Berita Nasional

Ini Sejarah NU Terjun ke Politik Praktis, Mampu Bersaing dengan Kelompok Nasionalis dan Komunis

Puncak Resepsi harlah 1 Abad NU digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo. Berbagai dinamika pernah dialami ormas keagamaan terbesar di Indonesia ini

Editor: Muhammad Olies
TRIBUNJATIM.COM/FATIMATUZ ZAHROH
Presiden Joko Widodo saat menghadiri Puncak Resepsi 1 Abad NU di Sidoarjo, Selasa (7/2/2023) 

TRIBUNMURIA.COM - Puncak Resepsi Hari Lahir (harlah) 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir langsung dalam kegiatan yang dihadiri nahdliyin dari berbagai daerah di Indonesia. 

Usia 100 tahun tentu bukan angka kecil. Berbagai dinamika pernah dialami ormas keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia ini. 

Nahdlatul Ulama dikenal sebagai organisasi kemasyarakatan sosial pendidikan bercorak Islam. Namun, di masa lalu mereka pernah menjadi salah satu kekuatan politik umat Muslim yang kuat dan bisa bersaing dengan kelompok nasionalis dan komunis.

Awal mula NU terjun ke dalam politik praktis terjadi setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

NU bersama dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam lain yang tergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) membentuk partai politik dengan nama yang sama.

Partai Masyumi diresmikan pada 7 November 1945. NU yang tergabung di dalamnya diberi jatah kursi di majelis syuro Masyumi. Saat itu para petinggi NU menerima keputusan itu, walaupun tidak ada satupun anggota organisasi itu yang duduk dalam struktur eksekutif partai.

Akan tetapi, situasi Indonesia saat itu masih bergejolak karena Belanda ingin kembali berkuasa. Perang yang berkecamuk membuat Indonesia sulit menggelar pemilihan umum.

Selain itu, sejumlah pemberontakan juga terjadi sehingga membuat situasi saat itu sangat berbahaya. Selain itu, kelompok lain juga tidak mau ketinggalan memperebutkan kekuasaan.

Di dalam Masyumi pun terjadi perbedaan pandangan politik yang ternyata tidak mudah buat disatukan. Persoalan lainnya adalah pembagian kekuasaan yang dinilai tidak adil di antara ormas Islam yang bergabung di dalam Masyumi.

Penyebabnya adalah keputusan dan imbauan strategis majelis syuro Masyumi yang diisi para ulama NU tidak mengikat oleh para pengurus.

Baca juga: Satu Abab Nahdlatul Ulama, Jokowi: Tahniyah, NU Berikan Warna Luar Biasa untuk Indonesia

Baca juga: Ihwal Capres 2024, Gerindra Jateng Munculkan Opsi Pasangan Prabowo-Ganjar, Akui Dekati Gibran

Baca juga: Masa Tunggu Haji Khusus Hanya 8 Tahun, Segini Setoran Awal yang Dibayar Calon Jemaah

Usulan NU supaya Masyumi diubah menjadi federasi pun tidak dipertimbangkan. Selain itu, NU juga kecewa karena hanya mendapat jatah satu kursi di kabinet, yakni menteri agama.

Lantas pada Kabinet Wilopo pada 1952, jatah menteri agama diberikan kepada KH Fakih Usman dari Muhammadiyah. Alasannya adalah saat itu NU sudah 3 kali mendapat jatah menteri agama.

Konflik dengan Masyumi semakin meruncing membuat NU memutuskan keluar dari partai itu. Keputusan itu diambil pada Muktamar ke-19 di Palembang pada 1952.

Setelah membentuk partai politik, NU kemudian mempersiapkan diri mengikuti Pemilu 1955. Meski waktu buat menggalang dukungan terbilang pendek, perolehan suara Partai NU saat itu menembus posisi 3 besar.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved