Berita Pendidikan

Ikut Program Pertukaran Mahassiwa, Hanna dan Dwi Kali Alami Gegar Budaya dengan Kuliner Semarang

Kesempatan tinggal di Semarang selama hampir 5 bulan ikut Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka membuat Hanna dan Dwi mengenal budaya setempat.

Penulis: Amanda Rizqyana | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM/AMANDA RIZQYANA
Dwi Vera Wahyuni, mahasiswa semester 3 Program Studi (Prodi) Pendidikan Fisika Universitas Pasir Pengaraian (UPP) Rokan Hulu, Riau dan Hanna Mentari Tarigan, mahasiswa semester 3 Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dari Universitas Katolik Santo Thomas (UST) Medan Sumatera Utara Pentas Seni Nusantara dan Perpisahan Mahasiswa Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Inbound UPGRIS di Balairung UPGRIS Jalan Lontar Kota Semarang pada Kamis (19/1/2023). 

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Hanna Mentari Tarigan, mahasiswa semester 3 Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dari Universitas Katolik Santo Thomas (UST) Medan Sumatera Utara dan Dwi Vera Wahyuni, mahasiswa semester 3 Prodi) Pendidikan Fisika Universitas Pasir Pengaraian (UPP) Rokan Hulu, Riau.

Keduanya mengaku kali pertama menginjakkan kaki di Pulau Jawa untuk mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Inbound Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di Universitas PGRI Semarang (Upgris) sejak September 2022.

Baik Hanna dan Dwi mengakui, hal yang membuat keduanya mengalami shock culture atau gegar budaya merupakan makanan.

Dibanding makanan asli dari daerah mereka masing-masing yang bercita rasa pedas, makanan Semarang dinilai lebih dominan manis.

"Kali pertama tentu makanan karena di daerah kami makanan semuanya pedas, di sini semua makanan manis," ungkap Hanna pada Tribun Jateng, Kamis (19/1/2023) di Balairung UPGRIS Jalan Lontar Kota Semarang.

Baca juga: Penerimaan Mahasiswa Baru PTKIN Telah Diluncurkan, Catat Jadwal Agar Tak Terlewat

Kesempatan tinggal di Semarang selama hampir 5 bulan membuat keduanya mulai mengenal dan memahami ucapan Bahasa Jawa.

Baik Hanna maupun Dwi mengaku telah mengenal banyak kosakata Bahasa Jawa, bahkan sudah memahami ucapan Bahasa Jawa dari lawan bicara, meskipun keduanya mengaku tidak dapat menjawab ucapan itu.

"Udah tahu Bahasa Jawa, paham, tapi nggak bisa menjawab pake Bahasa Jawa, pakenya Bahasa Indonesia," ujar Dwi.

Selain budaya kuliner, budaya sikap di Semarang berbeda dengan daerah asal mereka.

Keduanya mengakui warga Semarang lebih sopan dan halus, dan mereka belajar mengikuti budaya yang ada di lingkungan saat ini keduanya tinggal.

Terkait materi dan pengalaman selama tinggal di Semarang dan belajar di UPGRIS, keduanya mengakui tak ada perbedaan yang mencolok.

Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Dr. Sri Suciati, M.Hum., menilai, pelaksanaan PMM bertujuan meningkatkan wawasan kebangsaan, integritas, serta solidaritas bagi mahasiswa peserta.

Berbeda dengan pelaksanaan PMM periode sebelumnya hanya sebagian yang luar jaringan (luring) dan tinggal di Semarang, sedangkan sisanya dilaksanakan secara dalam jaringan (daring).

Pada pelaksanaan periode ini berlangsung sepenuhnya luring selama hampir 5 bulan.

"Sebanyak 117 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, khususnya dari luar Pulau Jawa mengikuti perkuliahan 1 semester di UPGRIS," ujar Dr. Suci.

Baca juga: Buya Yahya Raih Gelar Profesor Kehormatan Unissula Semarang, Urai Batas-batas Seorang Ahli Fikih

Sumber: TribunMuria.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved