Berita Jateng
Maraknya Badut Jalanan Dikeluhkan Pebadut Profesional Semarang: Mereka Tampil Tanpa Ilmu Perbadutan
Fenomena munculnya badut jalanan yang marak di lampu merah dikeluhkan pebadut profesional Semarang. Badut jalanan dinilai tampik tanpa ilmu perbadutan
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Belakangan, badut jalanan marak muncul di traffic light atau lampu merah Kota Semarang.
Para badut jalanan beraksi saat lampu pada traffic light tersebut menyala merah, di depan para pengendara yang sedang berhenti.
Fenomena munculnya badut jalanan, bak cendawan di musim hujan ini, dikeluhkan para badut profesional di Kota Lumpia.
Para badut profesional di Kota Semarang menilai, para badut jalanan ini tampil tanpa ilmu perbadutan.
Para badut jalanan dinilai merusak citra badut yang bekerja secara profeisonal, yang tampil tak hanya sekadar mengejar cuan, melainkan juga menghibur dengan seni pertunjukannya.
"Iya badut jalanan merupakan fenomena yang hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, tak hanya di Kota Semarang."
"Hal itu merugikan kami, karena masyarakat menyamakan kami yang profesional dengan badut jalanan yang pengamen di lampu merah," terang Sekretaris Badut Semarang Sekitarnya Community (Basscom), Taryanto alias Tito (39) kepada TribunMuria.com, Sabtu (13/8/2022).
Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara badut jalanan dengan badut profesional.
Dia mengatakan, badut Jalanan bekerja tanpa bekal ilmu dunia perbadutan.
Mereka hanya memakai kostum dan alat pengeras suara lalu tampil di traffic light.
"Kami yang badut profesional harus belajar, butuh waktu, tenaga dan biaya."
"Alat-alat kerja kami juga harus beli dan itu tidak murah, sepatu misalnya harganya sampai jutaan," ujarnya.
Terbuka berbagi ilmu untuk badut jalanan
Basscom, kata dia, sebenarnya terbuka bagi para pengamen badut jalanan untuk bergabung ke komunitas badut profesional.
Semisal para badut jalanan itu ikut bergabung, mereka akan diajari bagaimana caranya nge-MC, latihan akrobat dan sulap.
"Saya pernah menawarkannya ke badut jalanan tapi ditolak, alasannya tentu karena penghasilan," bebernya.
Ia menyebut, bayaran badut profesional ternyata lebih rendah daripada badut pengamen.
Informasi yang diperoleh, para badut jalanan yang mengamen di jalanan memperoleh penghasilan Rp300 sampai Rp400 setiap hari
"Dapat Rp200 ribu itu tergolong sepi," ungkapnya.
Penghasilan itu berbeda dengan badut profesional yang sekali show tidak sampai di angka tersebut.
Belum lagi mereka juga perlu peralatan dan kostum yang tak murah.
"Di Kota Semarang pengamen berkostum badut atau badut jalanan lebih banyak dari badut profesional," katanya.
Tak heran, pekerjaan menjadi badut jalanan diminati banyak orang lantaran tidak membutuhkan skill khusus.
Cukup modal KTP untuk sewa sound dan kostum yang hanya Rp60 ribu.
"Banyak orang yang kemudian terjun menjadi badut jalanan, apalagi mereka ada yang mengkoordinir," tuturnya.
Ia pun tak menampik ada beberapa badut profesional ikut menjadi badut jalanan.
Apalagi saat pandemi Covid-19 ketika badut mengalami masa sulit karena beberapa job dicancel.
"Beruntung badut profesional di Semarang masih dapat bertahan. Berbeda dengan di kota lain yang sampai turun ke menjadi badut jalanan untuk pengamen," terangnya.
Satpol PP rutin glar razia badut jalanan
Sementara itu, Sub Koordinator Tuna Susila dan Perdagangan Orang (TSPO) Dinas Sosial Kota Semarang, Bambang Sumedi, mengatakan pihaknya terus melakukan operasi baik mandiri maupun gabungan untuk penertiban pengemis gelandangan dan orang terlantar (PGOT) termasuk badut jalanan.
"Baru minggu kemarin kami operasi gabungan saat malam hari tapi tidak ada yang ketangkap, kami hanya menemukan kostum badut di taman yang ditinggal kabur," katanya kepada Tribunjateng.com.
Ia menjelaskan, sewaktu operasi gabungan bersama Satpol PP tersebut setiap badut maupun PGOT akan dilakukan penangkapan.
"Kami lakukan pembinaan, jadwalkan waktu bisa sehari satu malam atau 12 jam baru dilepas."
"Syarat bisa dilepas harus membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi sekaligus pendataan," ungkapnya.
Misal para badut berasal dari luar Kota Semarang harus mengambil surat keterangan dari dinas sosial kota asal.
Namun rata-rata mereka berasal keluar kota Semarang, kebanyak dari Purwodadi dan Kendal.
"Efek jera harus ada, kami bina biar tidak mengulangi lagi dengan sanski berupa surat pernyataan lalu kami kembalikan ke kota asal," katanya.
Ia mengaku, belum pernah menemukan bukti bahwa badut jalanan teroganisir.
Hanya saja ada informasi terdapat tempat kos-kosan khusus badut jalanan yang dijadikan tempat berkumpul di Kota Semarang.
"Tapi bukan ranah kami untuk mendatangi lokasi tersebut, harus ada aksi di jalan dulu baru bisa kami lakukan penertiban," tandasnya.(Iwn)