Berita Kudus

Pemerintah Larang Thrifting, Pedagang Pakaian Bekas Impor di Kudus: Lalu Solusinya Apa?

Penulis: Saiful MaSum
Editor: Yayan Isro Roziki
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pedagang pakaian bekas impor sedang merapikan barang dagangan di Jalan Kudus-Jepara, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Kamis (23/3/2023).

TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Kebijakan pemerintah melarang perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting menuai pro dan kontra.

Tanggapan datang dari para pelaku perdagangan pakaian bekas impor yang menilai bahwa kebijakan tersebut merugikan banyak pihak. 

Larangan ini disinyalir bakal mematikan usaha perdagangan pakaian bekas impor di Indonesia.

Baca juga: Jokowi Gerah Maraknya Pakaian Bekas Impor, Zulhas: Thrifting Itu Bahaya, Bisa Bawa Penyakit

Baca juga: Pati Thrift Festival 2023, Tes Ombak Pasar Thrifting, 40 Stand Sediakan Barang 2nd Branded Impor

Baca juga: Jokowi Larang Produk Thrifting, Demak Malah Fasilitasi Baju Bekas Impor Lewat Halim Fest

Pedagang pakaian bekas impor di Kabupaten Kudus, Ponco, mengatakan suatu kebijakan yang berorientasi pada larangan sayogyanya diiringi dengan kebijakan lain yang bersifat solutif. 

Artinya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jangan hanya searah, yang nantinya menyulitkan masyarakat.

Dia mencontohkan, ketika larangan perdagangan pakaian bekas impor benar-benar dijalankan di seluruh daerah di Indonesia, akan mempersulit ekonomi pelaku usaha yang bersangkutan.

Karena mereka terpaksa harus menutup usaha yang sudah dirintisnya bertahun-tahun, pendapatan pun terputus.

"Kami menolak kebijakan tersebut. Alasan kami karena ini usaha satu-satunya."

"Kalau sampai harus ditutup, kami enggak bisa kerja."

"Mau buka usaha lain juga butuh modal, sementara modal kami yang sudah dikeluarkan belum balik sepenuhnya," terangnya, Kamis (23/3/2023).

Ponco sudah menekuni usaha perdagangan pakaian bekas impor (thrifting) kurang lebih 8 tahun. 

Saat ini, usahanya dipusatkan di Jalan Raya Kudus - Jepara wilayah Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus.

Kata Ponco, pihaknya tetap menghargai apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah.

Dengan cara menghentikan kulakan barang baru, dan fokus pada penjualan stok yang ada. 

Dia berharap agar pemerintah memberikan waktu bagi para pedagang pakaian bekas untuk menghabiskan stok barang yang masih tersisa.

Minimal agar ada pemasukan tambahan dari sisa modal yang belum kembali. 

"Setelah mendengar kabar tersebut, kami fokus menghabiskan stok barang yang ada, sekitar 2.000-an pcs berbagai jenis."

"Pembelinya juga sekarang sepi, enggak seramai dulu," ujarnya.

Ponco sendiri menjual pakaian bekas mulai dari Rp10.000 hingga Rp60.000 per pcs.

Produk terlaris adalah kaos dan celana yang dipakai sehari-hari. 

Dia menyebut, selama ini usahanya tak mengambil untung banyak.

Selain berdagang untuk mendapatkan penghasilan, usahanya di bidang thrifting dalam rangka membantu masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan pakaian pantas pakai dengan harga murah. 

Pihaknya berharap, pemerintah memberikan kebijakan lain atas kebijakan larangan impor pakaian bekas yang meringankan beban pedagang pakaian bekas.

Misalnya dalam bentuk bantuan modal usaha dan fasilitasi tempat oleh pemerintah daerah. 

"Bagaima pun, usaha yang sudah jalan tidak semudah itu dirubah dengan kebijakan."

"Kami butuh kebijakan dari pemerintah yang membantu kami agar bisa tetap berdiri, tidak jatuh jika usaha kami ditutup," harapnya. 

Alasan pemerintah larang thrifting

Sebelumnya, pemerintah tengah gencar melarang perdagangan baju bekas impor atau thrifting di semua daerah Indonesia.

Tempat di mana masyarakat bisa mendapatkan barang bermerk branded dengan harga ramah di kantong. 

Kebijakan tersebut diberlakukan dengan alasan thrifting dapat merusak produsen tekstil dalam negeri.

Sehingga kebijakan ini diharapkan dapat melindungi industri dalam negeri, khususnya di bidang tekstil.

Dalam hal ini, pemerintah tidak melarang aktivitas berburu pakaian bekas atau biasa disebut thrifting.

Hanya saja melarang aktivitas impor dan atau penyelundupan pakaian bekas dari mancanegara. 

Jika dibiarkan, keberadaan pakaian dari luar negeri, baik yang didatangkan melalui jalur resmi (impor) maupun ilegal (penyelundupan), perlahan diyakini akan mematikan industri busana di dalam negeri. (sam)