Berita Jepara
Warga Berdiri Berdesakan di Pinggir Jalan Sambut Ratu Kalinyamat, Tradisi Baratan Kriyan Jepara
Warga Berdiri Berdesakan di Pinggir Jalan Sambut Ratu Kalinyamat, Tradisi Baratan Kriyan Jepara. ratu kalinyamat topo wudo
Penulis: Muhammad Yunan Setiawan | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, JEPARA - Antusias warga menyaksikan tradisi Baratan terlihat di area jalan Masjid Al Makmur, di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
Warga berdiri berdesakan di pinggir-pinggir jalan untuk melihat kirab rombongan Ratu Kalinyamat.
Dalam rombongan itu, selain ada orang yang berperan sebagai Ratu Kalinyamat, juga ada yang berperan kiai, dayang, dan rakyat.
Di barisan paling depan ada orang yang berperan memegang sapu sagad yang bertugas membersihkan jalan. Kemudian diikuti oleh rombongan kiai. Disusul kereta kuda yang ditumpangi Ratu Kalinyamat. Di belakang sang ratu, ada dayang dan beberapa orang yang membawa gunungan.
Rombongan berangkat dari Masjid Al Makmur dan berjalan berkeliling di sejumlah jalan di Desa Kriyan. Lalu kembali lagi ke Masjid Al Makmur.
Ketua Panitia Acara Baratan, Hisyam Maliki mengatakan tradisi Baratan dilaksanakan setiap tahun, tepatnya setiap Syaban.
Namun karena pandemi tradisi tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan arak-arakan.
"Ini pertama kali (terlaksana) pasca Covid-19. Kami sudah menskenario semaksimal mungkin menurunkan animo masyarakat (agar tidak terjadi kerumunan)," kata dia, Senin (21/3/2022) malam.
Dia menuturkan pelaksanaan tradisi ini memang menyesuaikan kondisi pandemi, jadi berbeda dari sebelumnya.
Itu terlihat dari jumlah gunungan. Sebelumnya, rombongan kirab membawa dua gunungan.
"Namun karena terkenda beberapa hal kami hanya bawa satu," tuturnya.
Tokoh masyarakat setempat, Muhtadi Moroteruno mengungkapkan tradisi Baratan selalu diperingati setiap pertengahan Syaban.
"Baratan itu berasal dari bahasa Arab "barakatan). Artinya 'andum slamet' memohon perlindungan kepada Allah agar kita selamat," terang pria yang juga menjadi penasehat Masjid Al Makmur itu.
Selain itu juga, kata dia, tradisi Baratan untuk mengenang Ratu Kalinyamat.
Menurutnya, ada ikatan sejarah antara Desa Kriyan dan Ratu Kalinyamat.
Berdasarkan cerita para leluhur, kata dia, Keraton Ratu Kalinyamat berada di Desa Kriyan.
"Itu sudah diakui pemerintah. Tempatnya di belakang SMA Sula (Sultan Agung)."
"Tepatnya di Siti Inggil. Arti Siti Inggil adalah tanah tinggi," ungkapnya.
Dia membeberkan dulu Ratu Kalinyamat akan membangun Keraton di Desa Kriyan.
Pembangunan itu diawali dengan membuat pagar tembok pengaman atau benteng di Desa Robayan, Kecamatan Kalinyamatan.
Tapi proses pembangunan itu terhenti karena musibah besar menimpa Ratu Kalinyamat.
Sang suami Sultan Hadlirin dibunuh oleh orang suruhan Arya Penangsang.
"Karena terjadi seperti itu Ratu Kalinyamat sakit hati kemudian pergi khalwat atau menyendiri ke hutan Donorojo."
"Yang dikenal di masyakarat topo wudo singgang rambut," bebernya.
Ratu Kalinyamat bertapa sampai bisa membalas kematian sang suami tercinta.
Menurut Muhtadi, pengertian topo wudo artinya bukan telanjang, tetapi menanggalkan baju kerajaan dan meninggalkan keduniawian.(yun)