Berita Jateng
Maraknya Badut Jalanan Dikeluhkan Pebadut Profesional Semarang: Mereka Tampil Tanpa Ilmu Perbadutan
Fenomena munculnya badut jalanan yang marak di lampu merah dikeluhkan pebadut profesional Semarang. Badut jalanan dinilai tampik tanpa ilmu perbadutan
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Yayan Isro Roziki
"Saya pernah menawarkannya ke badut jalanan tapi ditolak, alasannya tentu karena penghasilan," bebernya.
Ia menyebut, bayaran badut profesional ternyata lebih rendah daripada badut pengamen.
Informasi yang diperoleh, para badut jalanan yang mengamen di jalanan memperoleh penghasilan Rp300 sampai Rp400 setiap hari
"Dapat Rp200 ribu itu tergolong sepi," ungkapnya.
Penghasilan itu berbeda dengan badut profesional yang sekali show tidak sampai di angka tersebut.
Belum lagi mereka juga perlu peralatan dan kostum yang tak murah.
"Di Kota Semarang pengamen berkostum badut atau badut jalanan lebih banyak dari badut profesional," katanya.
Tak heran, pekerjaan menjadi badut jalanan diminati banyak orang lantaran tidak membutuhkan skill khusus.
Cukup modal KTP untuk sewa sound dan kostum yang hanya Rp60 ribu.
"Banyak orang yang kemudian terjun menjadi badut jalanan, apalagi mereka ada yang mengkoordinir," tuturnya.
Ia pun tak menampik ada beberapa badut profesional ikut menjadi badut jalanan.
Apalagi saat pandemi Covid-19 ketika badut mengalami masa sulit karena beberapa job dicancel.
"Beruntung badut profesional di Semarang masih dapat bertahan. Berbeda dengan di kota lain yang sampai turun ke menjadi badut jalanan untuk pengamen," terangnya.
Satpol PP rutin glar razia badut jalanan
Sementara itu, Sub Koordinator Tuna Susila dan Perdagangan Orang (TSPO) Dinas Sosial Kota Semarang, Bambang Sumedi, mengatakan pihaknya terus melakukan operasi baik mandiri maupun gabungan untuk penertiban pengemis gelandangan dan orang terlantar (PGOT) termasuk badut jalanan.