Berita Kudus
Gunakan Bioreaktor Kapal Selam, BUMDes Gondosari Kudus Ubah Sampah Jadi Pupuk dan Pestisida
Gunakan Bioreaktor Kapal Selam, BUMDes Murakabi Gondosari Kudus Ubah Sampah Jadi Pestisida & Pupuk. biorekator kapal selam
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Diakui atau tidak, sampah selalu menjadi problem bagi kehidupan manusia jika tidak dikelola secara tepat.
Berbagai persoalan bisa lahir dari sampah, mulai dari bau sampai dampak ekologis bisa muncul dari sampah yang tidak diurus.
Persoalan sampah inilah kemudian membuat BUMDes Murakabi Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kudus membuat sistem pengelolaan bioreaktor kapal selam.
Darinya sampah disulap menjadi kompos, pupuk organik cair, padat, dan pestisida organik.
Sistem bioreaktor kapal selam ini cukup kompleks. Sistem pengolahannya melalui berbagai tahapan.

Pertama, sampah yang diterima dari warga sekitar dipilah. Ketika masih ada sampah yang bernilai ekonomis, dikumpulkan sendiri.
Setelahnya akan dijual kepada pengepul. Sampah ini biasanya sampah yang bisa didaur ulang. Misalnya sampah plastik.
Sementara sampah yang tidak memiliki nilai ekonomis akan digiling.
Setelahnya sampah halus campuran dari berbagai macam sampah akan diolah menjadi kompos, pupuk organik cair, padat, dan pestisida organik. Proses ini akan memakan waktu 24 hari.
"Selama 24 hari, sampah yang digiling itu akan diproses menjadi kompos, pupuk organik, dan pestisida melalui sistem bioreaktor P2."
"Saat itu sampah halus itu diproses sampai jadi kompos dan organik melalui mikroba," kata pelaksana operasional BUMDes Murakabi, Bambang Supriyanto, Jumat (4/3/2022).
Memang saat ini belum ada produksi yang bisa dihasilkan dari pengolahan tersebut. Sebab, sistem pengolahan ini terbilang baru di Gondosari.
Namun, dari pengamatan Tribunmuria.com, setidaknya sudah ada pengolahan sampah organik yang bersumber dari kotoran hewan menjadi biogas.
Biogas menjadi sumber energi penggerak bagi mesin penggiling sampah.
Bahan baku dalam proses pengolahan biogas dari sampah organik dan kotoran ternak milik warga sekitar. Secara rutin pengelola BUMDes mengumpulkan kotoran itu untuk diolah.
Bambang juga sempat mempraktikkan jika biogas yang diproduksi dari sistem tersebut sudah bisa dimanfaatkan.
Dia memutar tuas paralon, kemudian di ujung paralon dia menyalakan korek. Seketika api menyala dari ujung paralon.
"Kami juga berencana agar ke depan biogas bisa dimanfaatkan warga sekitar melalui paralon yang disalurkan," kata dia.
Ke depan BUMDes ini diharapkan menjadi tulang punggung pendapatan desa.
Hal itu cukup beralasan, sebab sistem yang dibuat berikut alat dan teknologinya itu memakan biaya yang tidak sedikit, Rp1,2 miliar.
Total biaya tersebut Rp600 juta di antaranya disokong oleh PT Sukun sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Sisanya didapat dari anggaran desa dan sejumlah bantuan dari donatur.
Untuk mendapatkan profit atau keuntungan, skema yang akan diterapkan oleh pengelola BUMDes Murakabi yakni dengan menjual hasil olahan sampah berupa kompos, pupuk, dan pestisida.
Untuk memastikan bahwa produk dari olahan tersebut bisa mengganti pupuk kimia pabrikan, Bambang berencana akan membuat demplot uji coba di lahan milik desa seluas satu hektare.
"Kami uji coba hasil kompos, pupuk, dan pestisida melalui demplot di tanah milik desa. Setelah itu kami akan pasarkan ke kelompok tani di sini. Kami sudah kerja sama," kata dia.
Meski belum menghasilkan produk dari pengolahan sampah, saat ini pihak BUMDes sudah rutin mengumpulkan sampah domestik dari warga desa tersebut.
Total sampah yang dikumpulkan dari warga bisa mencapai 4 ton per hari.
Sampah sebanyak itu diambil dari 20 persen jumlah keluarga yang ada di Gondosari.
Sementara total keluarga di desa itu ada sekitar 4 ribu keluarga.
Kepala Desa Gondosari, Aliya Himawati, juga berharap besar jika BUMDes tersebut akan menjadi tumpuan bagi pendapatan desa.
Dia berpikir, ke depannya nanti pemerintah pusat tidak selamanya mengucurkan dana desa.
Dari situlah desa dituntut harus mandiri.
Harus bisa mendayagunakan segenap potensi yang ada di desa sebagai pendapatan. (*)