- Sulistiyowati menyebut, aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut dirinya dipecat dari kampus dan penonaktifan dirinya dari jabatan Wakil Rektor (Warek) I Universitas Muria Kudus (UMK) adalah settingan dan campur tangan kekuasaan.
- "Tidak apa-apa saya ini orang beriman, apapun yang dilakukan, penzaliman, (penggiringan) opini publik itu, Gusti tidak sare," katanya.
TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Surat keputusan penonaktifan Sulistiyowati dari jabatan Wakil Rektor (Warek) I Universitas Muria Kudus (UMK) beredar luas, Jumat (9/6/2023).
Sementara itu, ratusan mahasiswa UMK menggelar aksi demonstrasi dan menyegel gedung rektorat, menuntut agar Sulistiyowati tak hanya dinonaktifkan, tapi dipecat dari kampus.
Sulistiyowati angkat bicara mengenai polemik yang menyeret dirinya tersebut.
Sulistiyowati mengaku telah mengetahui perihal surat yang telah beredar luas tersebut.
Menurut Sulistiyowati, persoalan yang menyeret dirinya hingga akhirnya ia dinonaktifkan oleh Rektor UMK kental dengan muatan politis.
Sehingga, kata dia, karena penonaktifan dirinya adalah karena muatan politis, maka mengabaikan prosedur hukum yang berlaku.
Baca juga: Ratusan Mahasiswa UMK Segel Kantor Rektorat, Desak Warek I Dipecat dari Kampus
Baca juga: Muncul Desakan Warek 1 UMK Dipecat, Yayasan Segera Tindaklanjuti Penyelesaian Persoalan
Baca juga: Perilaku Warek 1 UMK Diduga Intimidasi Wisudawan Bikin Gaduh, Bupati Hartopo Angkat Bicara
"Saya sudah dengar adanya surat itu. Saya orang hukum, jadi dari awal persoalan ini kental persoalan politik."
"Kalau kental persoalan politik (ya) tidak menggunakan prosedur hukum," katanya saat dihubungi Tribunmuria.com, Jumat (9/6/2023).
Menurut Warek I UMK nonaktif, Sulistiyowati, masyarakat bisa menilai bagaimana munculnya surat tersebut.
Menurut dia, masyarakat pasti tahu apakah surat tersebut bermuatan politis dan terindikasi terpengaruh oleh kekuasan atau tidak.
"Surat tersebut bisa dilihat apakah normal, wajar atau tidak, itu terlihat."
"Kalau kita orang beriman tidak perlu takut dengan kekuasaan, apapun yang dilakukan apalagi dengan tangan besi. Karmanya luar biasa," katanya.
Dia menilai bahwa surat yang ditandatangani oleh Rektor Universitas Muria Kudus tersebut bukan dari kemauan Rektor.
"Saya memang dikirimi oleh masyarakat yang tanda tangannya pak Rektor, tapi saya yakin itu bukan kemauan pak Rektor."
"Bahwa ada kekuasaan yang besar, yang tidak terlihat dan tidak beretika," tegasnya.
Dia juga menanggapi munculnya kabar pembunuhan karakter yang ditujukan padanya.
"Tidak apa-apa saya ini orang beriman, apapun yang dilakukan, penzaliman, (penggiringan) opini publik itu, Gusti tidak sare."
"Saya santai saja dalam artian saya sudah mengabdi dengan tulus di UMK," sambungnya.
Selain itu, selama ini dia mengabdi di UMK juga sudah dilakukan dengan baik.
"Mohon maaf ya, saya ini perempuan saya menjabat itu mengorbankan jiwa raga."
"Saya berangkat fajar pulang malam untuk pembenahan dan kebaikan UMK," katanya.
Dari informasi yang dia dapatkan, munculnya serangkaian demo yang berbuah pada surat tersebut ada campur tangan dari luar.
"Kalau itu ada penguasa luar yang ikut-ikut dan hanya sepihak, ada pemicunya, membabat saya dan pak Rektor itu tujuan akhirnya," terangnya.
Dirinya juga menanggapi adanya demo yang terjadi.
"Mahasiswa dan alumni itu terpecah. Tidak semuanya alumni dan mahasiswa yang ikut demo," tutupnya.
Untuk langkah ke depannya, dia siap untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
"Langkah selanjutnya, saya tidak bersalah silakan buktikan kesalahan saya."
"Dukungan di belakang saya juga banyak, tidak muncul seperti massa sekian dan alumni."
"Itukan hanya muncul segilintir alumni dan mahasiswa yang di-setting itu saya diberitahu kok," jelasnya.
Perihal polemik dirinya diduga mengintimidasi mahasiswi PGSD, saat gladi bersih wisuda, ia membantahnya.
"Itu fitnah, tidak ada (intimidasi). Silakan buktikan secara hukum," tuturnya.
Menurut Sulistiyowati, narasi yang beredar bahwa ia mengintimidasi mahasiswi atau wisudawati PGSD, memang sengaja di-setting oleh oknum tertentu demi kepentingan politik penguasa.
"Itu bahasa yang sengaja dibuat sarkasme dan hiperbola oleh kepentingan politik penguasa, media tahu. Dalam (persoalan) ini narasi di media yang muncul adalah syahwat politik dan kepentingan oknum," tandasnya. (*)