Berita Nasional

Serikat Nelayan NU Desak Pemerintah Batalkan PSN PIK 2, Polemik Pagar Laut di Tangerang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketum SNNU: Ketua Umum SNNU Witjaksono meresmikan program beasiswa dan bantuan UMKM bidang perikanan saat rapimnas SNNU di Menteng, Rabu (1/11/2023). Terkini, Ketua Umum Serikat Nelayan NU, Witjaksono, mendesak pemerintah membatalkan PSN PIK 2, terkait keberadaan pagar laut yang sangat merugikan nelayan.

TRIBUNMURIA.COM, JAKARTA -  Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) turut menyoroti keberadaan pagar laut di perairan Tangerang, Provinsi Banten, yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2 (PSN PIK 2).

Serikat Nelayan NU menilai, keberadaan pagar laut tersebut sangat merugikan nelayan tradisional setempat.

SNNU secara tegas menyatakan, mendesak pemerintah untuk membatalkan PSN PIK 2, yang merugikan nelayan.

Baca juga: Mahfud MD Tandai Sikap Aneh Pemerintah Tangani Pagar Laut Tangerang: Harusnya Segera Jadi Pidana

 Baca juga: Bandingkan Kasus Pagar Laut Tangerang dengan Mutilasi di Ngawi, Jusuf Kalla: Kelewatan Negeri Ini

 Baca juga: 2 Menteri Dilaporkan ke KPK Terkait Sertifikat Pagar Laut

“Peristiwa pemagaran pada areal laut di wilayah Kabupaten Tangerang menyebabkan kegiatan nelayan di sana menjadi terbatas, pada akhirnya menganggu perekonomian rumah tangga mereka yang sangat bergantung dari hasil melaut,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (PP SNNU), H Witjaksono, dalam keterangannya, Rabu (29/1/2025).

Witjaksono, yang akrab disapa Mas Witjak, juga menyoroti fakta kepemilikan sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas areal laut tersebut, dan menegaskan bahwa pemasangan pagar laut sebagai upaya perampasan ruang laut atau familiar disebut dengan istilah Ocean Grabbing.

Dituturkan, berdasarkan putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui terbitnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di wilayah laut tidak diperkenankan.

“SHGB laut melanggar aturan, dapat dikatakan sebagai suatu hal yang ilegal,” tegasnya.

“Jadi, tidak ada dasar bagi pihak-pihak baik perorangan maupun unit usaha untuk melakukan klaim atas areal laut berdasar pada penerbitan SHGB apalagi sampai dilakukan pemagaran yang membuat susah nelayan,” sambung dia.

Oleh karenanya, tegas pria asal Kabupaten Pati itu, pemerintah perlu mengusut tuntas dan membatalkan kepemilikan SHGB atas areal laut tersebut, walau dengan dalih apapun yang diutarakan oleh pihak tertentu yang berkait.

Misalnya alasan bahwa areal yang tersertifikat tersebut sebelumnya merupakan daratan dan kemudian menjadi tanah musnah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 3 Tahun 2024.

“Bagi kami nelayan tidak ada alasan untuk SHGB tersebut untuk tidak dicabut oleh pemerintah,” ujar Mas Witjak.

Disampaikan lebih lanjut, SNNU memandang bahwa permasalahan pemagaran laut di Tangerang tersebut menjadi indikasi bahwa masih terdapat loophole dalam peraturan yang ada, maupun dari aspek penegakan hukum, yang dimanfaatkan oleh sindikat atau mafia pertanahan.

Persoalan serupa, sambung dia, bukan tidak mungkin terjadi di daerah pesisir Indonesia lainnya, yang tentunya sangat merugikan nelayan sebagai pihak yang berkegiatan sehari-hari di daerah pesisir dan laut.

“SNNU sebagai Banom PBNU yang memang sehari-hari mengurusi permasalahan nelayan termasuk perlindungan daripada tindakan-tindakan yang merugikan rumah tangga nelayan.”

”Kami tentunya mengecam keras kejadian pemagaran areal laut di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) Kabupaten Tangerang. Kami mendesak pemerintah melakukan pembatalan PSN PIK 2 yang bermasalah tersebut dan juga melakukan pengkajian ulang terhadap PSN lain yang terindikasi merugikan masyarakat kecil,” tegas Mas Witjak.

Halaman
123