Berita Kudus

Penggunaan Istilah "Kasunanan Kudus" Diperdebatkan, Ini Alasan Lengkap Yayasan Menara Kudus

Terminologi "Kasunanan Kudus" berpotensi menimbulkan banyak persepsi. Kasunanan ini merujuk

Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Moch Anhar
Saiful Masum
Sejumlah peserta Kirab Punden dan Belik mengarak air punden masing-masing tempat mengikuti rangkaian Perayaan 488 Ta'sis Masjid Al Aqsho dan Menara Kasunanan Kudus, Minggu (5/2/2023). 

TRIBUNMURIA.COM, KUDUS – Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus mulai tahun ini menggunakan istilah Kasunanan Kudus sebagai wadah atas paguyuban pengelola punden dan belik yang ada di Kabupaten Kudus.

Terminologi ini adalah hal baru yang berpotensi menimbulkan banyak persepsi atas istilah kasunanan.

Pertama kali istilah Kasunanan Kudus itu diproklamirkan saat pembukaan prosesi Kirab Banyu Panguripan yang merupakan bagian dari rangkaian Ta’sis (peringatan awal dibangun) Masjid Al-Aqsha Menara Kudus yang berlangsung Minggu 5 Februari 2023.

Dalam kesempatan itu yang berkesempatan mengumumkan penggunaan istilah Kasunanan Kudus adalah Abdul Djalil selaku komite pengarah dalam kepanitiaan Ta'sis Masjid Al-Aqsha.

Baca juga: Harga Beras di Kota Semarang Naik, Ita Minta Lurah dan Camat Turut Pantau Kondisi Pasar

"Mohon tidak disalahpahami. Kami menggunakan Kasunanan Kudus. Yang kami gunakan kasunanan itu punden dan belik. Jadi kami itu punya paguyuban organisasi untuk menampung wadah patembayatan, wadah silaturahim seluruh pemangku punden dan belik sekabupaten. Awalnya begitu. Terus melakukan kajian," kata Djalil, Jumat (10/2/2023).

Djalil mengatakan, punden dan belik yang ada sejak lama yang tersebar di berbagai wilayah di Kabupaten Kudus diyakini sebagai pengikut Sunan Kudus.

"Ketika berbicara Sunan Kudus berarti tahun 1549 Masehi. Sekitar itu sesuai prasasti (di Masjid Menara). Ketika ngomong 1500-an jelas Kabupaten Kudus yang sekarang ini ada kan belum ada. Jadi konteks tahun 1.500-an, Kabupaten Kudus yang sekarang ini belum ada," kata Djalil.

Djalil menegaskan, Kabupaten Kudus modern lahir 1812 Masehi.

Lantas masa sebelum itu, secara ideologi dan kultur masyarakat Kudus, katanya, sebagai pengikut Sunan Kudus, yang kemudian penyebutannya Kasunanan Kudus.

Penyebutan Kasunanan Kudus bagi Djalil tidak merujuk sebagai istilah untuk wilayah kekuasaan.

Pihaknya hanya ingin menunjukkan bahwa secara ideologi keagamaan, kultur, dan budaya sebelum Kudus modern lahir masyarakat menjadikan Sunan Kudus sebagai pusat.

"Jejak dakwahnya itu apakah di situ secara ideologi dakwah, bukan kekuasaan, dia mengikuti Kasunanan Kudus atau dia mengikuti mana. Studi kami makanya kemarin kami hadirkan Habib Abdullah yang merupakan habaib di wilayah Jepara yang mengiyakan karena ritus keagamaan Jepara mengikuti ritus keagamaan Kudus. Pati juga sebenarnya begitu. Sehingga kita ngomong kultur, ideologi kebudayaan dan keagamaan maka kiblatnya adalah Kudus," kata dia.

Kemudian secara mitologi, kata dia, dalam cerita rakyat Saridin juga menggunakan kata Kasunanan Kudus.

Dari situ, katanya, bisa ditarik benang merah bahwa kata Kasunanan Kudus ada nilai sejarahnya.

"Terus muncul sensitif Menara Kudus mau memecahkan diri, bukan begitu. Ini konteks menghayati kesejarahan dakwah, sehingga jangan sampai kemudian generasi sekarang kehilangan kiblat ideologisnya. Konteksnya dakwah dan sosiokultur. Makanya kami memunculkan itu di Forum Patembayatan Punden dan Forum Kirab Punden. Kami tidak memunculkan terminologi itu di forum lain karena konteks kami ini konteks kebudayaan konteks dakwah, bukan konteks pemerintahan. Kami tidak mengikuti soal pemerintahan. Itu urusan pemerintah. Kami dari Menara mengurusi dakwah saja," katanya.

Akademisi IAIN Kudus, Nur Said, mengatakan, selama ini, ia belum menemukan referensi perihal Kasunanan Kudus.

Tetapi jika berbicara Sunan Kudus bagian dari Walisongo terdapat kesinambungan dakwah antara Kesultanan Demak kemudian Kudus.

“Dalam sebuah dakwah adalah proses yang sustainable. Sebagai satu bentuk kesinambungan. Kalau bicara tentang Kudus justru Kudus Darussalam. Bagaimana Kudus sebagai satu lokus dalam penyebaran Islam yang damai dan ramah. Dalam literatur sejarah ditemukan Kudus Darussalam. Kalau kemudian ada Desa Dersalam, bisa jadi itu ada hubungannya dengan Kudus Darussalam. Tinggal inti episentrumnya di mana perlu adanya riset,” katanya.

Jika bicara kasunanan di mana di situ ada wali, terutama yang dikenal sebagai walisongo di situ pasti ada sunan.

Kalau kemudian disebut kasunanan bukan berarti suatu bentuk sistem pemerintahan, tetapi sebagai satu bentuk ekologi religiusitas budaya sunan.

“Sehingga punjernya (pusatnya) di Menara. Tapi dalam perkembangan sejarah tidak hanya di sekitar Menara. Tidak bisa dibatasi kasunanan sebagai Kudus kulon,” kata Nur Said.

Baca juga: Cerita Prof Dr Umma Farida, Perempuan Guru Besar Pertama IAIN Kudus, Dikukuhkan Suami Sendiri

Akademisi IAIN Kudus lainnya, Moh Rosyid, menyebut kata kasunanan dapat bermakna tempat tinggal sunan. Hanya saja dalam konteks pemerintahan lokal masa lalu hingga kini kasunanan berwujud keraton atau kerajaan.

Jika memang kasunanan mengacu pada tempat tinggal sunan, katanya, jejak dan tempat tinggal Sunan Kudus hingga kini belum terwujud. Hanya ada dalam kisah tutur yang sifatnya prediktif.

Untuk menguatkan penyebutan kasunanan, katanya, sebaiknya jejak riil kerajaan, kediaman Sunan Kudus dibuktikan secara ilmiah terlebih dahulu. Baik melalui kajian atau riset sejarah dan arkeologis. Bila tidak, katanya, bisa menimbulkan kerancuan istilah kasunanan itu sendiri.

“Selama ini kajian tentang sejarah Kudus kuno didominasi pendekatan klasik, idealnya dengan pendekatan sejarah modern yang kritis,” kata Rosyid yang juga sebagai dosen sejarah IAIN Kudus. (*)

 

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved