Berita Kudus
Tradsi Sedekah Kubur di Kudus, Ada Sajian Ribuan Ayam Ingkung yang Dibawa Warga
warga Dukuh Masin, Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe, Kudus menggelar tradisi sedekah kubur. Digelar saat hari Kamis terakhir jelang bulan Ramadan.
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Moch Anhar
Ada yang berkeinginan segera mendapat jodoh, ada pula yang berkeinginan bisnisnya kian jaya, dan sawahnya panen banyak.
"Kalau yang ingin sawahnya subur dan berhasil panen banyak, biasanya bunga itu dijemur, kemudian dihaluskan, ditabur di sawah," ujar Sumartono yang juga Ketua Pengelola Situs Punden Masin sekaligus seorang pensiunan guru SD.
Pria 77 tahun yang saat itu mengenakan kemeja putih dan blangkon ala Surakarta itu menilai apa yang dilakukan oleh sejumlah warga di kompleks makam itu sekadar mencari keberkahan.
Baginya keberkahan dari Tuhan bisa datang dari mana saja.
Termasuk dari setangkai bunga.
Di saat yang sama ada juga orang yang masuk ke dalam cungkup makam Nawangsih dan Rinangku.
Cungkup itu berpintu sempit dan pendek.
Baca juga: Jembatan Penghubung Gilirejo Lama dan Gilirejo Baru di Miri Sragen Akan Mulai Dibangun Tahun Ini
Baca juga: Jalan Provinsi di Jalur Ngawen-Kunduran Blora Rusak Parah, Umar: Rp5 Miliar untuk Perbaikan
Orang yang masuk dipaksa harus sedikit menunduk jika tidak ingin kepalanya terbentur kusen pintu.
Cungkup itu berdinding kayu dengan lapisan plitur cokelat yang mengkilap.
Di serambi luar cungkup memiliki PVC yang tampak mewah.
Di antaranya peziarah yang saat itu datang yakni Jumiah.
Nenek 65 tahun itu datang dari Jepara bersama kakaknya Robiah yang kini sudah 70 tahun.
Setelah masuk cungkup Jumiah bersama kakaknya menemui seorang lelaki gagah memaki peci hitam, jas hitam, dan kain merah mengalung di leher.
Pria itu bernama Anas.
Dia adalah seorang juru kunci.
Dia siap memandu doa bagi setiap peziarah yang hajatnya ingin segera terkabul.
"Saya menyerahkan bunga dan uang sedekah Rp 5 ribu kepada pria itu," kata Jumiah.
Kedatangan Jumiah jauh-jauh dari kabupaten tetangga ini bukan tanpa alasan.
Dia mengantar sang kakak Robiah yang sejak beberapa tahun terakhir sakitnya tak kunjung sembuh.
Sakit yang didera berupa benjolan di leher.
Katanya sudah dibawa berobat ke salah satu rumah sakit di Semarang, namun tak kunjung sembuh sampai saat ini.
"Ikhtiar berdoa di sini semoga Allah memberikan kesembuhan," katanya.
Jumiah tidak seorang diri.
Beberapa orang silih berganti masuk ke cungkup itu.
Ada yang sekadar ziarah.
Ada pula yang menyimpan keinginan agar segera terlunasi hajatnya.
Praktik ziarah di makam Nawangsih dengan segenap perantinya itu terus ada sampai kini.
Senyap dan terus berlangsung.
Baca juga: Stok Minyak Goreng Curah di Pasar Jebor Demak Hari Ini Kosong, Agen Sebut Besok Bakal Tersedia
Baca juga: Ratusan Lansia Rela Antre Vaksinasi di Bulungcangkring Kudus demi Dua Liter Minyak Goreng
Eksis tapi tidak mencolok.
George Quinn dalam bukunya Wali Berandal Tanah Jawa menyebut, budaya ziarah di Jawa dengan keragaman dan kontradiksinya merupakan gugatan terhadap ragam baku agama Islam yang semakin menguat di lanskap keagamaan Indonesia sejak 1980-an.
Menurut ragam ini, Islam sejati itu murni dan eksklusif.
Kesalehan muncul dari wibawa agama: sunah dan aturan-aturannya.
"Ziarah lokal sama sekali tidak murni dan eksklusif, tidak juga memaksakan wibawa kaku. Ia sangat Islami, tetapi memadukan Islam dengan sejarah lokal, semangat kuno melekat di tempat lokal dan gado-gado praktik ibadah yang akarnya tertanam jauh pada masa pra-Islam," tulis Quinn. (*)
