Berita Nasional

Habiburokhman Ungkap Kekhawatiran Gerindra Soal Deligitimasi Putusan MK dan Hak Angket DPR

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengungkap kekhawatiran atas delegitimasi putusan MK. Pakar hukum sebut putusan MK bisa dibatalkan.

Fadel Prayoga/Kompas TV
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/9/2023). 

Gerindra khawatir putusan MK dideligitimasi. Sementara di sisi lain, Guru Besar Unsoed menyebut celah putusan MK bisa dibatalkan.

TRIBUNMURIA.COM, JAKARTA - Gerindra mengkhawatirkan delegitimasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa berakibat fatal. 

Delegitimasi putusan itu, disuarakan banyak pihak. Di antaranya dengan usulan hak angket DPR terhadap putusan MK yang disuarakan politikus PDIP Masinton Pasaribu.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, delegitimasi putusan MK bisa mengakibatkan ambruknya negara.

Baca juga: Masinton Interupsi Rapat dan Gulirkan Wacana Hak Angket Terhadap MK, Mic-nya Auto Dimatikan

Baca juga: Indonesia Sedang Tak Baik-baik Saja, Hakim MK Arie Hidayat: Lebih Buruk dari Orde Baru

Baca juga: Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie Kantongi Bukti Kebohonan Anwar Usman dan Pelanggaran Etik Hakim

Karenanya, ia berharap keputusan Mahkamah Konstitusi soal usia calon wakil presiden di Pilpres 2024 dihormati karena sudah final dan mengikat.

Sebab jika putusan Mahkamah Konstitusi didelegitimasi, bisa ambruk negara karena tidak sesuai dengan kepentingan politik.

Demikian Habiburokhman dalam keterangannya dalam dialog di Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (1/11/2023).

“Kalau putusan Mahkamah Konstitusi harus didelegitimasi, padahal konstitusi kita mengatur putusan tersebut final dan mengikat ketika saat diucapkan, lama-lama bisa ambruk negara ini,” kata Habiburokhman.

“Satu demi satu lembaga negara kalau tidak sesuai dengan kepentingan kita, tidak sesuai dengan syahwat politik kita ya kan, kita delegitimasi, ini yang paling berbahaya,”ujarnya. 

Gerindra, sambung Habiburokhman, pernah dalam posisi yang tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, misal perihal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Tapi ketika itu, tidak ada sikap politik yang keras untuk putusan MK soal KPK.

“Banyak putusan Mahkamah Konstitusi kita juga nggak suka misalnya soal KPK dan lain sebagainya, tapi nggak ada yang sikap politik yang keras dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti ini, nggak ada, karena memang ini soal kepentingan aja,” jelas Habiburokhman.

Maka itu, Habiburokhman menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat maju Pilpres bukan persoalan yang mengganggu kepentingan nasional tapi kepentingan politik.

Sebab dalam Pilpres 2024, ada tokoh muda yakni Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto.

“Ketika Mas Gibran maju jadi ribut, kalau Mas Gibran nggak maju, nggak ribut, ini jadi bukan masalah hukum, bukan persoalan kekhawatiran terganggunya kepentingan nasional dan lain sebagainya,” tegas wakil ketua komisi III DPR ini.

“Ini soal politik, ini soal kepentingan politik, kita luruskan saja, kita luruskan pada proporsinya.”

Habiburokhman lebih lanjut menegaskan, Partai Gerindra tidak ingin melakukan intervensi soal hubungan Gibran dengan PDI Perjuangan.

Posisi politik saat ini, Gibran adalah cawapres Prabowo Subianto dan PDIP merupakan partai politik sahabat Gerindra.

“Tapi kami perlu meluruskan juga, ruang publik ini jangan dikotori berdasarkan kepentingan ya untuk melegitimasi kepentingan dan syahwat politik, mendelegitimasi produk reformasi yaitu Mahkamah Konstitusi,” ujar Habiburokhman.

Guru besar hukum tata negara: putusan MK bisa dibatalkan

Dilansir Tribunnews.com, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) terkait batas usia capres dan cawapres telah menimbulkan kegaduhan yang luar biasa menjelang Pemilu 2024. 

Kini bola berada di tangan Majeliis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang sedang melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.

Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Dr M Fauzan menyebut MKMK bisa membatalkan Putusan MK nomor 90 tahun 2023.

"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral, karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," kata Fauzan dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis (2/11/2023).

Atas putusan yang telah diambil lanjut Fauzan maka ada beberapa kemungkinan, pertama tetap berlaku sesuai dengan hukum tata negara positif (yang sedang berlaku).

Kedua, kata dia, perlu diingat bahwa di atas hukum sebenarnya ada moralitas, maka hukum yang baik tentunya harus memperhatikan aspek moralitas.

Lebih lanjut, ia memaparkan, jika ini yang menjadi pertimbangan, maka bisa saja MKMK ada kemungkinan keluar dari pakem hukum tata negara positif dan menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik putusannya tidak mengikat.

"Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," kata Fauzan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini juga menjelaskan 
apabila merujuk pada hukum tata negara positif, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24C  UUD 1945, maka apapun keputusan MK termasuk di dalamnya Putusan Nomor 90 tahun 2023 terlepas suka atau tidak, maka sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut langsung berlaku dan tidak ada upaya hukum.

Akan tetapi kata Fauzan terkait dengan adanya laporan pelanggaran kode etik ke MKMK, maka sanksi yang dapat dijatuhkan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang MKMK hanya ada sanksi teguran lisan, tertulis dan pemberhentian sebagai hakim konstitusi.

"MKMK memang hanya memeriksa dan memutus terkait dengan pelanggaran kode etik, dan perlu diketahui bahwa tupoksi MKMK adalah menjaga keluhuran dan martabat hakim MK."

"Itulah sebabnya perlu ada kajian kembali mengenai keputusan MK yang final dan mengikat, ke depan menurut saya jika ternyata putusan MK dijatuhkan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik, maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan."

"Dan pembatalannya ada dua cara, pertama oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," kata Fauzan. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Wacana Hak Angket Putusan MK, Gerindra: Bisa Ambruk Negara Ini 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved