Berita Nasional
Kisah Gus Tomo, Santri yang Mengangkat Identitas Islam Nusantara Melalui Sarung
Gus Tomo, seorang santri yang resah dengan stereotipe Islam adalah jubah, mengangkat Islam Nusantara melalui sarung karyanya: Al-Juwani. Seperti apa?
Gus Tomo, seorang santri yang resah dengan stereotipe Islam adalah jubah, mengangkat Islam Nusantara melalui sarung karyanya. Seperti apa?
TRIBUNMURIA.COM - Banyak kalangan mengidentifikasi santri sebagai ‘kaum sarungan’. Lantaran, dalam beragam aktivitasnya, tak jarang santri lebih nyaman mengenakan sarung.
Selain sebagai lekat dengan identitas santri, sarung nyatanya juga identik dengan Nusantara.
Karenanya, Islam dan Nusantara, merupakan dua identitas yang melekat pada sarung.
"Berawal dari kegelisahan, melihat banyak saudara muslim, yang seakan-akan melihat Islam itu dari covernya saja. Jadi seakan-akan Islam itu identik dengan Arab, sampai semua budaya dan busananya, yang kita lihat banyak yang pakai jubah dan sebagainya.”
”Seakan-akan Islam itu identik dengan itu. Padahal Islam di Indonesia dan Islam di negara lain berbeda covernya," kata Muhammad Sutomo atau yang karib disapa Gus Tumo, seorang santri, yang kini mulai membuka bisnis batik sarung, saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN), Selasa (21/10/2024).
Kisah Gus Tomo memulai bisnis ini menjadi menarik, di mana, ia membangun usaha ini didasarkan dengan keresahannya terkait stereotipe jubah sebagai identitas Islam.
Padahal, menurut Gus Tomo, agama Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda.
Dia menjelaskan, budaya Islam di Indonesia dengan budaya Islam di luar negeri akan selalu berbeda.
Namun, di Indonesia, dia melihat masyarakat justu mengidentikkan jubah sebagai identitas agama Islam.
Sehingga, Gus Tomo melihat budaya Nusantara sendiri mulai tergeser, khususnya budaya menggunakan sarung.
Katanya, Muslim di Indonesia harusnya bangga menggunakan Sarung sebagai identitas bangsa.
Berdasarkan keresahan tersebut, dia kemudian menciptkan sarung al-Juwani.
"Banyak teman-teman kita melaksanakan ibadah umrah langsung berganti pakaian dengan ala Arab. Sehingga kita akhirnya mengkampanyekan pakaian Islam ala Nusantara.”
”Nah dari situ banyak yang melihat kita memakai identitas ala Indonesia, yaitu sarung, kemudian banyak yang kepengen memiliki sarung yang saya pakai waktu itu."
"Sehingga saya terisnpirasi serius menggeluti usaha sarung, khususnya sarung batik," kata Gus Tomo.
Terciptanya bisnis sarung ini, kata Gus Tomo juga tidak lepas dari ulama besar Indonesia, almarhum KH Maimoen Zubair.
Kala itu, menurutnya, Mbah Moen menyampaikan bahwa, Islam Indonesia harus menggunakan budaya Indonesia, dan tidak bisa memaksakan budaya arab.
Ini menjadi misi dari Gus Tomo untuk mengangkat dan melestarikan budaya nusantara berupa batik.
Dia kemudian mengaplikasikan corak batik untuk dijadikan sebuah sarung yang merupakan pakaian sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dia menjelaskan, sarung al-Juwani sendiri lebih dekat dengan motif yang berkaitan dengan warisan leluhur, kemudian diangkat kembali untuk dipopulerkan, dengan harpan agar pemuda yang menjadi generasi bangsa ikut mencintai dan bangga dengan batik.
Gus Tomo menerangkan bahwa, setiap goresan atau corak yang terdapat dalam batik itu selalu memiliki makna tersendiri, dan juga memiliki pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol yang dilukiskan di dalam kain.
"Contohnya motif parang, dulu yang menciptakan itu dari Jogja, yaitu Sultan Agung."
"Ketika itu dia melihat ombak yang menerjang karang, tanpa berhenti, dan sebaliknya karang itu juga dihantam ombak tidak pewrnah goyah, sehinngga tercipta motif parang."
"Nah di situ ada simbol yang disampaikan, bahwa jadilah manusia seperti karang, yang selalu kuat meski mendapat hantaman," jelasnya.
Produk sarung Al-Juwani memang terasa istimewa, pasalnya, produksinya dilakukan secara manual, atau batik tulis.
Namun, kata Gus Tomo, pihaknya juga memproduksi batik cap, yang tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan harga untuk menjangkau semua kalangan.
Dia menjelaskan, kesitimewaan batik tulis yang terdapat pada sarung al-Juwani dinilai dari prosesnya, di mana, dalam prosesnya, batik tulis akan dibuat seditail mungkin, di mana dimulai dengan membuat pola dari pensil, kemudian dipola dengan mennggunakan canting.
Menariknya, batik atau sarung Al-Juwani ini dibuat dengan memberdayakan warga sekitar.
Gus Tomo bercerita, dari yang awalnya untuk merawat nasionalisme melalui budaya batik, dia kemudian semakin tergerka ketika melihat banyaknya tetangganya yang merupakan pengerajin batik yang tidak mendapatkan penghasilan pasti dari pembuatan batik.
Sehingga, dia kemudian tergerak untuk membantu masyarakat sekitar untuk mulai mengembangkan dan membesarkan al-Juuwani dengan harapan agar para pengerajin bisa memproduksi, dan memiliki penghasilan yang lebih.
"Bareng-bareng lah kita di sini, tetangga-tetangga kita kita berdayakan, kita di rumah juga ada produksi sendiri, tetapi ketika ada produksi besar, kita bisa serahkan kepada tetangga, dan mereka bisa mengerjakannya di rumah," jelasnya.
Produk al-Juwani sendiri sudah hadir sejak 2018. Dia menjelaskan, sejumlah tokoh besar, dan ulama sudah menggunakan sarung al-Juwani, mulai dari Menteri Agama, Ketua PBNU dan tokoh bangsa lainnya.
Untuk saat ini, pemesanan bisa dilakukan melalui platform media online atau market place, tetapi juga bisa langsung datang ke lokasi. (*)
Menteri ATR Sebut 60 Keluarga Kuasai Hmapir 50 Persen Tanah Indonesia, LSKB: Distribusikan |
![]() |
---|
Aktivis Muda Nahdliyin Sayangkan Keterlibatan PBNU dalam Industri Tambang Ekstraktif |
![]() |
---|
MUI Minta Aparat Usut Tuntas Kasus Perusakan Bangunan Diduga Gereja Kristen di Sukabumi |
![]() |
---|
Ihwal Putusan MK Pisahkan Pemilihan Umum, Zulfikar: Sebut Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada |
![]() |
---|
Mau Berwisata Keliling Pulau Dewa Lebih Santai dan Nymana? Bali Touristic Sarankan Ini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.