Berita Bisnis
Dampak Resesi, Pertumbuhan Ekspor Furnitur Terancam Minus Tahun Ini
Pertumbuhan ekspor furnitur nasional terancam minus tahun ini karena penurunannya sudah mulai terasa di awal semester II 2022.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Raka F Pujangga
TRIBUNMURIA.COM, SEMARANG - Pertumbuhan ekspor furnitur nasional terancam minus tahun ini.
Menurut Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur, hal ini seiring dengan adanya pelambatan ekspor yang telah menunjukkan adanya penurunan sejak awal semester II tahun 2022.
"(Ekspor furnitur) tahun 2022 ini mengalami penurunan di semester kedua, sampai Oktober (bulan lalu) masih mengalami penurunan. Tinggal menunggu November dan Desember," jelas dia.
Baca juga: Penjualan Online Jadi Strategi Jitu Furncraft Hadapi Gejolak Ekonomi
"Tapi kemungkinan Desember kalau kita lihat trennya menurun, sehingga capaian tahun ini secara year on year (Yoy) dibandingkan tahun lalu, potensi minusnya muncul," kata Abdul Sobur kepada Tribunmuria.com di sela kegiatan gathering dan seminar bersama para pengurus dan anggota HIMKI bertema "Peningkatan Daya Saing Industri Furniture Guna Menghadapi Tantangan Pasar Global", Senin (7/11/2022).
Abdul Sobur lebih lanjut menyebutkan, jika dilihat dari tren pertumbuhan sejak tahun 2019 lalu, terjadi pertumbuhan sebesar 3,5 persen. Kemudian tahun 2020, tumbuh mencapai angka 5,5 persen.
Tahun 2021, terjadi pertumbuhan signifikan mencapai 27,5 persen untuk gabungan mebel dan ekspor. Sedangkan pertumbuhan mebel sendiri mencapai 31 persen.
Dengan adanya penurunan di semester II disusul dengan tren yang ada, ia mengaku pesimistis akan adanya pertumbuhan yang positif tahun ini.
"Jadi dibanding tahun lalu, tren pertumbuhannya turun. Pertumbuhan akan minus 3,5 persen alias masih tumbuh di 24 persen dibanding tahun 2019," ujarnya.
Ia memaparkan, jika dilihat dari data global, pertumbuhan akan mengalami penurunan sampai akhir tahun 2024. Hal itu selain karena dampak perang Rusia - Ukraina, juga disinyalir karena tingginya angka inflasi di Amerika.
Ia mengakui, sejauh ini negara ekspor terbesar furnitur nasional adalah Amerika dengan porsi pasar mencapai 51 persen.
"Amerika ini sebagai barometer, tapi Amerika sendiri juga terjadi penurunan daya beli masyarakat karena tidak lagi disubsidi pemerintah," kata dia.
"Tahun 2021 ada subsidi tinggal cetak uang, subsidi sebesar nilai pajaknya. Signifikan, sehingga terjadi daya beli yang tinggi," ujarnya.
"Tahun ini ada stokis di Amerika akibat belanja besar," sebutnya.
Baca juga: Ekspor Mebel Jepara Masih Lesu, Biaya Pengiriman Melonjak hingga 20.000 USD, Dampak Perang Ukraina
Ia lebih lanjut memprediksi bahwa tiga bulan kedepan, terutama di tengah natal dan tahun baru akan masih ada stok di negara tujuan.
Sehingga, kata dia, mereka akan menghabiskan dulu stok tersebut hingga diperkirakan akan mengalami kemunduran pembelian.
Stokis yang harusnya sampai akhir tahun habis, terutama di natal dan tahun baru, kemungkinan tidak habis tahun ini.
"Jadi mereka habiskan dulu stok ini. Ketika mulai habis tiga bulan ini, proses pembelian akan dilakukan lagi justru di bulan januari atau jika lebih awal, bulan Desember.
Tapi belum terjadi achievement, mungkin itu nanti Maret, April, atau bulan berikutnya," kiranya.
Ia lebih lanjut memprediksi, akan terjadi pertumbuhan lagi pada tahun depan sekira bulan Maret atau April.
"Terjadi loading lagi karena dia habiskan dulu stok. Karena biasanya pengiriman ke Amerika hitungannya sampai satu bulan, dua bulan.
Proses ini panjang. Prediksi market juga mereka tahan dulu untuk belanja," ungkapnya lagi.
Baca juga: Tembus Pasar Ekspor, Mebel dan Kerajinan Kayu Jati Blora Menggeliat, Roisah: Bahannya Limbah
Ketua Himki DPD Semarang Raya, Koes Widiarso menambahkan, potensi industri mebel di wilayah Jawa Tengah sendiri sebenarnya besar.
Namun, dia mengatakan, masih terdapat sejumlah kendala yang dihadapi para pengusaha.
Selain kondisi market yang kini sedang turun, ia menyebut pelaku industri mebel juga masih dihadapkan dengan berbelitnya regulasi.
"Regulasi pemerintah, misalnya dari bidang sertifikasi seperti SVLK (sistem verifikasi Legalitas Kayu). Itu yang harus diberlakukan di hilir, bukan di hulu. Untuk legalitas kayu kan bukan di orang yang membikin produknya yang dilegalitas, tetapi penyedia yang harus ada legalitas," katanya.
"Ada isu lagi bahwa sertifikasi seperti FSI yang dari Eropa, Amerika, mereka akan berusaha untuk membuat hutan kita menjadi FSI di mana kita tidak akan siap. Karena kalau hutan tuntutan market harus FSI, berarti perusahaan harus FSI," tambahnya.
"Sedangkan di Indonesia hutan SFI belum hanya ada beberapa seperti punya Perhutani. Itu tidak akan mencukupi. Dan biaya untuk SFI besar sekali. Per tahun bisa 3.000 dolar Amerika untuk audit saja, belum biaya transportasi, dan lainnya kami yang harus tanggung," imbuhnya. (idy)