Berita Kudus
Brand Kudus Kota Empat Negeri, Mawahib: Tak Ada Salah, Selama Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah
Brand Kudus Kota Empat Negeri, Mawahib: Tak Ada yang Salah, Asal Bisa Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Yayan Isro Roziki
Pendatang dari Chuna ini, katanya, juga terdapat yang muslim. Mereka adalah pengikut Ceng Ho.
Setelahnya disusul pendatang Arab. Hal itu ditandai dengan hadirnya keturunan Sunan Ampel yang bernama Jafar Shodiq yang acap kali disebut Sunan Kudus.
Kemudian hadirlah kolonial sebagai representasi Eropa di Kudus.
"Dari sini terjadi akulturasi dari berbagai peradaban," kata Agus.
Selebihnya, Jalil mengatakan, bahwa Kudus lahir dari konsesi perbedaan yang disatukan.
Kalau pernah ada konflik horizontal berbasis etnis, misalnya geger pecinan 1918, itu hanya kecelakaan.
Buktinya sekarang, konflik serupa tidak ada.
"Menara rukun sama kelenteng. Kudus damai atas empat peradaban ini," kata Jalil.
Kemudian, Umar berkata, bahwa jenama Kudus Kota Empat Negri tidak akan merusak atribusi yang melekat ke Kudus selama ini.
Misalnya Kudus sebagai Kota Kretek itu tumbuh secara organik, sedangkan Kudus Kota Empat Negri itu nonorganik.
Sengaja dibuat sebagai bentuk ikhtiar mengenalkan Kudus dalam bentuk lain.
"Misalnya Jogja Kota Pelajar, itu organik. Nonorganiknya itu Jogja Istimewa," kata Umar.
Lantas upaya mengenalkan Kudus sebagai Kota Empat Negri ini, menurut Mawahib, tidak ada yang salah.
Asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selama ini, Kudus dikenal karena toleransinya. Buktinya, kata Mawahib, dibuktikan dengan adanya Menara Kudus sebagai simbolnya.
"Di sekitat Menara juga terdapat kearifan budaya yang kompleks dan berbeda. Artinya perbedaan adalah sunatullah," katanya.
Terkait kearifan yang ada di Kudus ini, lanjutnya, memang harus dipertahankan. Jangan sampau luntur. Berbagai ragam kultur yang di dalammya bisa menjadi nilai lebih.
"Nilai yang bisa mendongkrak pariwisata barangkali dan bermacam-macam lagi," katanya. (*)