Opini

Refleksi 10 Tahun Mengabdi sebagai Dosen Tetap: Tugas Kita Menantang Badai

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi dosen.

Priyo Anggoro | Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (Unugha) Cilacap

Dosen adalah profesi yang memiliki strata mulia pada struktur sosial kemasyarakatan kita. Sebagai seorang pendidik di lingkungan akademik, dosen merupakan katalisator perubahan sosial. Menjadi bagian dari civitas akademika yang memiliki tugas mendidik, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sebuah kampus tidak dinamakan perguruan tinggi, bila tidak memiliki dosen yang kapabel dan berintegritas, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dosen harus cerdik dan adaptif dalam menyikapi laju ‘peradaban’ yang melesat cepat.

Perubahan sosial yang begitu drastis saat ini menyebabkan seorang dosen harus cepat tanggap dalam merespon perkembangan dunia pendidikan. Utamanya menyelami karakter peserta didiknya, agar tercipta iklim pendidikan yang menyenangkan, menginspirasi, dab memotivasi. Sehingga, hal itu diharapkan menjadi trigger bagi daya dorong belajar dan juga pergerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan sosial, tentunya melalui implementasi ilmu pengetahuan di dalam dunia nyata.

Tidak, tulisan ini tak hendak menyampaikan sesuatu yang ndakik-ndakik. Coretan ini lebih sebagai bentuk support bagi kawan-kawan dosen di manapun berada, utamanya dosen swasta yang sudah tersertifikasi maupun belum tersertifikasi. Bagaimanapun, dosen adalah bagian vital untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Tak dipungkiri, banyak masyarakat yang nyinyir, tak percaya dan tidak yakin akan Indonesia Emas yang dicanangkan pemerintah, tugas kita adalah menantang badai. Sebagai dosen, kita sudah terbiasa dengan perjuangan dan pengabdian. Mana bisa seorang dosen terbawa arus ikut-ikutan tidak yakin tentang visi Indonesia Emas 2045.

Kembali lagi pada tugas dan fungsi dosen. Dosen adalah elan vital bangsa ini, sebagai katalisator perubahan. Semua orang boleh tidak percaya atas visi tersebut, tapi tidak dengan seorang dosen. Keyakinan seorang dosen akan menjadi teladan bagi seluruh mahasiswa di seantero negeri. Bahwa, sedikitpun harkat dan martabat bangsa adalah nomor satu, tentunya dengan membangun pendidikan berkarakter, membangun intelektual, emosional, mental serta spiritual.

Tak ada gading yang tak retak, tak perlu meributkan perkara gelar profesor dan gelar lainnya yang dibajak oleh para bangsawan negeri ini. Toh, kita sudah terbiasa dengan kultur paternalistik yang rumit. Terlebih, rektor kampus negeri pun terpilih atas rekomendasi oleh kekuatan-kekuatan politik invisible hand.

Tugas dosen hari ini adalah kembali ke kawah candradimuka, merawat dan meruwat perguruan tinggi masing-masing. Bangkitkan lagi kultur literasi dan ritual kajian-kajian mahasiswa, meskipun tidak mudah, ini adalah langkah awal menyongsong Indonesia Emas 2045. Siap bapak dan ibu dosen? Ingat, tugas kita adalah: menantang badai! (*)