Sementara Kepolisian RI (Polri) berwenang pada bidang keamanan dengan mengatur urusan di dalam negeri.
"Pasal 30 maknanya memang TNI harus kembali ke barak (sebagai) alat negara di bidang pertahanan."
"TNI harus hanya mengurusi pertahanan, tidak ada urusan politik, bisnis dan lain-lainnya," jelas Bivitri.
Dia menambahkan, TNI sebagai alat pertahanan harusnya fokus mengurusi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) untuk pertahanan negara.
Pasal 30 bermakna prajurit TNI tidak boleh memasuki ranah keamanan, bisnis, politik, serta urusan-urusan di dalam negeri.
Jika TNI masuk ranah selain pertahanan, instansi tersebut akan memiliki tugas lainnya sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi ganda atau dikenal dengan dwifungsi.
Bahaya dwifungsi ABRI
Bivitri menambahkan, potensi kembalinya dwifungsi TNI menimbulkan ketakutan masa Orde Baru akan kembali muncul di Indonesia.
Tak hanya itu, dwifungsi TNI berpotensi menimbulkan dampak buruk ketika para prajurit TNI bertindak dan berorganisasi bersama warga sipil dengan menerapkan kekerasan.
"Tentara profesional memang mesti bagus sekali soal defense. Salah satunya dengan power, bukan kekerasan," katanya.
Namun, dia menilai, sebagai alat pertahanan negara, TNI terbiasa memiliki kebiasaan bertindak dengan ketegasan, kekuatan, kecepatan, dan kekerasan yang berasal dari perintah satu komando atasan.
Cara pandang dan tindakan keras TNI dinilai sangat berbeda dari karakter negara demokratis seperti Indonesia.
Negara demokratis memfokuskan kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat.
Bivitri menambahkan, masyarakat negara demokratis ingin semua hal bersifat transparan. Sementara, TNI ingin hal-hal penting dirahasiakan agar tidak diketahui musuh.
Selain itu, negara demokratis mengharapkan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, ia menilai, TNI punya karakter tidak partisipatif dan bahkan tidak menerima kritikan dari pihak lain.
Menurut dia, TNI yang masuk ke pemerintahan demokratis akan menjadi tidak memedulikan pendapat warga.
Padahal, negara demokrasi berfokus pada demos atau berarti rakyat.
Karakter berkebalikan antara TNI dan negara demokratis dinilai berisiko menimbulkan bahaya terjadinya masalah jika sampai bidang militer masuk ke pemerintahan melalui revisi UU TNI.
Menurut Bivitri, prajurit TNI harus berkarakter keras karena bertugas mempertahankan negara lewat peperangan.
Namun, karakter itu tidak bisa diterapkan ke pemerintahan Indonesia.
"Ketika karakter seperti itu dibawa ke pemerintahan, itu yang akan membuat persoalan, jadinya negara tidak akan menjadi demokratis, tapi jadinya otoriter," tegasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kronologi 3 Polisi Tewas Ditembak Saat Gerebek Sabung Ayam di Way Kanan