Berita Kudus
City Branding Kudus Kota Empat Negeri, Upaya untuk Tarik Investor dan Wisatawan ke Kota Kretek
City Branding Kudus Kota Empat Negeri, Upaya untuk Tarik Investor dan Wisatawan ke Kota Kretek
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Yayan Isro Roziki
TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Kudus Kota Empat Negeri mulai dikenalkan sebagai calon city branding yang baru.
Sebelumnya Kudus memiliki city branding 'the test of Java'.
Dengan city branding yang baru itu, Bupati Kudus HM Hartopo berharap Kudus menjadi daya tarik para investor dan mampu mendulang keuntungan di bidang pariwisata.
Untuk menguatkan brand bahwa Kudus adalah Kota Empat Negeri digelar focus group discussion (FGD) di lantai 4 Perpustakaan IAIN Kudus, Selasa (8/2/2022).
Dalam diskusi kali ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang.
Sebelum diskusi digelar, Hartopo mula-mula memberikan sepatah sambutan.
Isi sambutannya berkaitan dengan Kota Empat Negeri, intinya pihaknya meminta masukan berbagai pihak dalam city branding yang saat ini baru dikenalkan.
"Karena mengingat sejarah Kudus sebagai Kota Empat Negeri. Sejarahnya ada semua. Makanya diulas dalam FGD."
"Mudah-mudahan hasilnya nisa manfaat dan bjsa dirindaklanjuti secara nyata," kata Hartopo.
Selebihnya, kata Hartopo, city branding Kudus Kota Empat Negeri ini merupakan upaya diferensiasi atau mencari perbedaan antara Kudus dengan daerah lain.
Dengan begitu, dia berharap ada ketertarikan para pemodal maupun wisatawan untuk kemudian berbondong-bondong datang ke Kudus.
Sedianya tidak ada yang secara gamblang menjelaskan latar belakang kenapa Kudus harus menyemat atribusi Kota Empat Negeri.
Hanya ada satu narasumber. Yakni Agus Susanto. Dia merupakan Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.
Dalam penjelasannya, Kudus sudah dihuni oleh tiga etnis berbeda sejak sebelum abad 16.
Mulai dari etnis Jawa dari Lasem, karena saat itu Kudus secara teritori masuk dalam Pulau Muria di bawah kendali kerajaan Lasem.
Kemudian etnis selanjutnya yakni China. Kelompok bangsa ini juga datang dari Lasem.
Hal ini didasarkan dengan keberadaan kelenteng Cu An Kiong di Lasem.
Agus hanya menjelaskan sekelumit.
Bahwa kelenteng tersebut dibangun oleh etnis China menggunakan kayu jati pada abad 15.
Saat kelenteng dipugar, didatangkanlah pengukir asal Guangdong.
Para ahli ukir tersebut, cerita singkat Agus, kemudian menetap di Kudus.
Selain kedua etnis tersebut, ada etnis Arab yang kata Agus mereka datang dari kota-kota di pantai utara Jawa Timur.
Terakhir yakni bangsa Eropa pada penjajahan Belanda antara 1602-1989.
Kata Agus, hal ini dimulai sejak VOC membuka pos dagang di Jepara hasil perjanjian dengan Amangkurat I.
Dari situ bisa disimpulkan, bahwa Kudus dalam perjalanannya dihuni oleh bermacam kelompok dari berbagai etnis.
Sebenarnya kondisi ini tidak hanya dialami Kudus saja.
Semarang misalnya, juga mengalami perjalanan yang kemudian komposisi penduduknya terdiri atas beberapa etnis.
Narasumber berikutnya Abdul Jalil seorang akademisi IAIN Kudus mengatakan, branding Kota Empat Negeri karena ada bermacam etnis ketika ditarik benang merah sejarah baginya sudah selesai. Tidak ada perdebatan.
Memang dalam pejalananannya Kudus dihuni oleh etnis Jawa, Arab, China, kemudian Eropa dari kolonial.
Namun, kata dia, itu menjadi cukup aneh ketika satu di antara maksud dicanangkannya brand tersebut yakni untuk mendongkrak potensi wisata.
Sebab, dia mengatakan, data peziarah yang datang ke kompleks Masjid Menara Kudus setiap bulan itu tidak kurang dari 250 ribu orang.
Itu sebenarnya potensi besar. Harusnya pemerintah mampu untuk mengelola.
Kemudian, potensi lainnya yakni pondok pesantren. Di Kudus katakan tidak kurang ada 20 ribu santri. Mereka datang dari berbagai daerah.
"Setiap bulan santri itu pastu dijenguk orangtuanya. Saat dijenguk pasti diajak belanja. Itu juga potensi," kata dia.
Kemudian, untuk narasi Kota Empat Negeri ini perlu diperkuat. Kata Jalil, perlu adanya identitas secara materiil.
Baginya, branding itu akan menancap ketika ada identitas materiil yang mampu ditangkap sscara inderawi.
"Misalnya saja Bali, kata dia, ketika melihat bentuk bangunan atau semacamnya, orang akan sudah paham bahwa itu di Bali," kata dia.
Selain Agus dan Jalil, narasumber lainnya yakni Umar Ali.
Sosok yang memiliki kedekatan dengan Bupati Kudus HM Hartopo ini mencoba membedah bahwa Kudus menyemat atribusi sebagai Kota Kretek baginya tidak salah.
Menurut dia, brand city itu bisa terbentuk secara organik. Misalnya Kudus sebagai Kota Kretek adalah berkembang secara organik karena di Kudus banyak pabrik yang memproduksi rokok kretek.
Begitu halnya dengan Yogyakarta yang dikenal Kota Gudeg atau Kota Pelajara.
Menurut Umar hal itu berkembang secara organik.
Tapi, kata dia, tidak ada salahnya jika kemudian city brand juga dikembangkan secara non-organik.
"Jogja yang dikenal sebagai Kota Pelajar, brand city-nya Istimewa. Jogja Istimewa."
Sementara, kata dia, untuk Kudus berdasarkan latar belakang yang ada, maka tidak ada salahnya ketika brand city Kota Empat Negeri. (*)
