Berita Pati

Diduga Serobot Tanah Warga, Pemdes Tlogoayu Pati Dilaporkan ke Satgas Mafia Tanah Polda Jateng

Kades Tlogoayu, Gabus, Pati, dilaporkan ke Satgas Mafia Tanah Polda Jateng, karena diduga menyerobot tanah warga untuk mendirikan balai desa.

TribunMuria.com/Mazka Hauzan Naufal
Warga berkerumun di sekitar Balai Desa Tlogoayu, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, saat berlangsungnya mediasi yang membahas penyelesaian kasus sengketa tanah antara Pemdes Tlogoayu dan warga bernama Sunarti, Rabu 31 Agustus 2022. 

TRIBUNMURIA.COM, PATI - Pemerintah Desa (Pemdes), dalam hal ini Kepala Desa (Kades) Tlogoayu, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Darsono, dilaporkan oleh seorang warganya yang bernama Sunarti kepada Satgas Mafia Tanah Polda Jateng.

Pemdes Tlogoayu diduga menyerobot tanah warga --yakni pelapor--, seluas 2.280 meter persegi tersebut kini dalam proses penyelidikan Ditreskrimum Polda Jawa Tengah.

Sebagai bagian dari upaya penyelesaian persoalan ini, dilakukan mediasi antara pihak yang bersengketa di Balai Desa Tlogoayu pada Rabu 31 Agustus 2022.

Mediasi ini juga dihadiri oleh Kapolres Pati AKBP Christian Tobing beserta jajarannya serta penyidik dari Ditreskrimum Polda Jateng.

Puluhan warga turut memadati Balai Desa untuk mengetahui hasil mediasi yang digelar secara tertutup itu.

“Saya bersama sejumlah personel mendengar informasi terkait permasalahan tanah di Desa Tlogoayu ini."

"Maka kami turunkan personel untuk melakukan pengamanan dan menjaga ketertiban."

"Kami juga adakan mediasi, pembicaraan untuk mempertemukan pihak yang bersengketa."

"Intinya kami upayakan pendekatan persuasif, win-win solution, sambil menunggu langkah selanjutnya,” kata Christian Tobing.

Sementara, kuasa hukum Sunarti, Sulistiawan, menjelaskan duduk perkara persengketaan tanah ini.

Menurut dia, Sunarti memiliki tanah dekat tanah bondo deso milik Pemdes Tlogoayu.

Tanah tersebut lalu disepakati untuk ditukar guling oleh Pemdes setempat pada 1997.

“Klien saya ini punya tanah di sebelah bondo deso. Tanah lapang. Tahun 1970-an pembelian masih menggunakan girik atas nama orangtuanya."

"Kemudian 1997 naik sertifikat,” ujar Sulistiawan pada TribunMuria.com via sambungan telepon, Kamis 1 September 2022.

Karena tanah tersebut berdekatan dengan lapangan sepak bola, menurut Sulistiawan, kegiatan bercocok tanam di sana jadi terganggu. Tanaman mudah rusak.

“Akhirnya dari pihak keluarga Bu Sunarti sama perangkat desa pada waktu itu disepakati tukar guling,” kata dia.

Oleh Pemdes setempat, keluarga Sunarti kemudian diberi tanah pengganti seluas sekira 3 ribu meter persegi untuk digarap. Adapun tanah milik Sunarti yang lokasinya dekat tanah bondo deso didirikan bangunan.

“Tanah Bu Sunarti tidak diapa-apakan, tapi lalu dibangun Polindes dan TPQ. Polindes sudah dua tahun tidak aktif. TPQ masih dipakai ngaji,” lanjut dia.

Pada 2004, lanjut Sulistiawan, Sunarti lalu mengembalikan tanah garapannya ke kepala desa pada waktu itu secara lisan.

“Karena sejak awal memang tidak ada tertulis, tidak ada legal standing sama sekali dari pihak desa apakah ada tukar guling tidak."

"Setelah dikembalikan, tidak ada respons, Bu Sunarti mau pasang apa pun itu, dibilang itu tanah milik desa. Padahal sertifikat sejak 97 sudah terbit atas nama pihak Bu Sunarti,” kata dia.

Sejak 2004 hingga kini, Sunarti meminta haknya atas tanah tersebut dikembalikan.

Sulistiawan menuturkan, setelah pihaknya menangani kasus ini dan dilakukan validasi oleh BPN Pati, memang di tanah itu tidak ada dua surat. Hanya satu surat atas nama Sunarti.

“Yang diinginkan Bu Sunarti, beliau meminta hak fisik tanahnya dikembalikan. Namun kami sadar, di situ ada bangunan yang didirikan (oleh Pemdes)."

"Sebetulnya bukan kewajiban Bu Sunarti untuk mengganti, tapi karena khawatir ini jadi kendala dari pihak desa untuk melepas secara fisik tanah itu, kami inisiatif menawarkan uang pengganti,” kata dia.

Tak hanya itu, Sunarti juga bersedia mengganti uang sewa tanah garapan hasil tukar guling.

“Anggap saja total ganti bangunan Rp150 juta, sewa lahan Rp150 juta berarti Rp300 juta dikembalikan ke Pemdes,” tutur dia.

Secara hukum, kata Sulistiawan, Pemdes Tlogoayu mendirikan bangunan di tanah tersebut adalah salah. Sebab itu bukan tanah aset desa.

Dalam proses upaya pengambilan kembali hak atas tanah tersebut, menurut Sulistiawan, pihak desa selalu melakukan mobilisasi massa untuk menghalang-halangi.

“Terhitung sudah tiga kali pengukuran (pengembalian batas tanah). Pertama dan kedua selalu ada mobilisasi massa, tapi saya yakin 100 persen itu bukan massa warga setempat, tapi dari luar Tlogoayu,” jelas dia.

Karena itu, pihakya lalu mengadu ke Satgas Mafia Tanah Polda Jateng.

“Sebab saya sudah sowan ke Kecamatan, Kapolsek, Pasopati, untuk dimediasi, bahkan sudah mengirim somasi tapi tidak ada tanggapan,” tandas dia.

Bahkan saat pihaknya hendak melakukan pengukuran untuk kali ketiga kemarin, menurutnya ada tiga orang yang mengikuti dan beradu argumen dengannya.

“Ketika saya turun, ada tiga orang ngikutin saya, saya berargumen, karena dia ingin mengintervensi."

"Ternyata katanya salah satunya masih keponakan kepala desa. Saya ada fotonya, sudah saya kasih ke penyidik dan kapolres,” ucap dia.

Sulistiawan menambahkan, untuk pengukuran pengembalian batas, pihak BPN meminta ada satu saksi dari tetangga batas tanah milik Sunarti. Namun, tidak ada yang bersedia karena menurut dia selalu ada intervensi.

“Saya in syaa Allah pekan depan ada pengukuran pengembalian batas lagi, harapan kami pekan depan tidak ada (gangguan lagi),” tandas dia.

Klarifikasi Kepala Desa Tlogoayu

Menurut Kepala Desa Tlogoayu Darsono, sejak sebelum dirinya lahir, tanah yang kini diklaim Sunarti sudah menjadi bagian dari lapangan desa.

“Kronologi bagaimana saya tidak tahu. Karena saya baru menjabat sejak 2015, kemudian lanjut periode kedua ini."

"Tiba-tiba tanahnya diminta, ternyata sebagian punya dia katanya,” ujar dia via sambungan telepon pada TribunMuria.com, Jumat 2 September 2022.

Darsono mengatakan, oleh pihak Sunarti, dirinya sudah pernah digugat ke Pengadilan Negeri Pati pada 2016 lalu.

Gugatan tersebut dilanjutkan sampai tahap banding dan kasasi. Semuanya berakhir dengan putusan NO, artinya gugatan tidak dapat diterima.

“2016 digugat di PN Pati, putusan NO, artinya gugatan tidak dapat diterima. Mereka masih tidak puas, naik banding, naik lagi kasasi 2018. Semua sudah selesai dengan putusan NO artinya gugatan penggugat tidak bisa diterima,” jelas dia.

Ternyata gugatan tidak berhenti. Selanjutnya, dirinya dilaporkan ke Polda Jateng, bahkan sampai dua kali.

“Saya dilaporkan ke Polda sudah dua kali, 2021 kalau tidak salah, menjelang Pilkades periode kedua. Saya dilaporkan atas penyerobotan tanah."

"SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sudah keluar. Saya juga dapat tembusannya. Saya tidak terbukti melakukan pidana penyerobotan tanah,” tegas Darsono.

Ia mengaku heran ketika tahun ini, untuk kali kedua dilaporkan lagi ke Polda atas tuduhan yang sama.

“Saya tidak mengapa-apakan tanah itu kok dilaporkan penyerobotan tanah. Menurut saksi hidup dalam persidangan perdata, tukar gulingnya tahun 1975, lalu muncul sertifikat 97,” ujar pria kelahiran 1976 ini.

“Saya tidak tahu apa-apa, tiba-tiba diminta. Sejak saya lahir, tanah itu berupa bagian dari lapagan, dipakai aktivitas warga, ketika saya menjabat pun saya tidak mengapa-apakan tanah itu."

"Saya awalnya tidak tahu kalau ternyata dari pihak situ merasa memiliki dan ternyata juga punya sertifikat. Saya kaget,” ucap dia.

Darsono mengatakan, ia lebih heran lagi terhadap pelaporan atas dirinya, padahal notabene hak atas tanah tersebut bukan kepentingan pribadinya.

“Itu (tanah) bukan milik saya. Maka saya kembalikan ke warga. Masyarakat seperti apa sikapnya, yang merasa memiliki mereka."

"Karena yang disesali warga itu, menurut penuturan warga, karena dari pihak keluarga (Sunarti) sudah menikmati hasil tukar (tukar guling), tapi tiba-tiba mau diminta lagi,” tandas dia. (mzk)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved