"Iya sudah tua, saya kesulitan tapi ternyata ditolong anak muda sekali klik bisa langsung buka," ujarnya menceritakan sembari tertawa renyah.
Selama dua tahun menulis buku itu, Martin begitu menikmati mulai berangkat dari rumahnya menuju lokasi menulis.
Ia harus naik angkot sebanyak satu kali lalu jalan kaki sejauh 5 kilometer.
Satu kakinya tak dapat digerakkan secara luwes lantaran dipasang pen akibat kecelakaan beberapa tahun silam.
"Misal dikerjakan di rumah pun kesulitan, perpustakaan kecil ada di lantai dua, tapi harus naik turun tangga, saya naiknya bisa, sebaliknya turunnya tidak bisa," bebernya.
Namun, bagi Martin tantangan besar besar dalam menulis buku tersebut adalah harus mempertahankan diri untuk tidak sampai dituduh plagiat.
Sebab, buku tersebut juga mengutip banyak dari buku lain.
"Membaca buku menuliskan kembali dengan menyusun paragraf yang baik menjadi tantangan terberat," jelasnya.
Ia mengungkapkan, menggunakan prinsip jurnalisme keterlibatan dalam menyusun buku itu.
Baginya tanpa jurnalisme keterlibatan tidak bisa menulis dengan baik.
"Dari suatu yang makro jika jeli lalu bisa melihat suatu yang sedikit saja (mikro) tapi bisa menjadi pemicu imajinasi untuk menulis sesuatu yang mungkin tidak besar tapi menyentuh," terangnya.
Esais dan pendiri penerbit buku Beruang Semarang, Widyanuari Eko Putra menerangkan, tesk dalam buku Tuhan Menangis, Terluka karya Martin Aleida telah berhasil membawa pembaca terlibat dengan kekuatan narasinya.
Martin memiliki kemampuan mengajukan preposisi-preposisi peristiwa sehingga mampu memunculkan empati pembaca.
"Saya berharap pola semacam ini bisa menjadi rujukan," beber pria yang akrab disapa Wiwid itu. (Iwn)