Berita Semarang
Kualitas Lingkungan Masih Jadi Ancaman, Jaringan Peduli Iklim Alam Ingatkan Semarang Bisa Tenggelam
Jaringan Peduli Iklim Alam melakukan aksi Semarang Climate Strike dengan melakukan orasi, baca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama.
Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Moch Anhar
TRIBUNMURIA.COM,SEMARANG - Jaringan Peduli Iklim Alam melakukan aksi Semarang Climate Strike atau Jeda untuk Iklim Semarang.
Aksi itu ditandai dengan melakukan aksi jalan kaki dari Masjid Nusrat Jahan Jalan Erlangga Raya ke Patung Diponegoro Jalan Pahlawan.
Di depan patung itu, para aktivis melakukan orasi, baca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama oleh para tokoh lintas agama.
Berbagai spanduk berisi kalimat sentilan dibentangkan oleh para aktivis.
Baca juga: PSIS Semarang Kalah Telak dari Persipura, Ini Kata Rezal
Baca juga: 120 Anak Yatim di Demak Didaftarkan JKN-KIS oleh Bupati Eisti dan BPJS Kesehatan Semarang
Baca juga: Agen Minyak Goreng Curah di Pati Mengeluhkan Pasokan dari Produsen Kurang
Di antaranya 'Semarang Tenggelam Kalau Kita Diam', 'Jek Ora Mikir Minyak, Jek Mikir Semarang Meh Tenggelam', 'Iklim Lagi Genting, Jangan Ghosting', 'Harga Minyak Goreng Lagi Naik, Suhu Bumi Jangan', dan lainnya.
Aksi Semarang Climate Strike adalah bagian dari aksi solidaritas pegiat iklim sedunia, atau Global Climate Strike.
Aksi itu untuk mendesak pemerintah di semua negara secara serius melakukan transisi dari energi kotor ke energi bersih agar ambang batas aman kenaikan suhu bumi tidak terlewati.
Di Indonesia, aksi ini diadakan juga di kota-kota lain seperti Jakarta, Depok, Sukabumi, Solo, Yogyakarta, Jember, Malang, Makassar dan Medan.
Aksi itu sebagian besar digawangi oleh anak-anak muda, para pewaris bumi di masa depan.
Ellen Nugroho, koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam mengatakan, suhu bumi sejak tahun 1950-an sudah naik 1 derajat Celcius, seperti tubuh manusia yang sedang demam, kenaikan suhu ini mengacaukan semua ekosistem.
“Kesannya alam itu begini-begini saja, padahal iklim hari ini beda dari iklim zaman ortu kita," kata Jumat (25/3/2022).
Menurut laporan Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC), per 10 tahun suhu Bumi terus naik 0,2 derajat Celcius.
Jika kecepatan pemanasannya seperti ini, ambang batas aman akan terlewati tahun 2040.
Dalam hal iklim, saat ini seperti sedang meluncur turun di lereng, sudah hampir sampai di bibir jurang.
Satu-satunya hal yang masuk akal untuk dilakukan adalah ikut serta mengerem agar kenaikan suhu bumi ini sebisa mungkin berhenti dan umat manusia sedunia terhindar dari bencana besar.
"Pesan yang kita ingin usung kali ini adalah utamakan manusia, bukan laba–people, not profit!," tuturnya.
Sementara itu, perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah Patria menjelaskan,
Indonesia mengalami peningkatan suhu dan intensitas bencana alam di berbagai kota.
Bahkan daerah yang sebelumnya tidak mengalami bencana alam jadi terkena.
Tahun 2016, Indonesia bikin komitmen turunkan emisi 11 persen tapi tidak selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang masih menggenjot energi batubara.
Belum ada langkah ambisius untuk keluar secara bertahap ke energi bersih.
Terbukti dari masih dibangunnya sejumlah PLTU baru, konsesi hutan dan pengalihan fungsi hutan menjadi tambang atau kawasan sentra bisnis, eksploitasi alam tidak diimbangi konservasi, moda transportasi publik belum diperbaiki.
"Di KTT Iklim (COP26) Indonesia tidak menunjukkan target ambisius untuk menurunkan emisi,” tegasnya.
Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Soni mengatakan, kondisi saat ini tidak terjadi keadilan iklim.
Baca juga: Warga Beda Agama Hidup Rukun, Desa Plajan Didaulat Jadi Kampung Pancasila Pertama di Jepara
Baca juga: Pemuda Limbangan Kendal Ditangkap Densus 88, Pertanyakan Pancasila di Pengajian, Diintai Sebulan
Baca juga: Video Babak Belur Pengusaha Kerupuk di Kudus Dihajar Minyak Mahal Dan Tapioka Harganya Melonjak
Negara-negara kaya yang menikmati keuntungan dari kemajuan ekonomi dengan membuang banyak emisi karbon, negara-negara berkembang yang harus menanggung dampak kerusakan Buminya.
Orang-orang kaya hidup nyaman dengan menghambur-hamburkan energi, rakyat miskin yang paling menderita karena alih guna lahan, kerusakan alam, bencana alam,krisis pangan.
"Dan yang paling menderita pastilah perempuan, anak-anak, dan kelompok paling rentan di masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan,” imbuhnya. (*)