Buku

Kisah Kejahatan Kemanusiaan Tahun 1965 - 1966 Dalam "Tuhan Menangis, Terluka" Karya Martin Aleida

Penulis: Iwan Arifianto
Editor: Muhammad Olies
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sastrawan dan jurnalis Martin Aleida (80) memperkenalkan karya terbarunya dalam diskusi buku Tuhan Menangis, Terluka di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Jumat (27/1/2023).

TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Sastrawan dan jurnalis Martin Aleida (80) mengaku, dekat dengan kota Semarang.

Menurutnya, Semarang tidak jauh dari hatinya. 

Ia pernah mampir di kota lumpia untuk mengikuti pelatihan jurnalistik.

Sayang, pelatihan itu tidak tuntas lantaran  meletus Gerakan 30 September 1965. 

Pendidikan itu pun ditinggalkan lalu kembali ke Jakarta pada 2 Oktober 1965.

Kenangan tentang Pasar Yaik dan Pasar Johar masih terekam jelas di kepala pria asal Tanjung Balai, Sumatra Utara itu. 

Kini,  ia kembali ke kota Semarang setelah 57 tahun berselang untuk mendiskusikan karya bukunya yang teranyar "Tuhan Menangis, Terluka".

Buku setebal 600 lebih halaman itu menceritakan kompendium kisah-kisah kejahatan terhadap kemanusiaan rentang tahun 1965 hingga 1966. 

Buku ditulis selama hampir dua tahun dengan menumpang menulis di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta Timur. 

"Ya tiga sampai empat hari dalam seminggu saya habiskan waktu untuk menyusun buku tersebut," katanya dalam diskusi di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang,  Jumat (27/1/2023) petang.

Baca juga: Hadir Perdana, Pameran Buku Internasional BBW Books di Semarang Diserbu Ribuan Pengunjung

Baca juga: Buku Hitam Ferdy Sambo Jadi Sorotan, Ternyata Isinya Ini

Baca juga: Kedai Kopi Literasi Ala Aditya Aji di Pygmy Owl Coffe Semarang, Tersedia Aneka Buku untuk Pengunjung

Ia bermodal laptop tua bermerek Lenovo dibarengi tekad yang kuat berhasil  menyelesaikan proyek tulisan itu. 

Tentu dalam prosesnya dibarengi dengan rintangan dan kesulitan.

Kesulitan yang dialaminya mungkin saja bagi orang lain sepele tapi bagi Martin adalah hal yang menyusahkan.

Seperti harus bersusah payah ketika mendownload buku digital sebagai sumber tulisan melalui perpustakaan online. 

Ia seringkali meminta bantuan petugas perpustakaan untuk membantunya membuka hasil download buku tersebut.

"Iya sudah tua, saya kesulitan tapi ternyata ditolong anak muda sekali klik bisa langsung buka," ujarnya menceritakan sembari tertawa renyah.

Selama dua tahun menulis buku itu, Martin begitu menikmati mulai berangkat dari rumahnya menuju lokasi menulis.

Ia harus naik angkot sebanyak satu kali lalu jalan kaki sejauh 5 kilometer.

Satu kakinya tak dapat digerakkan secara luwes lantaran dipasang pen akibat kecelakaan beberapa tahun silam.

"Misal dikerjakan di rumah pun kesulitan, perpustakaan kecil ada di lantai dua, tapi harus naik turun tangga, saya naiknya bisa, sebaliknya turunnya tidak bisa," bebernya.

Namun, bagi Martin  tantangan besar besar dalam menulis buku tersebut adalah harus mempertahankan diri untuk tidak sampai dituduh plagiat.

Sebab, buku tersebut juga mengutip banyak dari buku lain. 

"Membaca buku menuliskan kembali dengan menyusun paragraf yang baik menjadi tantangan terberat," jelasnya.

Ia mengungkapkan, menggunakan prinsip jurnalisme keterlibatan dalam menyusun buku itu.

Baginya tanpa jurnalisme keterlibatan tidak bisa menulis dengan baik.

"Dari suatu yang makro jika jeli lalu bisa melihat suatu yang sedikit saja (mikro) tapi bisa menjadi pemicu imajinasi untuk menulis sesuatu yang mungkin tidak besar tapi menyentuh," terangnya.

Esais dan pendiri penerbit buku Beruang Semarang, Widyanuari Eko Putra menerangkan, tesk dalam buku Tuhan Menangis, Terluka karya Martin Aleida telah berhasil membawa pembaca terlibat dengan kekuatan narasinya.

Martin memiliki kemampuan mengajukan preposisi-preposisi peristiwa sehingga mampu memunculkan empati pembaca.

"Saya berharap pola semacam ini bisa menjadi rujukan," beber pria yang akrab disapa Wiwid itu. (Iwn)