Berita Semarang

Kualitas Lingkungan Masih Jadi Ancaman, Jaringan Peduli Iklim Alam Ingatkan Semarang Bisa Tenggelam

Jaringan Peduli Iklim Alam melakukan aksi Semarang Climate Strike dengan melakukan orasi, baca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama.

Penulis: Iwan Arifianto | Editor: Moch Anhar
Jaringan Peduli Iklim Alam
Jaringan Peduli Iklim Alam melakukan aksi Semarang Climate Strike atau Jeda Untuk Iklim Semarang di Patung Diponegoro Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jumat (25/3/2022). 

TRIBUNMURIA.COM,SEMARANG -  Jaringan Peduli Iklim Alam melakukan aksi Semarang Climate Strike atau Jeda untuk Iklim Semarang.

Aksi itu ditandai dengan melakukan aksi jalan kaki dari Masjid Nusrat Jahan Jalan Erlangga Raya ke Patung Diponegoro Jalan Pahlawan.

Di depan patung itu, para aktivis melakukan orasi, baca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama oleh para tokoh lintas agama.

Berbagai spanduk berisi kalimat sentilan dibentangkan oleh para aktivis.

Baca juga: PSIS Semarang Kalah Telak dari Persipura, Ini Kata Rezal

Baca juga: 120 Anak Yatim di Demak Didaftarkan JKN-KIS oleh Bupati Eisti dan BPJS Kesehatan Semarang

Baca juga: Agen Minyak Goreng Curah di Pati Mengeluhkan Pasokan dari Produsen Kurang

Di antaranya 'Semarang Tenggelam Kalau Kita Diam', 'Jek Ora Mikir Minyak, Jek Mikir Semarang Meh Tenggelam', 'Iklim Lagi Genting, Jangan Ghosting', 'Harga  Minyak Goreng Lagi Naik, Suhu Bumi Jangan', dan lainnya.

Aksi Semarang Climate Strike adalah bagian dari aksi solidaritas pegiat iklim sedunia, atau Global Climate Strike.

Aksi itu untuk mendesak pemerintah di semua negara secara serius melakukan transisi dari energi kotor ke energi bersih agar ambang batas aman kenaikan suhu bumi tidak terlewati.

Di Indonesia, aksi ini diadakan juga di kota-kota lain seperti Jakarta, Depok, Sukabumi, Solo, Yogyakarta, Jember, Malang, Makassar dan Medan.

Aksi itu sebagian besar digawangi oleh anak-anak muda, para pewaris bumi di masa depan.

Ellen Nugroho, koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam mengatakan, suhu bumi sejak tahun 1950-an sudah naik 1 derajat Celcius, seperti tubuh manusia yang sedang demam, kenaikan suhu ini mengacaukan semua ekosistem.

“Kesannya alam itu begini-begini saja, padahal iklim hari ini beda dari iklim zaman ortu kita," kata Jumat (25/3/2022).

Menurut laporan Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC), per 10 tahun suhu Bumi terus naik 0,2 derajat Celcius.

Jika kecepatan pemanasannya seperti ini, ambang batas aman akan terlewati tahun 2040.

Dalam hal iklim, saat ini  seperti sedang meluncur turun di lereng, sudah hampir sampai di bibir jurang.

Satu-satunya hal yang masuk akal untuk  dilakukan adalah ikut serta mengerem agar kenaikan suhu bumi ini sebisa mungkin berhenti dan umat manusia sedunia terhindar dari bencana besar.

"Pesan yang kita ingin usung kali ini adalah utamakan manusia, bukan laba–people, not profit!," tuturnya.

Sementara itu, perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah Patria menjelaskan,
Indonesia mengalami peningkatan suhu dan intensitas bencana alam di berbagai kota.

Bahkan daerah yang sebelumnya tidak mengalami bencana alam jadi terkena.

Tahun 2016, Indonesia bikin komitmen turunkan emisi 11 persen tapi tidak selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang masih menggenjot energi batubara.

Belum ada langkah ambisius untuk keluar secara bertahap ke energi bersih.

Terbukti dari masih dibangunnya sejumlah PLTU baru, konsesi hutan dan pengalihan fungsi hutan menjadi tambang atau kawasan sentra bisnis, eksploitasi alam tidak diimbangi konservasi, moda transportasi publik belum diperbaiki.

"Di KTT Iklim (COP26) Indonesia tidak menunjukkan target ambisius untuk menurunkan emisi,” tegasnya.

Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Soni mengatakan, kondisi saat ini tidak terjadi keadilan iklim.

Baca juga: Warga Beda Agama Hidup Rukun, Desa Plajan Didaulat Jadi Kampung Pancasila Pertama di Jepara

Baca juga: Pemuda Limbangan Kendal Ditangkap Densus 88, Pertanyakan Pancasila di Pengajian, Diintai Sebulan

Baca juga: Video Babak Belur Pengusaha Kerupuk di Kudus Dihajar Minyak Mahal Dan Tapioka Harganya Melonjak

Negara-negara kaya yang menikmati keuntungan dari kemajuan ekonomi dengan membuang banyak emisi karbon, negara-negara berkembang yang harus menanggung dampak kerusakan Buminya.

Orang-orang kaya hidup nyaman dengan menghambur-hamburkan energi, rakyat miskin yang paling menderita karena alih guna lahan, kerusakan alam, bencana alam,krisis pangan.

"Dan yang paling menderita pastilah perempuan, anak-anak, dan kelompok paling rentan di masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan,” imbuhnya. (*)

Sumber: TribunMuria.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved