Berita Pati
Emak-emak Nelayan di Pati Demo, Minta Pemerintah Tidak Tarik PNBP secara Ugal-Ugalan
Ratusan nelayan, termasuk emak-emak, menggelar aksi demonstrasi di Juwana, Pati. Mereka menilai kutipan PNBP yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi
Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, PATI - Ratusan nelayan yang tergabung dalam Barisan Muda Nelayan Pantura (BMNP) menggeruduk Kantor Tim Pendataan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo, Juwana, Kabupaten Pati, Jumat (24/11/2023).
Mereka menggelar aksi unjuk rasa untuk memprotes sejumlah kebijakan yang menurut mereka mencekik para nelayan.
Terutama terkait pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mereka anggap "ugal-ugalan" akibat ketidaksesuaian Harga Acuan Ikan (HAI) dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Mereka juga mengeluhkan ongkos melaut yang tinggi dan tidak sebanding dengan harga ikan yang anjlok.
"Tolong ya, Pak. Kasihani para nelayan. Solarnya itu Rp12 ribu (per liter), Pak. Mahal."
"Sedangkan kalau dilelang cuma Rp5 ribu sampai Rp 6 ribu (per kilogram). 50 ton itu bayar pajaknya (pungutan) Rp20 juta."
"Kalau kapal tidak diberangkatkan karena tidak punya ongkos mengurus perizinan, malah didenda."
"Kasihani nelayan, Pak, sampai nggak pulang-pulang," kata salah satu demonstran, Sumiyati, saat berorasi.
Sumiyati menyayangkan kondisi yang dialami para nelayan saat ini, di mana kebijakan yang ada mempersulit nelayan untuk mendapat untung.
Di sisi lain, orang yang tidak bekerja justru diberi santunan.
"Yang bekerja diginikan, yang tidak bekerja dapat santunan. Masa rakyat Indonesia harus minta-minta bantuan?" ujar dia.
Sumiyati juga menyoal penentuan HAI yang tidak sesuai kenyataan di lapangan. Padahal HAI merupakan instrumen untuk menentukan besaran pungutan PNBP.
"Rp6 ribu (per kilogram) saja tidak laku ikan saya. Lho kok diglobal (dirata-rata) Rp10 ribu (HAI-nya). Nanti saya dianggap korupsi kan kasihan!" tegas dia.
Sesuai dokumen pernyataan sikap yang mereka tuliskan, BMNP menilai proses penarikan PNBP ugal-ugalan dan membuat nelayan semakin terpuruk.
Menurut pernyataan sikap yang diatasnamakan Fariz sebagai penanggung jawab aksi tersebut, selain harga ikan yang terus anjlok karena kurangnya daya serap pasar, nelayan juga dikejar-kejar oleh KKP karena kesalahan yang belum jelas dilakukan oleh nelayan.
Salah satu sumber masalah bagi nelayan adalah adanya SE MKP NOMOR B.1569/MEN- KP/X/2023 yang menargetkan PNBP Pasca-Produksi setara dengan PNBP Praproduksi.
"Hal tersebut sangat memberatkan nelayan karena berapapun hasil tangkap nelayan saat ini tidak akan dipercayai oleh KKP jika pembayaran PNBP-nya di bawah Pra-Produksi dan nelayan dipaksa membuat Laporan Penghitungan Mandiri (LPM) Tambahan dengan ancaman dokumen kapal tidak akan dikeluarkan jika tidak mengisi LPM Tambahan tersebut," lanjut BMNP dalam surat pernyataan sikapnya.
BMNP juga menyoroti keberadaan Harga Acuan Ikan (HAI) yang seharusnya menjadi kontrol KKP untuk mengendalikan harga ikan dengan upaya melindungi nelayan.
Menurut mereka, pada praktiknya HAI hanya dijadikan standar penarikan pungutan hasil perikanan.
Padahal, yang terjadi di lapangan harga ikan jauh di bawah harga patokan ikan yang dikeluarkan KKP.
"Ditambah lagi, sistem pendataan yang tidak bisa menampung cara kerja nelayan juga menjadi masalah yang sampai saat ini belum terselesaikan oleh petugas pendataan sebab dalam e-PIT hanya ada satu grade ikan."
"Sementara di lapangan ada beberapa grade ikan yang harganya berbeda-beda. Ikan yang harganya berbeda ini tetap dimasukan sebagai ikan dengan grade bagus untuk pembayaran PNBP Pasca-Produksinya," tambah Kabid Aksi dan Advokasi BMNP Jaharudin.
Dia memberi contoh, penarikan PNBP ikan layang didasarkan pada HAI sebesar Rp10 ribu. Sedangkan harga ikan di lapangan hanya di kisaran Rp5 ribu sampai Rp6 ribu .
Sementara biaya pengiriman dari lokasi penangkapan di WPP 718 sampai ke Jawa sebesar 4.500 per kilogram.
Nelayan juga saat ini masih membayar retribusi TPI, biaya bongkar ikan, bayar PNBP Pasca Produksi, serta biaya produksi yang terus mengalami peningkatan.
Jaharudin menuntut ada penyesuaian regulasi dengan kondisi lapangan. Nelayan menuntut agar kapal yang tidak melaut tidak harus dibebankan dengan PNBP.
"Sekarang yang terjadi, kapal melaut atau tidak dibebankan PNBP, nominalnya bervariasi mulai Rp 80 juta sampai Rp150 juta. Itu benar-benar memberatkan nelayan," jelas dia.
Kemudian, Jaharudin juga mengatakan bahwa nelayan menuntut KKP menunda penerapan PP nomor 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Teruku sebelum sarpras memadai.
"Bicara PP ini, seperti memindahkan industri dari A ke B. Jadi itu sampai saat ini belum terlaksana. Ketika PP ini diterapkan, siapa yang berani jamin bahwa ikan kami akan dibeli di fishing ground, seperti zona 1, 2, dan 3," ucap dia.
Dari latar belakang tersebut, BMNP menyatakan empat poin pernyataan sikap sebagai berikut.
1. Meminta petugas pendataan agar mencarikan alternative pada hasil tangkapan nelayan yang kualitasnya tidak bagus agar tidak disamakan tarif PNBP-nya.
2. Hentikan Laporan Penghitungan Mandiri (LPM) tambahan untuk nelayan yang sudah melaporkan hasil tangkapan mengingat KKP juga mengutus juru catat sendiri di lapangan.
3. Berhenti mencari-cari kesalahan nelayan baik di darat maupun fishing ground.
4. Tunda pelaksanaan PPbNo 11 tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur berbasis kuota jika sarana dan prasarana belum memadai.
"Kalau tuntutan tidak diindahkan, kami akan menggalang massa lebih besar. Sebab masyarakat arus bawah nelayan sudah benar-benar resah dengan kondisi ini," tandas Jaharudin.
Usai berunjuk rasa, perwakilan nelayan diterima oleh Penanggungjawab Penangkapan Ikan Terpadu (PIT) Bajomulyo, Umar Soleh, untuk beraudensi.
"Jadi ada perwakilan dari nelayan. Mereka menyampaikan harga ikan saat ini sedang turun sehingga mereka menginginkan ada penyesuaian HAI."
"Kemudian mereka meminta kami saat di lapangan, harus melakukan pendataan secara cermat supaya tidak merugikan para nelayan," ujar Umar.
Terkait keluhan terhadap pelayanan pihaknya yang dinilai belum memuaskan nelayan, Umar mengatakan, in syaa Allah akan segera diperbaiki sehingga ada komunikasi baik dan tidak saling merugikan.
"Kemudian terkait penerapan PIT (PP 11/2023) yang mereka minta dilakukan penundaan, berkaitan hal ini kami akan sampaikan ke pimpinan kami yang ada di Jakarta, karena ini terkait peraturan yang berlaku," ujar dia.
Yang jelas, kata Umar, pihaknya siap melaksanakan harapan para nelayan.
"Yang bisa kita selesaikan di sini kita selesaikan, yang perlu ke pusat kami sampaikan ke Jakarta," tandas dia. (mzk)
Sudewo Tolak Mundur, Demo Besar-besaran Tuntut Bupati Pati Lengser Ricuh |
![]() |
---|
DPRD Pati Bentuk Hak Angket dan Buka Peluang Pemakzulan Bupati Sudewo |
![]() |
---|
Sudewo Batalkan Kenaikan PBB 250 Persen, Warga Pati Tetap Gelar Aksi Demo |
![]() |
---|
YDIB Gelar Vaksinasi Influenza dan Beri Susu untuk Anak Pekerja BRI Pati: Penting Jaga Kesehatan |
![]() |
---|
Viral Warga Pati Temukan Uang Dibungkus Plastik di Kali, Berikut Pengkuan Romdloni |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.