"Adik saya dulu suka nongkrong di daerah pesisir. Selain itu juga menjelajahi pelosok desa-desa untuk mendengarkan percakapan masyarakat setempat," tutur Fatmi.
Menceritakan riwayat bisnisnya, Fatmi mengatakan, ia telah mulai berjualan sejak 2002. Ketika itu, produk yang ia jual ialah kerudung, baju, dan seprai.
Pada 2010, atas dorongan adiknya yang melihat bahwa Pati belum memiliki produk kaus khas seperti daerah lain, ia mulai memproduksi kaus dengan merek Pati Oblong.
Sebelum mulai berproduksi, ia mengunjungi Semarang, Yogyakarta, Surabaya, hingga Bali untuk mempelajari konsep kaus khas daerah di sana.
"Modal awal waktu itu Rp5 juta. Kami produksi 60 potong. Cuma ada tiga desain," ucap dia.
Adiknya yang bermukim di Yogyakarta memegang kendali produksi kaus di sana. Sementara, Fatmi di Pati bergerilya memasarkan produk.
Ketika itu, Fatmi masih menjual kaus dengan berkeliling dari satu acara ke acara lain.
Sembari menawarkan kaus, ia juga selalu membagikan kartu nama dan brosur.
Fatmi mengaku, pada awalnya banyak yang tidak menyangka jika merek Pati Oblong dimiliki seorang "ibu-ibu" sepertinya.
Bagi orang-orang, kata Fatmi, bisnis pakaian distro lebih identik dengan anak muda.
Karena kegigihan Fatmi berkeliling dari satu acara ke acara lain, lambat laun produk Pati Oblong kian dikenal orang dan permintaan semakin banyak.
Kemudian, pada 2013 dia mulai membuka distro di Jalan Diponegoro.
Dia lalu memberanikan diri mengambil pinjaman modal Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) senilai Rp5 juta untuk meningkatkan kapasitas produksi.
"Setelah itu saya ambil lagi Rp10 juta. Terakhir sebelum Pandemi Covid-19 juga saya masih ambil Rp25 juta."
"Pascapandemi sudah lunas. Setiap ambil KUR, saya selalu gunakan untuk menambah kapasitas produksi."
"Terutama setiap menjelang lebaran, karena banyak yang beli dari luar kota," tutur Fatmi.
Dalam masa puncak kejayaannya, hingga sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia awal 2020 lalu, Pati Oblong setiap pekan memproduksi sekira 200 potong kaus.