinan pondok yakni KH. Muhammad Khuswanto akrap disapa Gus Tanto.
"Mulai saat itulah mulai sedikit demi sedikit ikut ngaji, memang saat itu hidup saya mulai berubah, ditambah ikut ngaji di tempat ini," katanya saat berbincang di pondok pesantren.
Ayong mengaku, sejak muda hidupnya belingsatan. Jauh dari agama dan selalu bikin onar.
Kondisi tersebut tidak jauh berbeda ketika dirinya mulai menua.
"Setelah di sini menjadi ayem, tentrem, tidak terburu-buru menjalani hidup, semua disyukuri," papar pria tiga cucu ini.
Santri lainnya, Sukisno (57) mengatakan, sudah nyantri di ponpes Istighfar Semarang sejak tahun 2006.
Mantan pengguna sabu tersebut, pada awal mondok sempat tinggal di ponpes tersebut tapi sekarang menjadi santri kalong.
"Ya saya pengguna sabu, sempat di penjara selama 6 bulan di LP Kedungpane Semarang karena kasus narkoba," bebernya.
Bertahun-tahun hidup dalam lingkaran obat terlarang, Sukisno mulai lelah. Ia seringkali merenung terhadap kondisi hidupnya, terutama ketika anak pertamanya lahir.
Dalam kondisi batin yang gersang, Sukisno kemudian diajak oleh kakaknya untuk datang ke pondok pesantren Istighfar Tombol Ati.
Mulai saat itulah, ia tekun mempelajari agama di tempat tersebut hingga sekarang.
"Saya tirakat di sini, rekoso, tapi saya ingin menebus kesalahan-kesalahan yang kemarin. Dalam arti untuk keluarga, untuk saya sendiri," beber warga Bandarharjo, Semarang Utara itu.
Bergaul dengan Preman
Pendiri Ponpes Istighfar,KH. Muhammad Khuswanto biasa disapa Gus Tanto memang sudah akrab dengan kehidupan jalanan sejak masih remaja.
Ia sudah berkeliling ke berbagai wilayah yang dikenal sebagai sarang penyamun baik di kota Semarang maupun daerah lainnya.
Pria yang berpergian selalu tanpa mengenakan alas kaki itu bahkan berkelana hingga kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur pada tahun 1987.
"Setiap berkumpul dengan mereka (para preman dan penjahat) jangan mendikte, menggurui maupun mengklaim, kumpul ya semata-mata teman, hanya cukup bersikap yang baik," katanya.
Baca juga: 3 Preman Galak saat Beraksi Peras Pedagang di Pasar Dhandhangan, Ciut Nyali saat Ditangkap Polisi
Gus Tanto berkeliling ke berbagai wilayah tersebut hanya ingin lebih mengetahui makna hidup sebenarnya.
Selepas berkelana, ia kemudian mengadakan kegiatan Yasin Tahlil di tahun 1988.
Kegiatan tersebut sebagai upaya berkumpul sambil membaca doa dan penyadaran diri untuk berhenti berbuat jahat.
Sering berjalannya waktu, para preman tadi yang sudah kenal dan mengetahui sepak terjang Gus Tanto akhirnya mengikuti kegiatan tersebut satu persatu.
Selang beberapa tahun kemudian, persisnya di awal tahun 2004, ia mendirikan Pondok Pesantren Istighfar Tombo Ati Semarang di tempat tinggalnya di Kampung Perbalan, Purwosari.
Kampung tersebut dulunya dikenal pula sebagai zona merah karena dikenal sebagai kampung para preman.
"Nama Pesantren Istighfar supaya kita merasa bahwa diri ini sebenarnya banyak dosa. Setiap ke sini sadar kemudian beristighfar," terangnya.
Pondok pesantren Istighfar tersebut terdapat ratusan santri dengan beragam latar belakang baik dari mantan peminum keras, penjudi, narkoba, hingga pelaku pembunuhan.
Namun, pondok pesantren itu terbuka bagi siapapun. Tak heran, para akademisi dan pejabat juga turut mengaji kehidupan bersama Gus Tanto.
Gus Tanto mengungkapkan, pihaknya selalu mengenakan pakaian serba hitam tak lepas dari pendapat orang pada umumnya yang mana hitam selalu disingkirkan.
Orang pada umumnya hanya melihat dari luarnya saja.
Padahal hitam identik pula pada Hajar Aswad berupa batu hitam di pojok Kakbah, Mekkah. Bahkan, warna Kabah sendiri juga hitam.
"Hitam maksudnya supaya kita tidak menonjolkan siapa kita, terpenting akhlak dan hati bersih," bebernya.
Sedangkan, patung naga di pesantren tersebut disimbolkan sebagai pesan supaya manusia bersikap tidak takabur.
"Naga bukan hewan sesungguhnya hanya filosofi. Kepalanya terpotong artinya jangan sampai lupa diri. usus terburai, maksudnya usus sebagai tempat jalur makanan maka jangan lupa bersedekah," tandasnya. (Iwn)
Melihat dari Dekat Masjid di Puncak Gunung Muria Saksi Sejarah Penyebaran Islam di Kabupaten Kudus |
![]() |
---|
Anak dan Remaja Lintas Desa Ramaikan Lomba Tongtek Penggugah Sahur di Masjid Ar Rahman Blora |
![]() |
---|
Ramadan, Perajin Bedug di Banyumas Kebanjiran Pesanan, Mayoritas Order dari Luar Kota |
![]() |
---|
Ribuan ASN di Kota Semarang Besok Wajib Belanja di Pasar Johar, TPP THR Sudah Cair |
![]() |
---|
Tebus Murah Cabai dan Bawang Hanya Rp 1.000 pada Bazar Ramadan di Balai Kota Semarang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.